Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Hearth Tax, lebih familiar disebut sebagai ‘pajak perapian’, adalah salah satu contoh skema perpajakan menarik yang diterapkan di Inggris pada abad ke-17. Pajak ini lahir di tengah-tengah krisis moneter dan perang pada tahun 1662 untuk menjadi solusi praktis sebagai sumber penerimaan negara kala itu. Hearth Tax menghitung besaran pajak terutang berdasarkan jumlah perapian –sebagai indikator yang sangat jelas– di sebuah rumah dengan asumsi bahwa semakin banyak perapian berarti semakin kaya pemilik rumah tersebut. Dalam praktiknya, pajak ini menawarkan kemudahan dalam administrasi dan bersifat sebagai stimulan penerimaan secara langsung ke pemerintah lokal.  

Di masa itu, Hearth Tax adalah contoh paling awal dari upaya untuk menerapkan prinsip kemampuan membayar (ability to pay). Dengan mengenakan besaran pajak berdasarkan jumlah perapian yang dimiliki, pemerintah Inggris secara tidak langsung berusaha untuk mendefinisikan ‘kekayaan’ aktual rumah tangga melalui indikator fisik. Meskipun tampak sederhana, pajak ini memiliki implikasi yang mendalam di masa depan dan menimbulkan kontroversi di masanya. Karena usia pelaksanaannya, pajak ini dipercayai sebagai salah satu pionir penerapan pajak kekayaan modern.

Dalam perkembangannya, secara konseptual Hearth Tax bertransformasi secara kontinu di dunia dari masa ke masa. Contoh produk turunan dari pajak ini adalah Property Tax di Amerika Serikat dan Council Tax di Inggris. Dalam konteks modern, khususnya di Indonesia, penerapan Hearth Tax dapat diamati pada karakter dari beberapa jenis pajak yang berlaku. Pemberlakuan beberapa jenis pajak ini tentu saja tidak serta merta mengadopsi indikator sederhana dari Hearth Tax, akan tetapi disesuaikan dengan pendekatan yang lebih akurat dan relevan dengan kondisi ekonomi-sosial untuk menentukan kekayaan aktual wajib pajak.

Hearth Tax dan Regulasi Modern di Indonesia

Salah satu pajak di Indonesia yang memiliki kesamaan karakter dengan Hearth Tax adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan di atasnya. Sama seperti Hearth Tax yang mengasumsikan bahwa jumlah perapian mencerminkan kekayaan, PBB menggunakan nilai tanah dan bangunan sebagai indikator kemampuan ekonomi pemiliknya. Identifikasi ‘kekayaan’ berupa tanah dan bangunan sebagai dasar utama penentuan kemampuan ekonomi bisa kita amati pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.” Lebih lanjut, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan sebagai dasar pengenaan PBB diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1), yang menyatakan “Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak”. Di mana Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) itu berasal dari presentase tertentu dari NJOP.

Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia juga dapat dikaitkan dengan konsep dasar Hearth Tax dalam hal penilaian kemampuan membayar pajak berdasarkan indikator kekayaan yang direpresentasi dari akumulasi penghasilan tahunan yang menjadi objek pajak. PPh dikenakan pada pendapatan orang pribadi atau badan usaha, dengan ketentuan bagi orang pribadi adalah tarif yang progresif—semakin tinggi pendapatan, semakin besar persentase pajak yang harus dibayar.

Definisi objek pajak sebagai simbol ‘kekayaan’ diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa "Objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun." Kemudian, tarif progresif yang dikenakan kepada orang pribadi ini diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menjelaskan "Tarif pajak yang diterapkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: hingga Rp50 juta sebesar 5%, di atas Rp50 juta hingga Rp250 juta sebesar 15%, di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta sebesar 25%, di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar sebesar 30%, dan di atas Rp5 miliar sebesar 35%."

Selain PBB dan PPh, konsep Hearth Tax juga dapat dilihat dalam konteks pajak barang mewah di Indonesia. Walaupun saat ini belum ada ketentuan formal ‘pajak kekayaan’ yang berlaku, pemerintah Indonesia telah melaksanakan pendekatan lain dengan menerapkan pajak atas jual beli barang-barang mewah, seperti kendaraan bermotor dan properti yang bernilai tinggi. Pajak ini didasarkan pada asumsi bahwa kepemilikan barang mewah mencerminkan kekayaan pemiliknya—dengan asumsi bahwa semakin kaya, maka buying power akan semakin tinggi.

Peraturan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, lebih lanjut Pasal 5A ayat (1) menyatakan "Barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah barang yang bersifat sebagai barang mewah, baik karena sifat atau kegunaannya." Kemudian, tarif pajak ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (1), yang menyatakan "Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah sebesar 10% sampai dengan 200% dari harga jual."

Kekayaan dan Ability To Pay

Hearth Tax, kendati sangat sederhana dan kaya akan nilai historis, memberikan pelajaran penting tentang bagaimana upaya pemerintah dalam merumuskan konsep perpajakan yang mengorelasikan kekayaan dan ability to pay. Walaupun sampai dengan saat ini garis yang menunjukkan keadilan pembayaran pajak masih belum ada, konsep ini merupakan langkah awal yang sangat bagus untuk menciptakan perkembangan sistem perpajakan yang adil, di mana beban pajak didistribusikan sesuai dengan kapasitas ekonomi wajib pajak.

Meskipun sistem perpajakan telah berkembang jauh sejak zaman Hearth Tax, tantangan dalam mencapai keadilan perpajakan tetap menjadi isu yang mendesak di Indonesia. Kompleksitas ekonomi modern, dengan berbagai bentuk kekayaan yang semakin sulit diukur, menuntut adanya pendekatan yang lebih inovatif dan komprehensif. Dalam konteks ini, pengembangan teknologi informasi dan data yang lebih baik dapat memainkan peran penting dalam mendukung penilaian yang lebih akurat terhadap kemampuan membayar pajak. Selain itu, keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan pajak juga menjadi faktor krusial untuk memastikan bahwa sistem perpajakan tidak hanya adil tetapi juga transparan dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah-langkah ke depan dalam kebijakan perpajakan harus selalu mempertimbangkan keseimbangan antara optimalisasi pendapatan negara dan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi warga negara.

Kehadiran PBB, PPh, dan PPnBM merupakan skema pajak yang diupayakan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus mendorong redistribusi ekonomi yang lebih merata, terutama di tengah tantangan mendefinisikan 'kekayaan' yang layak dipajaki. Esensi dari ketentuan pajak yang telah terbentuk tersebut tetap berfokus pada penilaian kemampuan ekonomi yang mendorong terciptanya distribusi beban pajak secara adil di antara warga negara. Dengan terus mengupayakan sistem perpajakan yang lebih adil melalui koreksi secara berkesinambungan, menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan regulasi pajak bisa memberikan kepastian tentang fungsinya yang tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai keadilan sosial di masa yang akan datang.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.