Senandika Pajak, dari Kertas ke Coretax

Oleh: Poerwanto Wahyoedi Syarif, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sejarah penggunaan kertas dalam perpajakan di Indonesia telah mengalami evolusi seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan administrasi negara. Secara ringkas dan sederhana, berikut adalah gambaran umum tentang bagaimana kertas digunakan dalam sistem perpajakan Indonesia dari masa ke masa.
Masa Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan di Indonesia (Hindia Belanda) masih sangat sederhana dan banyak menggunakan dokumen kertas untuk pencatatan dan pelaporan pajak. Pada masa ini, pajak lebih bersifat tradisional, seperti pajak tanah (landrente) dan pajak penghasilan, yang dicatat secara manual dalam bentuk buku-buku besar dan dokumen kertas.
Era Kemerdekaan (1945 – 1960-an)
Setelah Indonesia merdeka, sistem perpajakan mulai dibangun dengan lebih terstruktur. Namun, penggunaan kertas masih dominan karena teknologi informasi belum berkembang. Surat pemberitahuan pajak dan dokumen fisik lainnya masih mengandalkan formulir kertas yang harus diisi oleh wajib pajak secara manual dan diserahkan ke kantor pajak.
Era Modernisasi (1970 – 1990-an)
Pada era ini, pemerintahan Indonesia mulai memperkenalkan sistem administrasi perpajakan yang lebih modern. Meskipun teknologi komputer mulai diperkenalkan, kertas masih menjadi media utama untuk pelaporan dan pencatatan pajak. Formulir pajak, bukti potong pajak, dan dokumen pendukung lainnya masih berbentuk fisik dan harus disimpan oleh wajib pajak serta kantor pajak itu sendiri. Generasi X dan Milenial mungkin masih dapat mengingat dengan jelas jumlah kertas dalam satu rangkap Surat Setoran Pajak (SSP). Berapa hayoo?
Yang jelas, kertas yang digunakan dalam setiap pembuatan SPT Masa dan SPT Tahunan (Orang Pribadi dan Badan) serta buku petunjuk pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) yang dikirimkan ke setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia itu sangat banyak jumlahnya.
Untungnya, tahun 1996 merupakan tahun terakhir pengiriman Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh secara massal kepada wajib pajak. Selanjutnya, Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh hanya dibagikan kepada wajib pajak baru pada waktu pendaftaran wajib pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Era Digitalisasi (2000-an)
Dengan perkembangan teknologi informasi, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi sistem elektronik untuk administrasi perpajakan. Namun, lagi-lagi kertas masih menjadi primadona dalam beberapa prosesnya. Misalnya, tanda terima fisik atau dokumen pendukung yang harus diserahkan dalam bentuk cetak pada setiap permohonan yang diajukan ke KPP masih menggunakan kertas.
Pada tahun 2003, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan sistem e-Filing dan e-Reporting, yang memungkinkan wajib pajak untuk melaporkan pajaknya secara online. Meskipun demikian, beberapa dokumen fisik masih diperlukan untuk audit atau verifikasi.
Pada tahun 2016, DJP memperkenalkan lagi aplikasi e-Faktur untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mengurangi penggunaan kertas dalam pelaporan faktur pajak dan kelengkapannya. Selain itu, pada tahun 2016 Indonesia juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya.
Wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu wajib menyelenggarakan dan/atau menyampaikan tiga jenis dokumen transfer pricing (three-tiered transfer pricing documentation), yaitu dokumen induk (master file), dokumen lokal (local file), dan laporan per negara (CbC Report). Pada intinya, dokumen-dokumen tersebut tidak diperkenankan untuk disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy). Oh iya, jangan lupakan e-Form yang muncul pada tahun 2017 sebagai sarana lain pelaporan pajak secara elektronik.
Era Coretax DJP
Pemerintah Indonesia dan DJP terus mendorong sistem perpajakan yang lebih efisien dan ramah lingkungan dengan mengurangi ketergantungan pada kertas. Mulai awal tahun 2025, Coretax DJP menjadi pemeran utama dari lahirnya modernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada pada saat ini. Coretax DJP mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak, dengan meminimalisir penggunaan kertas dalam setiap proses di dalamnya.
Meskipun demikian, transisi ke sistem paperless masih menghadapi tantangan, seperti kurangnya kesiapan infrastruktur digital di beberapa daerah dan kebiasaan wajib pajak yang masih mengandalkan dokumen fisik sebagai arsip. Walaupun sebenarnya pada era Coretax DJP masih terdapat ketentuan yang mengatur penggunaan kertas sebagaimana tertuang pada Pasal 163 ayat (17) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik dapat menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy). Setidaknya, kita sudah menuju jalan perubahan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang.
Kesimpulan
Sejarah penggunaan kertas dalam perpajakan Indonesia mencerminkan perkembangan sistem administrasi negara dari tradisional menuju digital. Meskipun teknologi telah mengurangi ketergantungan pada kertas, dokumen fisik masih memainkan peranan penting dalam beberapa aspek perpajakan, terutama dalam hal pengarsipan sebagai sarana kepatuhan. Ke depannya, sistem perpajakan Indonesia diharapkan akan semakin paperless dengan dukungan teknologi yang lebih maju. Sebagaimana orang bijak berujar, “Reformasi adalah keniscayaan, perubahan adalah kebutuhan”.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 486 kali dilihat