Senyum Harga Pas

Oleh: Casilda Salsabylah Imaze, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Untuk sebagian orang, merantau mungkin menjadi sebuah keharusan. Suatu keputusan yang harus dibulatkan, demi menata hidup agar lebih baik dan mapan. Keluar dari zona nyaman, dan memulai kehidupan baru di kota orang. Menjalani hari dengan berbaur bersama orang-orang yang berbeda latar belakang.
Mengkonsumsi makanan yang rasanya tidak biasa. Mencoba mengerti bahasa yang belum pernah diketahui sebelumnya. Beradaptasi dengan kebiasaan lingkungan hingga melebur bersama warga setempat. Dari datang sendirian hingga banyak yang kenal. Menapaki daerah-daerah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Unik, menambah halaman baru di setiap lembar pengalaman.
Lelah kaki ini akhirnya terhenti di ruang tunggu sebuah bandara, setelah berjalan panjang dari Pintu 4 menuju Pintu 11. Dari ujung ke ujung, jarak yang lumayan jauh ketika harus ditempuh dengan berjalan kaki untuk ukuran sebuah bandara internasional yang ada di Provinsi Jawa Timur.
Terlihat satu deret kursi yang masih kosong, syukurlah. Banyak ruang untuk menaruh barang dan bersantai sejenak. Hiruk-pikuk orang berlalu-lalang, tak sedikit pun menyelimurkan kegundahan hati yang tak tertahankan. Lagi-lagi harus kembali ke perantauan setelah libur panjang Lebaran, berpisah kembali dengan keluarga dan handai tolan.
Tahun ini adalah tahun ke tujuh saya menyandang status sebagai perantau di luar Jawa. Ah, iya, ternyata tujuh tahun sudah langkah ini menapaki daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan banyak bertemu dengan berbagai macam wajib pajak. Sejenak memori-memori itu berputar di kepala.
Pernah suatu hari saya bersama rekan saya mengunjungi seorang wajib pajak yang memiliki usaha plasma sawit, untuk melakukan verifikasi lapangan atas permohonan pengajuan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Empat jam lebih kami menempuh perjalanan, melewati luasnya hamparan perkebunan sawit, menerjang hujan angin disertai gemuruh guntur yang bersahutan. Jalanannya yang masih berupa pasir, membuat mobil dinas kami beberapa kali harus didorong karena ban mobilnya masuk ke dalam gumpalan pasir basah.
Terlebih, kami hanya dapat mengandalkan informasi warga setempat tentang lokasi wajib pajak. Tidak ada sinyal pada handphone kami, membuat kami susah untuk menghubungi wajib pajak baik melalui WhatsApp maupun panggilan telepon seluler.
Begitu kami sampai di tempat wajib pajak, melaksanakan semua proses, dan berpamitan pulang, saat berpamitan wajib pajak tersebut menyalami kami dengan menyelipkan segenggam uang. Atau yang biasa orang Jawa bilang “salam templek”.
“Mbak, ini buat uang bensin dan makan selama perjalanan. Pasti cape banget, perjalanannya lama, jauh, hujan badai juga,” ucapnya sambil menyelipkan uang pada genggaman saat kami berjabat tangan.
Dengan santai saya menjelaskan bahwa segala pengeluaran yang timbul atas perjalanan dinas ini, sudah ditanggung oleh negara. Jadi kami tidak berhak menerima sepeser pun uang dari wajib pajak. Sempat beberapa kali kami saling berebut untuk menolak, namun akhirnya wajib pajak tersebut mengalah dan menarik kembali uangnya.
Kami pamit, ucapan terima kasih terus-menerus kami dengar sampai pintu mobil tertutup. Senyum lebar dan wajah sumringah wajib pajak tersebut mengantar perjalanan pulang kami. Suasana hangat itu masih terekam jelas di kepala. Dan anehnya, membuat hati terasa sejuk ketika kembali mengingatnya.
Sebuah momen berkesan lagi saat saya menjalani hari-hari sibuk menjadi petugas di loket pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Waktu itu, saya melihat segerombolan ibu-ibu yang berprofesi sebagai guru, menunggu antrean untuk melaporkan SPT Tahunannya. Setiap orang menerima satu antrian. Untuk efisiensi waktu, akhirnya saya berinisiatif mengumpulkan para guru tersebut dan melakukan asistensi pengisian SPT Tahunan secara bersama-sama.
Langkah demi langkah kami lakukan bersama hingga tahap akhir, menerima email penerimaan bukti pelaporan. Enam orang ibu guru tersebut terheran-heran karena ternyata waktu yang diestimasikan sebelumnya meleset terlalu cepat, pun pengisiannya tidak serumit yang dipikirkan dan dilakukannya selama ini.
Semua ibu guru itu menyalami saya. Salah satu di antaranya bertanya, “Mbak, biaya administrasinya berapa?”
Saya tersenyum. Lalu menjelaskan bahwa semua pelayanan pada Kantor Pelayanan Pajak, tidak dipungut biaya sedikit pun alias gratis. Setelah itu, seorang ibu guru mengeluarkan dua cup cake dari tasnya dan memberikannya kepada saya. “Kalau begitu, ini buat mbaknya aja. Buat ganjal perut Mbak, ini buatan menantu saya sendiri lho.”
Ah, sungguh saya sangat terharu atas ketulusan Ibu Guru ini. Tapi lagi-lagi saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menerima apa pun atas pelayanan yang sudah diberikan kepada wajib pajak. Akhirnya, rombongan ibu-ibu ini berpamitan dan menyalami saya. Senyum mereka merekah, semua menjabat tangan saya dengan tanpa berhenti mengucapkan terima kasih. Bahkan mereka semua mendoakan kesehatan dan kesuksesan saya.
Jika diingat, kepingan memori itu mempunyai arti tersendiri bagi saya. Dan ajaibnya, setiap kali mengingatnya, hati saya merasa lega sekaligus tenang. Seolah, kekuatan untuk kembali menjalani hari sebagai perantauan ini terhimpun dan menjadi kuat lagi.
Senyum, adalah lengkungan yang dapat meluruskan segalanya. Senyum adalah harga yang pas untuk membayar rasa puas. Tanpa disadari, sebuah senyum tulus yang merekah, secara tidak terduga, dapat menentramkan hati yang gundah, mendamaikan lagi perasaan yang resah, dan menguatkan kembali jiwa yang sedang lelah.
Sumber foto: https://pin.it/2LvGyY392
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 199 kali dilihat