Oleh: Esra Junius Ginting, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tidak dapat dipungkiri bahwa pajak merupakan sumber utama penerimaan negara Indonesia. Tidak tanggung-tanggung kantor pajak di tahun 2019 diamanatkan untuk mencapai penerimaan pajak sebesar 1.784,4 triliun rupiah. Angka tersebut harus tercapai untuk membiayai prioritas program sasaran pembangunan nasional dan belanja negara lainnya. Disinilah optimalisasi penerimaan pajak menjadi mandatory.

Bukan merupakan tugas mudah mengingat kantor pajak dihadapkan pada kondisi tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia yang kian meningkat tetapi belum cukup menggembirakan. Di samping itu, tax-to-GDP Ratio (rasio pajak) Indonesia masih tergolong relatif rendah di angka 10-11% (Economy Outlook, 2018). Senada dengan hal tersebut, target penerimaan pajak pun setiap tahun selalu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah belanja negara dan kebutuhan pembangunan nasional.

Di sisi lain, pengaruh luar seperti efek globalisasi, rapid changes of technology, ekonomi digital yang kian berkembang pesat memaksa setiap organisasi bisnis untuk stretch kapasitasnya. Pun dengan kantor pajak. Tanpa adanya stretching kapasitas organisasi, entitas tersebut akan mati (Johnson, 2014).

Faktanya, kantor pajak dihadapkan kepada kapasitas organisasi yang terbatas dalam menghadapi gempuran perubahan lingkungan tersebut. Karena itu, administrator perpajakan Indonesia ini bertekad untuk melanjutkan reformasi perpajakan. Terlebih setelah Indonesia sukses mengeksekusi milestone program Tax Amnesty yang digadang-gadang sebagai langkah awal yang menjanjikan sebagai stimulus pembangunan. Amnesti akan tinggal menjadi pengampunan belaka jika tidak dikapitalisasi dengan sebuah reformasi perpajakan yang substantif dan komprehensif agar momentum positif yang terbentuk pada masa amnesti pajak bisa berlanjut.

Melalui reformasi perpajakan, kantor pajak diharapkan untuk mampu mewujudkan sistem perpajakan yang jauh lebih berkeadilan, serta perluasan data yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Institusi perpajakan pun menyadari kebutuhan untuk mewujudkan suatu organisasi perpajakan yang tidak hanya kuat, kredibel, dan akuntabel, namun juga secara struktur, kewenangan, dan kapasitasnya cukup memadai.

Berbicara tentang reformasi perpajakan, sebenarnya reformasi tersebut sudah dimulai sejak tahun 1983 dimana terdapat Undang-Undang perpajakan yang mengubah sistem official assessment ke self assessment. Proses tersebut terus dilanjutkan dengan reformasi birokrasi yang difokuskan pada modernisasi administrasi perpajakan dan amandemen perundang-undangan pajak. Program reformasi birokrasi ini dilaksanakan pada 2002 sampai 2008. Selanjutnya, sekitar 2009 sampai 2014 reformasi difokuskan kepada peningkatan internal control.

Dan kini reformasi perpajakan, pasca tax manesty, jauh lebih melibatkan banyak sinergi dengan pihak lain dalam menyukseskan reformasi pajak. Mengedepankan konsolidasi, akselerasi dan kontinuitas reformasi, kantor pajak fokus kepada perbaikan 5 pilar reformasi. Pilar tersebut adalah Sumber Daya Manusia, Organisasi, Proses Bisnis, Teknologi Informasi dan Basis Data, serta Peraturan Perpajakan. Di samping itu, sinergi dengan pihak ketiga seperti asosiasi, institusi pemerintahan lainnya, terus digiatkan dalam upaya keandalan data dan penegakan hukum. Dengan artian, reformasi perpajakan kali ini jauh lebih substansial dan komprehensif.

Pada pilar pertama yaitu Sumber Daya Manusia, kantor pajak fokus kepada pembentukan SDM yang kompeten, profesional, kredibel, berintegritas dan dapat menjalankan proses bisnis dalam rangka menghimpun penerimaan negara sesuai dengan potensi yang ada. Selanjutnya, dari pilar organisasi, kantor pajak bertujuan untuk memiliki struktur organisasi yang ideal dan fleksibel dengan mempertimbangkan karakteristik organisasi, cakupan geografis, kearifan lokal, ekonomi, potensi penerimaan dan span of control yang memadai. Lalu, terkait proses bisnis, kantor pajak diarahkan untuk memiliki proses bisnis yang simpel untuk membuat pekerjaan menjadi efektif, efisien, akuntabel dan berbasis teknologi informasi. Pilar selanjutnya, teknologi informasi dan basis data, kantor pajak diharapkan memiliki sistem informasi yang handal dan dapat diandalkan sebagai upaya pengolahan data perpajakan yang akurat dan berbasis teknologi informasi. Pilar peraturan perundang-undangan diarahkan untuk memberi kepastian hukum serta menampung dinamika kegiatan perekonomian yang berkembang, mengurangi cost of compliance, memperluas basis perpajakan, dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan pajak. Reformasi pada kelima pilar tersebut diupayakan untuk mendeteksi potensi pajak dan kemudian merealisasikannya menjadi penerimaan pajak secara efisien dan efektif.

Hal yang menjadi basis atau dasar dibangunnya pilar reformasi perpajakan tersebut adalah optimalnya sinergi antar lembaga, institusi lain, asosiasi, dan stakeholders lainnya. Kantor pajak menyadari bahwa dalam menghimpun penerimaan negara di bidang pajak, organisasi ini tidak mampu bekerja sendiri. Dukungan bersama stakeholders, instansi lain dan pihak ketiga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara formal dan material, serta pada akhirnya akan meningkatkan rasio pajak yang tinggi.

Core Tax Administration System

Saat ini kantor pajak sedang memasuki tahapan pengadaan core tax administration system yang juga didukung oleh sistem pendukung operasionalnya. Fokus kepada 21 proses bisnis to be, kantor pajak hendak mengintegrasikan semua proses bisnis ke dalam sistem yang baru. Proses pengadaan pun terdiri dari 4 paket pengadaan yaitu agen pengadaan, jasa konsultansi owner’s agent- change management, jasa konsultansi project management dan quality assurance, serta system integrator core tax administration system

Dengan sistem yang baru ini nantinya pelayanan pajak dan fungsi perpajakan lainnya diharapkan mampu memberikan data yang lebih akurat yang bermanfaat baik bagi eksternal dan internal serta mampu mengakomodir perubahan teknologi yang sangat pesat. Dan diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan menjadi jauh lebih baik.

Peran Sentral Change Management

Menyadari bahwa keberhasilan reformasi perpajakan ini menjadi tanggung jawab bersama, maka engagement dan komunikasi terhadap internal dan eksternal stakeholders menjadi sangat mandatory. Keterlibatan seluruh pihak sangat dibutuhkan dalam menyukseskan program reformasi pajak ini. Change Management harus mampu berperan untuk menjamin tersampaikannya deliverables kepada targeted stakeholders. Hal ini sangat krusial karena berdasarkan best practice, hanya 30% dari program reformasi berskala besar yang menggiring kepada intended outcome. Sehingga Change Management Plan harus didesain sedemikian rupa menjadi terstruktur, terukur dan implementable.

Keterbatasan resources menjadi hal yang tidak dapat dihindari yang menggiring untuk memetakan stakeholders yang ada berdasarkan interest dan power of influence-nya terhadap program reformasi perpajakan. Mapping ini akan menggiring kepada stakeholders prioritas yang harus di-engage now, yang mana stakeholders yang nanti saja, atau yang mana yang  massive informing.

Sebagai penutup, yang pasti, kantor pajak sangat menyadari bahwa keberhasilan reformasi perpajakan tergantung kepada seberapa optimal dukungan pihak lain, masyarakat dan stakeholders lainnya. Sehingga sangat beralasan bahwa dukungan bersama terhadap program reformasi perpajakan yang sekarang sedang dalam proses ini sangat diharapkan. Mengapa demikian? Reformasi perpajakan ini pada dasarnya ditujuan juga untuk kepentingan pembangunan bangsa dan upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak. Sehingga pada akhirnya akan terwujud kesejahteraan masyarakat Indonesia, karena Pajak Kita, Untuk Kita.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.