Oleh: Imron Dody Kusuma, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jam di Bank tempat Kas Daerah sudah menunjukkan pukul 24.00 WITA kurang 15 menit, terdengar suara kembang api dan suara terompet menyambut tahun baru, ketika datang tumpukan SP2D dan ID Billing setoran pajak dari salah satu pemerintah daerah. 

Dengan cekatan petugas pajak yang bersiaga, membantu pihak bank memilah SP2D dan ID billing, agar petugas bank yang memasukkan ID Billing dapat bekerja secara cepat agar uang pajak masuk pada tahun yang seharusnya. Bukan salah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebenarnya karena sosialisasi dan imbauan agar pelimpahan SP2D dan ID biling jangan terlalu mepet akhir tahun sudah secara masif dan jauh-jauh hari telah disampaikan kepada pemerintah daerah. Namun demikian, semua itu terbentur dengan berbagai alasan, seperti bank garansi dan kelengkapan SP2D.

Secercah harapan muncul dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus.

Terobosan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus pada Pasal 20 ayat (6) cukup menarik untuk dicermati. Di sana diatur bahwa Penyaluran DBH PBB dan DBH PPh dilaksanakan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menerima Laporan Berita Acara Rekonsiliasi atas penyetoran pajak-pajak pusat yang dipungut/dipotong oleh Bendahara Umum Daerah. Peraturan tersebut dilatarbelakangi agar pemerintah daerah ikut serta mendukung optimalisasi penerimaan negara.

Untuk pedoman pelaksanaan KPP di dalam melaksanakan rekonsiliasi antara pemerintah daerah, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan KPP setempat, atas penyetoran pajak pusat ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN) diterbitkanlah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 37/PJ/2019 tanggal 27 Desember 2019 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, dan Kantor Pelayanan Pajak Setempat atas Penyetoran Pajak Pusat Ke Rekening Kas Umum Negara.

Pada Surat Edaran tersebut, di atur mekanisme adanya  Prosedur Pra Rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah, KPPN dan KPP setempat, atas penyetoran Pajak Pusat ke RKUN, Prosedur Rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah, KPPN dan KPP setempat atas penyetoran Pajak Pusat ke RKUN.

Account Representative yang memiliki tugas pokok dan fungsi pengawasan kepatuhan wajib pajak melakukan verifikasi atas kesesuaian data pemotongan/pemungutan berdasarkan dokumen sumber yang disampaikan pemerintah daerah dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Dokumen sumber yang diserahkan oleh pemerintah daerah berupa:

  1. DTH ( Daftar Transaksi Harian)
  2. RTH (Rekonsiliasi Transaksi Harian)
  3. NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) dan
  4. Kertas Kerja Rekonsiliasi Penyetoran  Pajak-Pajak Pusat

DTH RTH sendiri diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 85/PMK.03/2019 tanggal 29 Mei 2019, mengenai Mekanisme Pengawasan terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak atas Belanja yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 12, 13, dan 14 PMK tersebut memberikan wewenang KPP untuk melakukan pengujian kebenaran penghitungan dan penyetoran pajak dengan penyampaian SP2DK sampai dengan pemeriksaan pajak.

Tahapan sesuai SE-37/PJ/2019 meliputi prosedur pra rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah, KPPN dan KPP setempat, prosedur rekonsiliasi antara pemerintah daerah, KPPN dan KPP setempat dan pembuatan Berita Acara Rekonsiliasi atas Penyetoran Pajak Pusat.

Mencermati hasil akhir dari rekonsiliasi antara pemerintah daerah, KPPN dan KPP setempat, perwakilan KPP dapat tidak memberikan persetujuan atas Berita Acara Rekonsiliasi Penyetoran Pajak Pusat dan/atau melakukan tindak lanjut penegakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku. 

Hal ini memberikan  KPP posisi  yang cukup strategis untuk menegakkan peraturan perpajakan pada sektor pajak pemerintah daerah dan mendorong pemerintah daerah lebih tertib di dalam penyampaian SP2D dan ID Billing, sehingga tidak menumpuk di akhir tahun serta melakukan pelaporan pajaknya secara tertib.

Di lain sisi dokumen sumber berupa DTH dan RTH selama ini di dalam pengisiannya masih kurang valid mengenai data NPWP, sehingga sangat menyulitkan di dalam proses rekonsiliasi atas penyetoran pajak pusat, untuk itu disarankan agar ada kehati-hatian di dalam pengisian dokumen sumber tersebut. Harus dipastikan NPWP yang ditulis benar, termasuk jenis transaksi dan nilai rupiahnya, selain itu untuk mempermudah proses pra rekonsiliasi dan rekonsiliasi sebaiknya pada kolom keterangan di DTH bisa diisi nomor NTPN. 

Pihak verifikator yaitu Account Representative yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengawasi kepatuhan wajib pajak, melakukan verifikasi atas kesesuaian data,  harus benar-benar  memahami ketentuan perpajakan karena berperan untuk melakukan pengecekan atas:

  1. pemotongan/pemungutan pajak atas objek pajak, dan tarif yang disampaikan pemerintah daerah;
  2. pembayaran pajak – pajak pusat yang disampaikan pemerintah daerah yang telah diverifikasi berikut dengan NTPN;
  3. pajak yang kurang dipotong/dipungut oleh pemerintah daerah;
  4. pemotongan/pemungutan pajak yang tidak dan/atau belum dilakukan/dilaporkan pemerintah daerah dalam DTH-RTH;
  5. pajak yang kurang dan/atau belum disetor oleh pemerintah daerah.

Menurut pendapat penulis, masih perlu diatur secara pasti masalah  jangka waktu dan bentuk surat pernyataan komitmen ketika pihak pemerintah daerah belum memenuhi seluruh kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan, namun, perwakilan KPP meyakini bahwa pemerintah daerah bersedia untuk memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya. Jangan sampai mengakibatkan KPP mengalami masalah di kemudian hari ketika ada pemeriksaan dari pihak ketiga seperti dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diakibatkan pihak pemerintah daerah melanggar komitmen sebelumnya.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.