Oleh: Tobagus Manshor Makmun, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Sebelum 2024, wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan (SPT Masa PPh) Pasal 21 nihil, cukup melakukannya di masa Desember saja. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023), ada yang berbeda.

Setiap awal tahun, setelah euforia perayaan tahun baru berakhir, ada sebuah ritual yang saya lakukan. Saya mengirimkan pesan pendek melalui WhatsApp kepada wajib pajak yang berada dalam pengawasan saya. Pesan ini terutama saya tujukan kepada wajib pajak yang memiliki kewajiban pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, tetapi tidak pernah melakukan pemotongan. Saya mengingatkan mereka supaya tidak lupa melaporkan SPT PPh Pasal 21 masa Desember tahun sebelumnya.

Saya merasa perlu melakukan hal tersebut karena sebagian wajib pajak tidak wajib melaporkan SPT PPh Pasal 21 masa Januari hingga November apabila dalam masa tersebut mereka tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21. Hal itu sesuai ketentuan dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Saya khawatir mereka lupa bahwa khusus untuk masa Desember, kewajiban lapor tetap ada, meskipun SPT-nya nihil.

Mulai 2024, saya harus mengubah pesan tersebut. Berdasarkan ketentuan baru yang diatur dalam Pasal 20 PMK Nomor 168/2023, SPT Masa PPh Pasal 21 tetap wajib dilaporkan sepanjang wajib pajak melakukan pembayaran yang merupakan objek PPh Pasal 21, walaupun tidak ada pajak yang dipotong. Saya merasa berkewajiban mengingatkan karena ada potensi denda sebesar Rp100.000 untuk setiap masa pajak yang tidak atau terlambat dilaporkan. Saya tak ingin merasa bersalah ketika wajib pajak mendapatkan sanksi denda, padahal saya punya kesempatan untuk memberi tahu.

Seiring perubahan yang terjadi pada PMK tersebut, pada 19 Januari 2024, Direktur Jenderal Pajak merilis PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26. PER-2/PJ/2024 mengatur detail tatacara pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masal PPh Pasal 21. Dalam beleid tersebut, secara garis besar, terdapat tiga kewajiban yang harus dilakukan oleh pemotong pajak, yaitu:

  1. membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26;
  2. memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 kepada penerima penghasilan; dan
  3. melaporkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26.

Terdapat dua perubahan kewajiban dalam aturan tersebut. Yang pertama, bukti pemotongan tetap wajib dbuat dan diberikan kepada penerima penghasilan, meskipun pajak yang dipotong nihil. Yang kedua, pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan bulanan kepada pegawai tetap atau pensiunan yang menerima pembayaran secara berkala—hal ini tidak diatur sebelumnya. Bukti potong hanya boleh tidak dibuat apabila tidak ada pembayaran penghasilan yang dilakukan.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh wajib pajak adalah PMK 168/2023 tidak mencabut PMK Nomor 9/PMK.03/2018. PMK 168/2023 tidak mengatur pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 bagi wajib pajak yang sama sekali tidak melakukan pembayaran penghasilan. Dengan demikian, ketentuannya masih mengikuti aturan lama. Dalam hal wajib pajak tidak melakukan pembayaran penghasilan selama setahun, ia tetap wajib melaporkan SPT PPh Pasal 21 masa Desember.

Pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu formulir kertas dan dokumen elektronik. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan formulir kertas hanya boleh dilakukan oleh wajib pajak yang menerbitkan bukti potong paling banyak 20 dokumen atau melakukan pembayaran dengan jumlah maksimal 20 dokumen dalam satu masa pajak dan belum pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dengan dokumen elektronik.

Direktorat Jenderal Pajak memberikan alternatif sarana pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 yang lebih mudah, yakni e-Bupot 21/26. Sarana pelaporan ini bisa diakses melalui laman djponline. Untuk menggunakannya, wajib pajak perlu mengaktifkannya pada menu profil. Cukup dengan lima langkah, yakni: login, bupot, posting, pembayaran, dan submit SPT, wajib pajak sudah bisa melakukan kewajiban PPh Pasal 21 secara paripurna.

Khusus untuk masa Januari 2024, wajib pajak dapat memberikan bukti potong PPh Pasal 21 yang tidak bersifat final, yang bersifat final, maupun bukti potong bulanan kepada penerima penghasilan paling lambat tanggal 31 Maret 2024. Selain itu, dalam hal pemotong pajak melakukan pembuatan, penyampaian, dan/atau pembetulan SPT PPh Pasal 21 masa pajak Desember 2023 atau masa-masa sebelumnya, tata caranya tetap berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.