Oleh: Firman Arif Wijaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“It takes two to tango” – idiom sederhana yang sepertinya mudah diucapkan ini, memiliki arti yang cukup berat untuk dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam penerapan kerja sama antar institusi di dalam sebuah negara. Pajak misalnya, penggerak roda ekonomi, sumber pembangunan suatu negeri, dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang semestinya, tanggung jawabnya bukanlah hanya milik segelintir orang atau satu dua institusi saja.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI (DJP) sebagai institusi yang diberikan mandat sebagai pemungut pajak, acapkali adalah pihak yang menjadi tolok ukur semata atas pencapaian dan pembangunan negeri ini. Padahal, kalau dirunut secara kewenangan, Indonesia terdiri dari dua pemerintahan, Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Pemda), yang telah diberikan kewenangan untuk melakukan pemungutan pajaknya sendiri.

Perjalanan panjang reformasi perpajakan di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1983, turut diwarnai pula dengan salah satu fase penguatan pajak daerah dengan adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam Undang-Undang tersebut, telah jelas batasan dan pembagian kewenangan perpajakan yang menjadi hak dan tanggung jawab Pemda.

Salah satu hal yang menandai milestone tersebut adalah adanya pelepasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sebelumnya diadministrasikan oleh DJP, kepada Kota Surabaya di tahun 2011, 17 Kabupaten/Kota lain di tahun 2012, 105 Kabupaten/Kota selanjutnya di tahun 2013, dan seluruh Kabupaten/Kota sejak 1 Januari 2014. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa PBB P2 bukanlah satu-satunya Pajak Daerah yang berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), masih banyak jenis pajak yang dapat dipungut dan diadministrasikan oleh masing-masing Pemda.

Perpanjangan tangan kewenangan administrasi perpajakan ini telah diantisipasi pula dengan dimasukkannya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai salah satu Instansi pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain (ILAP) yang berdasarkan Pasal 35A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), diwajibkan untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP. Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 (sebagai kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013), telah memberikan arahan yang jelas mengenai jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang harus disampaikan oleh pihak Pemda kepada DJP yang terdiri dari 19 jenis data dan informasi untuk Pemda Provinsi dan 7 jenis data dan informasi untuk Pemda Kabupaten/Kota.

Namun kemudian yang menjadi pertanyaan berikutnya, sudahkah penerapan atas Peraturan Menteri Keuangan ini berjalan dengan lancar? Lebih lanjut, adakah keuntungan yang didapatkan oleh Pemda dalam memberikan data dan informasi kepada DJP?

Keraguan yang seakan timbul dari simbiosis mutualisme yang seharusnya terbentuk antara DJP dan Pemerintahan Daerah sudah sepatutnya dapat dikurangi untuk tercapainya satu tujuan yang sama; pembangunan negeri. Sebagai bentuk hempasan aral tersebut, sejak tahun 2019, DJP mulai menggandeng Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI (DJPK) dan melakukan kerja sama Tripartit dengan 7 Pemda di tahun 2019 (Tahap I), 78 Pemda di tahun 2020 (Tahap II), dan 84 Pemda di tahun 2021 (Tahap III).

Kerja sama yang diwujudkan dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DJP-DJPK-Pemda ini merupakan awalan yang baik bagi pembangunan kepercayaan (trust) antar instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Lebih lanjut, dengan adanya PKS, membuka ruang bagi DJP untuk dapat memberikan imbal balik kepada Pemda dengan pembukaan data perpajakan Wajib Pajak yang terdaftar di DJP (dengan ijin Menteri Keuangan) yang dapat dimanfaatkan oleh Pemda untuk meningkatkan penerimaan pajak di daerahnya masing-masing.

Kendala pasti ada, tujuan tak dapat diraih semudah membalikkan telapak tangan. Pengalaman penulis mengawal salah satu Pemerintah Kota dalam memenuhi harapan pertukaran data dalam PKS yang telah ditandatangani, berjalan dengan cukup intens dan penuh ruang untuk peningkatan. Salah satu hal yang paling menonjol yang bisa ditingkatkan adalah masih terbatasnya kemampuan Pemda dalam memenuhi ekspektasi pemenuhan data dan informasi yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 maupun adanya keraguan pihak Pemda dalam kemampuan mereka melakukan penyuluhan dan/atau penegakan hukum terkait dengan tindak lanjut atas data yang akan diterima dari pihak DJP.

Berbagai sebab bisa menjadi alasannya. Keterbatasan SDM dan pengalaman masing-masing Pemda terkait proses bisnis perpajakan, merupakan salah satu penyebab kurang lengkapnya data dan informasi yang dapat dikumpulkan oleh Pemerintah Daerah, yang kemudian juga menjadi penghambat data matching antara data Wajib Pajak pusat dan data Wajib Pajak Daerah.

Sebab lainnya adalah adanya lingkup area pengidentifikasian subjek pajak yang berbeda, sebagai contoh, subjek pajak suatu perusahaan pengelola hotel, restoran, dan hiburan, akan diidentifikasi sebagai satu subjek NPWP Badan oleh DJP namun akan diidentifikasi sebagai tiga NPWP Daerah oleh Pemerintah Daerah. Hal ini, meskipun terlihat sederhana, membutuhkan koordinasi lintas Kanwil di DJP apabila Wajib Pajak pusat dan cabang terdaftar dan tersebar di banyak Pemda di seluruh Indonesia.

Beberapa kebijakan yang telah bergaung dan bahkan diterapkan Pemerintah Pusat dapat berguna dan menjadi penutup lubang-lubang yang ada. Pengembangan Satu Data Indonesia serta peningkatan kerja sama dalam bentuk Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) merupakan langkah-langkah yang dapat meningkatkan keandalan data para pelaku ekonomi baik yang diidentifikasi merupakan Wajib Pajak pusat, juga sebagai Wajib Pajak Daerah.

Peningkatan deteksi fraud juga dapat dimungkinkan sebagai bahan perbaikan data perpajakan. Adanya wacana pemberlakuan satu laporan keuangan yang sama yang dihasilkan oleh suatu badan hukum, dapat memberikan persepsi dan perlakuan data yang sama bagi pihak Pemerintah Pusat, Pemda, dan bahkan pihak lain yang berkepentingan untuk memanfaatkannya seperti instansi bank dan lembaga keuangan.

Dari sisi mikro, DJP dapat membantu Pemda meningkatkan pengetahuan perpajakan dan/atau peningkatan proses bisnis pengawasan di daerah masing-masing, seperti misalnya bagaimana proses bisnis pengawasan yang telah berjalan dan berhasil dilakukan oleh suatu Pemda dapat ditularkan kepada Pemda lainnya. Sebagai contoh, penerapan pemasangan alat perekam transaksi (tapping box) atau cash register di sejumlah hotel, restoran, dan tempat hiburan yang telah dilakukan di beberapa Pemda, agar dapat berjalan di daerah lain yang belum melakukan hal serupa.

Selain itu, DJP dapat pula melakukan diseminasi dan bantuan kepada Pemda mengenai proses bisnis pengawasan dan/atau penegakan hukum yang selama ini telah dikembangkan dan dapat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan Pemerintah daerah memaksimalkan potensi perpajakan daerah masing-masing.

Sinergi yang dibangun antara DJP dan Pemda jelas memiliki satu tujuan yang sama, yaitu untuk meningkatkan potensi penerimaan perpajakan, baik pusat dan daerah, yang dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Mari bersama kita terus dukung hubungan yang harmonis antara DJP dan instansi lain pengumpul pajak, demi Indonesia tercinta. Pajak Kuat, Indonesia Maju!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.