Saudara Seperkapalan

Oleh: Mohamad Apip, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sejak bertugas di Lampung awal tahun 2017, bus DAMRI dan kapal feri tak asing buat saya. Bisa dikatakan, kedua moda ini adalah teman setia saya di Minggu malam. Saya termasuk anggota PJKA, Pulang Jumat Kembali Ahad. Tepatnya, Senin-Jumat ada di luar kota, Sabtu-Minggu disempat-sempatkan pulang ke homebase bertemu keluarga.
Dari Depok, bus DAMRI berangkat sekira Pkl 19.00 WIB. Biasanya bus kami mampir dulu ke Terminal Kampung Rambutan untuk mengambil penumpang lainnya. Dari sini, lanjut masuk tol JORR Pasar Rebo menuju Merak Banten. Sampai di Pelabuhan Merak lewat Pkl 22.00 WIB.
Kalau mujur, bus bisa langsung masuk kapal feri. Namun, tak jarang bus harus menunggu lama. Jarak tempuh menyeberang Selat Sunda dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni sebenarnya tidak jauh. Waktu tempuhnya itu yang bisa beda-beda. Kalau mujur dapat kapal yang bagus dan cuaca mendukung, dibutuhkan waktu tempuh sekira 2 jam untuk bersandar. Seringnya sih hingga 3-4 jam.
Ada banyak hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan Depok-Lampung.
Pertama, tambah teman. Beberapa penumpang bus DAMRI Depok, adalah orang yang sama alias pelanggan tetap. Ada teman yang satu instansi dan satu kantor. Ada teman satu instansi, namun beda kantor. Ada juga teman yang beda instansi. Macam-macam profesinya. Selebihnya adalah, penumpang insidentil, alias beda-beda orang tiap minggunya.
Tahun lalu, kami berlima yang satu instansi. Tahun ini saya sendiri. Ada yang pindah pangkalan bus keberangkatan, ke Gambir. Pertimbangannya, lebih malam berangkatnya. Ada yang sudah dapat SK mutasi kembali ke homebase. Ada juga yang sudah memboyong keluarganya ke Lampung.
Di kapal feri, tak jarang pula bertemu teman-teman satu instansi beda kantor, dari bus DAMRI yang berbeda. Ada yang dari DAMRI Gambir, ada juga yang dari Bekasi.
Hikmah yang kedua, kami jadi seperti saudara. Saudara seperkapalan, saya lebih suka menyebutnya.
Saat bus sudah masuk kapal feri, penumpang diminta keluar. Tidak boleh ada yang tinggal dalam bus. Semua penumpang harus naik ke atas kapal. Aturan mainnya begitu. Dengar cerita, dulu ada kejadian kebakaran di tempat parkiran dalam kapal. Sangat berbahaya kalau penumpang masih berada di dalam kendaraan.
Saya dan teman-teman biasanya mencari tempat istirahat lesehan. Untuk lebih nyaman, biasanya cari lesehan yang ber-AC. Harapannya, bisa tidur walau cuma sekira 2 jam. Supaya besoknya tidak terlalu mengantuk saat ngantor. Sewa lesehan sekitar 12-15 ribu rupiah per orang. Nambah 5 ribu rupiah kalau sewa bantal. Ada juga kapal yang tidak memungut biaya lesehan, tapi tidak banyak.
Kami yang satu bus, saling menjaga satu sama lain. Biasanya tidurnya berdekat-dekatan (pastinya kami sejenis). Antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pernah dengar cerita, ada temannya teman yang kecopetan barang miliknya saat tidur.
Hikmah yang ketiga, belajar saling pengertian. Kebanyakan penumpang yang naik kapal minggu malam, paginya bekerja. Saya paling tidak suka, kalau masih ada yang gaduh saat penumpang lainnya sedang istirahat tidur.
Hikmah keempat, percayakan pada nahkoda kapal. Dia yang bertanggung jawab mengantarkan kita sampai tujuan. Saatnya bersandar, ada pengumuman dari awak kapal.
Hikmah kelima, naik kapal tidak gratis. Kapal bisa berlayar, tentu butuh bahan bakar. Bahan bakarnya harus dibeli pakai uang.
Cerita saya naik kapal feri ini, bisa dianalogikan dengan kehidupan kita bernegara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diibaratkan sebuah kapal besar yang sedang berlayar. Penumpangnya adalah seluruh bangsa Indonesia. Nahkodanya adalah Presiden RI.
Tujuan kapal besar NKRI termuat di Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan negara nan mulia ini, sudah pasti butuh dana yang besar.
Sesuai postur APBN 2018 yang dirilis laman Kementerian Keuangan, belanja negara kita direncanakan sebesar Rp2.220,7 triliun.
Pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun.
Penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 trilun, bersumber dari penerimaan pajak sebesar Rp1.424 trilun dan selebihnya dari kepabean dan cukai.
Dari angka-angka tersebut, bisa kita lihat persentase penerimaan pajak terhadap pendapatan negara diproyeksikan sebesar 75.16%.
Begitu besar peran pajak untuk menopang pembiayaan negara. Oleh karena itu, butuh peran serta seluruh warga masyarakat yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk bergotong-royong membayar pajak.
Tidak boleh ada penumpang gelap (free rider) dalam kapal besar NKRI. Kapal besar kita butuh dana besar untuk mengantarkan para penumpangnya sampai tujuan yang dicita-citakan.
Pemerintah sudah membuka keran selebar-lebarnya agar seluruh warga masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pembangunan. Contohnya telah diterbitkan aturan baru Pajak UMKM 0,5% sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
Sementara itu, untuk lancar dan nyamannya perjalanan kapal besar NKRI sampai tujuan, kita sebagai penumpang (warga negara) janganlah membuat gaduh. Dibutuhkan tenggang rasa, saling pengertian antarkomponen bangsa.
Meski kita berbeda-beda, namun kita memiliki tujuan bersandar ke pelabuhan yang sama. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Karena kita adalah saudara seperkapalan.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Sumber data postur APBN: https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018
- 378 kali dilihat