Serunya “War Takjil”, Yuk Intip Aspek Perpajakannya

Oleh: Gabriela Kunthi Putri Utami, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Masih terasa serunya, pada bulan suci Ramadan yang lalu, marak terjadi tren "war takjil" yang lucu dan dinilai sebagai toleransi antarumat beragama. Istilah "war takjil" sendiri terjadi ketika para non-muslim memborong takjil yang dijual sehingga para umat muslim yang berpuasa justru tak kebagian. War takjil cukup populer di beberapa media sosial seperti TikTok dan menuai respons positif karena dinilai sangat menunjukkan kebersamaan antarumat beragama di bulan uci Ramadan. Beberapa menu takjil seperti gorengan, aneka kue, olahan es, kurma dan sebagainya menjadi rebutan seluruh umat beragama di Indonesia ketika berburu takjil. Takjil sendiri berasal dari Bahasa Arab, yakni ajila atau menyegerakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti mempercepat, dalam hal ini mempercepat buka puasa.
Para penjual takjil termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ada penjual yang memasak sendiri takjilnya dan ada juga yang berupa barang titipan atau konsinyasi. Tentu para penjual takjil ini memiliki pendapatan dari hasil dagang takjilnya tersebut. Apakah mereka pasti dipotong pajak atas penghasilannya tersebut? Yuk, intip aspek perpajakannya.
PPh Final UMKM
Penjual takjil yang kerap kita temukan saat bulan Ramadan dapat memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM sebesar 0,5 persen tiap omzet per bulannya. Kabar gembiranya, UMKM yang masih memiliki omzet di bawah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat memanfaatkan fasilitas tidak kena pajak penghasilan atas peredaran brutonya tersebut. Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). PP 55/2022 ini terbit untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ketentuan terkait PPh Final UMKM ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018). Wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Final Ditanggung Pemerintah (DTP) setiap bulannya. Kebanyakan wajib pajak masih mengira bahwa insentif pajak akan otomatis didapatkan ketika wajib pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan PP 55/2022. Walaupun para penjual takjil memiliki penghasilan di bawah Rp 500 juta dalam satu tahun pajak, bagi mereka wajib pajak berstatus aktif tetap harus melaporkan penghasilannya pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Perlu diingat, bahwa Indonesia menganut sistem pemungutan pajak self-assessment yang berarti wajib pajak sendirilah yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajak, tanpa perlu menunggu diterbitkannya ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
PPN Konsinyasi
Pada kasus menitipkan barang dagangan, apakah makanan takjil kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Konsyinasi? Yuk, kita bahas. Konsinyasi merupakan metode penjualan di mana barang dari produsen dititipkan ke penjual lain. Meskipun hanya titipan, dagangan tersebut juga dapat dikenakan pajak ketika berpindah tangan dari produsen ke pedagang. Namun perlu diingat, penjualan makanan takjil ini sebenarnya tidak terutang PPN Konsinyasi. Hal ini sesuai pada Pasal 4A ayat (2) huruf C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Menurut klausul tersebut, ditegaskan bahwa salah satu jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya meliputi makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Sehingga, walau ada kegiatan konsinyasi atau jual-titip dalam "war takjil", makanan yang dijual para penjual takjil tidak terutang PPN Konsinyasi.
Simpulan
Pemerintah mempunyai tujuan untuk meringankan beban wajib pajak berupa pemberian insentif pajak. Semoga para wajib pajak khususnya para penjual takjil juga memanfaatkan insentif ini dan melaporkan penghasilannya pada pelaporan SPT Tahunan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 87 kali dilihat