Seller E-commerce Kena Pajak? Ini Penjelasan Lengkapnya!

Oleh: Zidni Hudan Said Purnomo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dunia digital telah membuka banyak peluang baru, termasuk dalam dunia perdagangan. Penjual di e-commerce kini bisa meraih omzet jutaan hingga miliaran rupiah hanya bermodal kuota internet dan perangkat gawai. Tapi di balik kemudahan itu, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: kewajiban pajak. Apakah Seller e-commerce kena pajak? Jawabannya: ya.
E-commerce Bukan Zona Bebas Pajak
Seller e-commerce sering kali menganggap usahanya terlalu kecil untuk dikenai pajak. Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) klaster pajak penghasilan (PPh) dan peraturan turunan lainnya menegaskan bahwa setiap penghasilan dikenai pajak, termasuk yang diperoleh melalui platform digital seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, dan lain-lain.
Badan usaha maupun perorangan yang berjualan secara online dianggap memiliki penghasilan yang seharusnya dilaporkan dan dikenai pajak. Dalam konteks ini, jenis pajak yang paling relevan adalah PPh Final UMKM.
Apa Itu PPh Final UMKM?
PPh Final UMKM adalah Pajak Penghasilan Final yang dikenakan atas penghasilan dari usaha yang dijalankan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan tertentu yang termasuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, tarif PPh Final UMKM adalah 0,5% dari omzet bulanan.
Namun, perlu dicatat bahwa ketentuan ini tidak berlaku selamanya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, wajib pajak hanya bisa memanfaatkan tarif final 0,5% ini selama:
- 7 tahun bagi Wajib Pajak Orang Pribadi;
- 4 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, CV, atau firma;
- 3 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Setelah itu, pajaknya dihitung menggunakan tarif umum sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) jo. UU HPP.
Batas Minimal Omzet Kena Pajak
Mungkin ada Seller yang bertanya, "Kalau omzet saya kecil, apa tetap kena pajak?"
Jawabannya kembali ke UU HPP klaster pajak penghasilan, di mana disebutkan bahwa penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk orang pribadi adalah Rp54 juta per tahun atau setara dengan Rp4,5 juta per bulan. Namun, ketentuan ini berlaku untuk penghasilan bersih, bukan omzet.
Dalam skema PPh Final UMKM, yang dikenakan pajak adalah omzet, bukan laba. Maka jika omzet penjualan Seller e-commerce di bawah Rp500 juta setahun, sesuai ketentuan terbaru dalam UU HPP klaster pajak penghasilan Pasal 7 Ayat (2a), tidak dikenai PPh Final.
Artinya, Seller e-commerce tidak wajib membayar PPh Final UMKM apabila omzet dalam satu tahun masih di bawah Rp500 juta. Tetapi jika omzet telah melampaui angka tersebut, maka seluruh omzet akan dikenakan tarif PPh Final 0,5% hanya atas kelebihannya.
Contoh sederhana:
- Omzet 1 tahun: Rp600 juta
- Bagian tidak kena pajak: Rp500 juta
- Bagian yang dikenai pajak: Rp100 juta
- PPh Final UMKM: 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000
Apakah Semua Seller Wajib Bayar Pajak?
Tidak semuanya. Untuk bisa dikenakan PPh UMKM, Seller harus memenuhi dua hal:
- Memiliki omzet di atas Rp500 juta setahun untuk wajib pajak orang pribadi
- Belum memilih untuk menggunakan skema perpajakan umum
Jika belum mencapai omzet tersebut, Seller bebas dari kewajiban PPh UMKM. Namun, ada satu hal yang perlu diingat: meskipun tidak dikenai pajak, Seller tetap harus memiliki NPWP dan melakukan pelaporan. Kepatuhan administratif tetap berlaku meski tidak membayar pajak.
Peran Platform E-commerce dalam Ekosistem Pajak
Platform e-commerce kini tidak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem pajak digital. Meskipun belum secara langsung memungut PPh dari para Seller, platform-platform besar telah diminta untuk menyerahkan data transaksi kepada otoritas pajak. Ini dilakukan sebagai bagian dari strategi pengawasan dan transparansi.
Pemerintah telah menjalin kerja sama dengan berbagai platform digital untuk mendukung program pemajakan secara adil dan menyeluruh. Data penjualan yang terekam secara otomatis di dalam sistem e-commerce membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memetakan potensi perpajakan secara akurat. Oleh karena itu, Seller online tidak bisa lagi menyembunyikan aktivitas usahanya hanya karena berada di ruang digital.
Di masa depan, bukan tidak mungkin akan ada sistem pemotongan pajak otomatis oleh marketplace, sebagaimana yang sudah diterapkan dalam pungutan pajak pertambahan nilai atas produk digital asing. Arah kebijakan jelas menunjukkan bahwa seluruh aktivitas ekonomi digital, termasuk e-commerce lokal, akan masuk dalam cakupan pajak nasional yang lebih ketat dan sistematis.
Kenapa Seller E-commerce Harus Patuh Pajak?
Pajak bukanlah beban, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap kegiatan ekonomi, termasuk bisnis daring. Dengan menjadi seller yang patuh pajak, pelaku usaha menunjukkan profesionalisme dan tanggung jawab sebagai warga negara. Kepatuhan juga membuka berbagai peluang, seperti kemudahan mengakses pinjaman modal usaha, menjalin kerja sama dengan mitra resmi, dan meningkatkan kepercayaan konsumen.
Lebih dari itu, membayar pajak berarti ikut serta dalam membangun negeri. Infrastruktur, subsidi, pendidikan, hingga layanan kesehatan dibiayai dari pajak. Seller e-commerce, sekecil apa pun usahanya, tetap punya kontribusi yang bermakna bagi kemajuan bangsa.
Kesimpulan: Pajak Itu Bagian dari Usaha yang Sehat
Seller e-commerce memang menikmati kemudahan berbisnis secara online, tapi itu tak berarti bebas dari kewajiban perpajakan. Selama omzet melampaui Rp500 juta setahun, seller wajib membayar PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet. Namun di bawah batas itu, seller tetap wajib memiliki NPWP dan melaporkan SPT.
Dengan kepatuhan yang baik, seller bisa berkembang lebih profesional, mendapat kepercayaan pelanggan dan mitra bisnis, serta tetap tenang dalam berusaha tanpa takut masalah perpajakan di kemudian hari.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 33 kali dilihat