Sedotan Plastik Sekali Pakai Dipajaki, Mungkinkah?

Oleh: Sandra Puspita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sejak 2019 lalu, masyarakat di Indonesia sudah tidak asing dengan gerakan sosial untuk menghentikan dan mengurangi penggunaan sedotan plastik sekali pakai. Tagar #NoStrawMovement ini digaungkan untuk mengampanyekan kepada masyarakat agar peduli terhadap dampak sedotan plastk terhadap lingkungan. Gerakan ini ditujukan untuk menggantikan penggunaan sedotan plastik sekali pakai, yang dianggap menambah sampah di lingkungan, dengan sedotan stainless.
Timbunan Sedotan Plastik
Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan di dunia. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, setiap hari satu orang menghasilkan sekitar 0,7 hingga 1 kilogram sampah.
Sampah atas sedotan plastik sekali pakai yang dihasilkan tidak kalah gawat. Dalam satu hari saja, sampah atas sedotan plastik menyentuh angka 93 juta kilogram pada 2024 ini. Jika #KawanPajak memiliki waktu luang untuk menyusun satu per satu sampah sedotan tersebut, jumlahnya akan setara dengan jarak dari Jakarta sampai Meksiko! Bayangkan akan seberapa banyak jumlah timbunan sampah pada tahun-tahun mendatang.
Alternatif
Pola konsumsi masyarakat merupakan salah satu faktor yang turut berkontribusi menghasilkan timbunan sampah plastik sekali pakai. Contoh sederhananya saja, jika Kawan Pajak membeli makanan dari kafe atau bahkan warung, para penjual pasti akan menyajikannya dengan wadah makanan berbahan plastik, lengkap dengan satu set sendok dan garpu berbahan plastik. Belum lagi jika Kawan Pajak membeli minuman juga, tentunya mayoritas akan disajikan dengan gelas dan sedotan plastik sekali pakai. Sampah-sampah ini tentu akan berakhir di tempat penampungan sampah.
Mirisnya, sedotan plastik yang pipih dan kecil itu membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat terurai oleh lingkungan, sama seperti alat makan berbahan plastik lainnya. Hal ini telah menjadi perhatian berbagai lapisan masyarakat. Penggunaan stainless straw kemudian mulai ramai digandrungi masyarakat. Berbeda dari sedotan plastik yang sifatnya sekali pakai, stainless straw dapat digunakan berulang kali oleh pemiliknya dengan mencuci bersih sedotan tersebut setelah dipakai.
Sayangnya, alternatif ini tidak senantiasa berjalan maksimal. Penggunaan stainless straw justru membawa beberapa masalah baru, seperti polusi air bersih yang dihasilkan atas limbah sabun untuk mencuci sedotan, polusi karbon yang dihasilkan dalam memproduksi stainless straw, hingga rendahnya kesadaran masyarakat untuk terus konsisten dalam menggunakan sedotan tersebut.
Kebijakan Negara Lain
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang turut serta mencari alternatif dalam memerangi isu sampah sedotan plastik ini. Jepang, salah satunya telah menerapkan kebijakan untuk tidak memberikan lagi secara gratis peralatan makan dan sedotan plastik mulai April 2022.
Kebijakan ini dibuat untuk mempromosikan penggunaan kertas atau alternatif kayu yang mudah terurai dan menyasar pada pelaku usaha. Apabila mereka tidak patuh, mereka kudu membayar denda hingga 500 ribu yen atau sekitar Rp52 juta rupiah. Denda ini akan menuntut pelaku usaha untuk tidak lagi menggunakan peralatan makan dan sedotan plastik secara bertahap.
Salah satu perusahaan penerbangan di Jepang, All Nippon Airways (ANA) menanggapi kebijakan ini dengan positif. Maskapai ini melakukan terobosan dengan menggunakan serat tebu untuk wadah makanan dan peralatan makan dalam penerbangannya sejak Agustus 2022 lalu. Maskapai ini berharap dapat membantu mengurangi tumpukan sampah peralatan makan plastik sekali pakai hingga 317 ton.
Diusulkan Kena Cukai
Indonesia saat ini masih dalam tahap perumusan kebijakan atas pengenaan cukai terhadap peralatan makan sekali pakai berbahan plastik. Tentu hal ini tidak mudah bagi pemerintah untuk menerapkan regulasi khusus di bidang fiskal. Pro dan kontra yang datang dari berbagai lapisan masyarakat menjadi tantangan tersendiri untuk mencetuskan regulasi baru.
Sembari menunggu para perumus kebijakan mengolah regulasi khusus tersebut, kita dapat memulai dari diri sendiri dengan meminimalkan penggunaan peralatan makan berbahan plastik sekali pakai, seperti sendok, garpu ataupun sedotan. Harapannya, aksi kecil yang kita lakukan dapat membantu mengurangi penumpukan sampah plastik di lingkungan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 146 kali dilihat