Rasio Pajak Indonesia Masih Rendah, Ini Strateginya!

Oleh: Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Indonesia memiliki PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar di negara-negara ASEAN namun memiliki rasio pajak yang berada di peringkat terendah di antara negara-negara ASEAN. Rasio pajak Indonesia masih di bawah 10 persen atau single digit sedangkan negara G20 dan negara ASEAN memiliki rasio pajak di atas 10 persen atau double digit.
Kondisi rasio perpajakan hingga akhir 2022 diperkirakan mencapai 9,3 persen. Proyeksi tersebut melebihi target rasio pajak dalam APBN 2022 yang sebesar 8,44 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Rasio pajak merupakan indikasi ketaatan masyarakat dalam membayar pajak di suatu negara dan rasio pajak itu sendiri merupakan perbandingan antara jumlah pajak yang diterima dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini menjadi alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu negara.
Dalam menghitung rasio pajak, yang dimaksud dengan penerimaan pajak adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, baik yang diterima langsung oleh pemerintah maupun dari lembaga atau badan usaha yang berada di bawah kendali pemerintah seperti BUMN.
Namun, dalam komponen penerimaan pajak di Indonesia, pajak daerah tidak menjadi komponen perhitungan rasio pajak di Indonesia. Penerimaan pajak tersebut mencakup penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak dan gas, serta PNBP pertambangan umum.
Rasio Pajak dalam Dua Sisi
Rasio pajak dapat dilihat dari dua sisi, pertama rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Semakin tinggi penerimaan pajak suatu negara, semakin besar rasio pajaknya. Penerimaan pajak yang besar akan memungkinkan suatu negara menyelenggarakan manajemen pemerintahan dengan lebih leluasa.
Kedua, rasio pajak bisa dilihat sebagai ukuran beban pajak. Selain dilihat sebagai keseluruhan nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun, GDP bisa pula dilihat sebagai total penghasilan semua orang di dalam suatu perekonomian.
Maka semakin tinggi rasio pajak, semakin besar pula penghasilan masyarakat yang masuk ke dalam penerimaan pajak (ceteris paribus).
Metode Perhitungan Rasio Pajak
Referensi dalam membandingkan rasio pajak antarnegara dilakukan berdasarkan panduan dari OECD dan Government Financial Statistic Manual (GFSM) 2001. Kedua referensi tersebut menjadi rujukan internasional dari segi cakupan, komponen pajak, dan struktur pajak.
Menteri Keuangan Republik Indonesia menjelaskan setidaknya terdapat tiga metode dalam perhitungan rasio pajak. Pertama, menggabungkan penerimaan pajak dan setoran bea cukai dalam komponen perhitungan rasio pajak.
Kedua, metode yang sering digunakan Indonesia dalam perhitungan rasio pajak yaitu memasukkan komponen penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam migas dan pertambangan umum. Metode ini sering dipakai oleh Indonesia karena sesuai dengan postur APBN yang ada.
Ketiga, perhitungan rasio pajak menurut OECD dan GFSM 2001 yang memasukkan komponen pajak daerah dan kontribusi sosial atau jaminan sosial (seperti BPJS) dalam perhitungan rasio pajak. Metode tersebut banyak menjadi dasar bagi negara di dunia dalam menghitung rasio pajak.
Indonesia tidak menggunakan pendekatan yang banyak negara lain gunakan dengan dua alasan. Pertama, postur APBN yang ada di Indonesia hanya mencakup penerimaan pemerintah pusat dan tidak ada penerimaan pemerintah daerah. Kedua, belum adanya konsolidasi data audit keuangan untuk seluruh tingkatan pemerintah daerah.
Dengan perbedaan metode perhitungan rasio pajak tersebut, sering kali membuat rasio pajak kita terlihat begitu rendah ketika dikomparasikan dengan beberapa negara maju atau yang selevel dengan Indonesia. Para ekonom hampir bersepakat sepenuhnya bahwa metode perbandingannya kurang apple to apple.
Perbandingan rasio pajak dapat setara jika Indonesia mempunyai penyesuaian perhitungan dalam hal penerimaan pajak harus ditambahkan terlebih dahulu dengan pajak daerah dan komponen pajak lainnya seperti pajak atas CSR (Corporate Social Responsibility) yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar 5% dari biaya yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012.
Strategi Meningkatkan Rasio Pajak
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak baik melalui intensifikasi penerimaan pajak seperti pemungutan pajak terutang dan melalui pendekatan kebijakan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang amnesti pajak dan adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di tahun 2022.
Selain itu, kegiatan ekstensifikasi atau memperluas penerimaan pajak atau objek pajak seperti memperluas basis penerimaan pajak atas objek pajak yang sebelumnya tidak tercakup dalam pajak, seperti pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan memberikan insentif berupa omzet di bawah Rp500 juta tidak kena pajak dan di atas Rp500 juta kena pajak 0,5%.
Beberapa hal yang menyebabkan rasio pajak Indonesia tetap rendah, sekitar 57,6 % (Asia Development Bank Study tahun 2016) adalah usaha masyarakat yang tidak terdeteksi atau belum tercatat atau disebut "penyamaran ekonomi" yang belum atau tidak dikenakan pajak dalam hal ini adalah sektor UMKM.
Direktorat Jenderal Pajak berupaya pada tahun 2023 untuk memperluas basis baik wajib pajak maupun regulasi perpajakan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan data antara nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Hal tersebut telah diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022 sebagai implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP. Lewat integrasi NIK dan NPWP, diharapkan meningkatan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sehingga bisa mendorong peningkatan rasio pajak.
Selain integrasi NIK dan NPWP, Direktorat Jenderal Pajak juga akan menggandeng Kementerian dan Lembaga (K/L), perbankan, maupun lembaga keuangan bukan bank untuk memantau harta masyarakat yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.
Secara makro ekonomi, meningkatkan penerimaan suatu negara akan membuat belanja negara menjadi lebih besar, dengan meningkatkan belanja negara akan menyebabkan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat melebihi belanja negara apabila peningkatan belanja pemerintah diserahkan ke sektor domestik yang akan menyebabkan multiplier effect, sehingga perekonomian tumbuh lebih besar.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1170 kali dilihat