Oleh: Grameyru Prabu Edward, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Konflik militer Rusia dan Ukraina yang telah berkecamuk dari tanggal 24 Februari 2022 tidak hanya terjadi dalam bentuk kontak fisik militer dan senjata. Kedua belah pihak yang berkonflik (dan juga para sekutunya) menggunakan berbagai sumber daya ekonominya dalam konfrontasi tersebut untuk menekan lawan.

Per tanggal 7 Maret 2022, basis data Castellum menyebutkan bahwa Rusia merupakan negara yang memperoleh sanksi terbanyak di dunia. Akumulasi sanksi terhadap Rusia telah melebihi 5.000 sanksi, jauh lebih banyak dibandingkan sanksi terhadap Iran (3.616), Suriah (2.608), dan Korea Utara (2.077).

Baru-baru ini, negara-negara Group of Seven (G7) sepakat untuk memberlakukan sanksi terhadap komoditas minyak mentah yang menjadi andalan ekspor dan sumber pendapatan bagi Rusia, yaitu price cap.

Dalam sanksi tersebut, minyak mentah Rusia hanya boleh dijual dalam batasan harga price cap yang ditentukan G7, jika para pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan minyak mentah ingin memanfaatkan jasa asuransi dan pelayaran perusahaan dari negara-negara G7. Rusia sendiri menyatakan bahwa mereka tidak akan melakukan perdagangan minyak dengan negara yang menerapkan price cap.

Hal yang menarik, kerja sama perpajakan internasional juga termasuk dalam instrumen konflik ekonomi. Sebagai contoh, Inggris yang dalam konflik mendukung Ukraina, pada 17 Maret 2022 mengumumkan bahwa negaranya akan membekukan pertukaran dan pemberian informasi perpajakan kepada Rusia dan Belarusia (sekutu Rusia), dalam konteks exchange of information on request (EOIR), common reporting standard (CRS), dan country-by-country reporting (CBCR).

Dalam pernyataannya, Her Majesty Treasury selaku otoritas fiskal Inggris secara gamblang menyebutkan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia. Guernsey dan Isle of Man, negara dengan tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha 0%, segera mengikuti jejak Inggris untuk membekukan kerja sama pertukaran informasinya dengan Rusia.

Sebagai catatan, Guernsey, Isle of Man, dan Rusia termasuk sebagai bagian dalam Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (CMAAC). Di Amerika Serikat (AS), Senator Rob Portman dan Benjamin Cardin  dalam suratnya kepada Presiden Joe Biden mengusulkan langkah yang lebih jauh, yaitu agar AS melakukan terminasi perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Rusia.

Atas hal tersebut, setidaknya terdapat dua isu menarik. Pertama, bagaimana dampak penghentian pertukaran informasi perpajakan kepada negara-negara yang terlibat? Secara teori, jika kedua negara yang berselisih memutuskan untuk menghentikan kerja sama sebatas mengenai pertukaran informasi perpajakan saja, akibatnya akan terasa kepada kedua negara.

Hal ini disebabkan karena satu negara tidak akan dapat lagi memperoleh informasi dari negara yang lainnya untuk menguji kepatuhan pembayar pajaknya. Masing-masing negara akan mengalami informasi yang asimetris dengan wajib pajaknya. Jika wajib pajak memang secara nyata melakukan penghindaran pajak dengan skema tertentu di satu negara, maka negara tersebut tidak dapat meminta bantuan informasi mengenai wajib pajak tersebut kepada negara lainnya.

Lebih lanjut, jika langkah yang diambil adalah melakukan terminasi P3B antara dua negara yang berkonflik, hal ini akan sangat berdampak kepada pembayar pajak. Ini disebabkan karena pembayar pajak dapat menanggung atau membayar pajak secara berganda atas suatu penghasilan yang sama. Pembayaran pertama terjadi melalui pemotongan pajak di negara sumber penghasilan dan pembayaran kedua melalui pelaporan sendiri di negara asal (misalnya saat pelaporan SPT). Bagi kedua negara, karena keduanya masing-masing melakukan pemajakan, langkah tersebut seharusnya tidak berdampak negatif kepada penerimaan pajak masing-masing negara.

Pertanyaan kedua, seberapa masif dampak penghentian kerja sama perpajakan internasional itu? Untuk menjawab hal tersebut dari sisi Rusia, penulis menggunakan data penanaman modal masuk dan keluar di negara Rusia menurut Coordinated Direct Investment Survey (CDIS) International Monetary Fund (IMF).

Menurut data CDIS IMF, lima negara terbesar yang menjadi asal penanaman modal masuk ke Rusia pada 2021 adalah: Siprus (US$173,3 miliar), Bermuda (US$62,3 miliar), Inggris (US$39,3 miliar), Belanda (US$34,8 miliar), dan Bahama (US$24,9 miliar). Dari total penanaman modal masuk ke Rusia di 2021, yaitu senilai US$519,8 miliar, terlihat bahwa hampir separuh penanaman modal masuk ke Rusia berasal dari dua negara saja, yaitu Siprus dan Bermuda.

Di lain pihak, lima negara yang menjadi tujuan penanaman modal terbesar dari Rusia adalah: Siprus (US$215,8 miliar), Austria (US$26 miliar), Belanda (US$23,5 miliar), Swiss (US$21,1 miliar), dan Jersey (US$20,4 miliar). Dari total penanaman modal keluar Rusia di 2021 senilai US$396,8 miliar, lebih dari separuhnya menuju ke negara Siprus.

Data CDIS Rusia menunjukkan suatu fenomena unik. Siprus berperan sebagai negara asal penanaman modal masuk dan keluar yang terbesar bagi Rusia. Dalam kasus tersebut, terdapat risiko penanaman modal masuk ke Rusia yang berasal dari Siprus justru sumbernya berasal dari Rusia sendiri. Fenomena ini dikenal dengan istilah round-tripping.

Dalam konteks pertukaran informasi perpajakan dan P3B, negara terpenting bagi Rusia adalah Siprus karena merupakan titik sentral arus dana masuk dan keluar negaranya. Dari sisi perpajakan, tentunya hal ini dapat berkaitan dengan isu-isu teknis, misalnya analisis terhadap treaty shopping, controlled foreign company, dan beneficial owner.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.