Rahasia Perbankan dan Pemeriksaan Pajak

Oleh: Kartika Cahya Kencana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Akhir-akhir ini kita membaca di media massa atau elektronik terkait keinginan pemerintah untuk mempercepat prosedur pembukaan rahasia perbankan secara elektronik yang dikenal dengan AKASIA. Gebrakan ini muncul seiring dengan berakhirnya masa Amnesti Pajak yang mengusung tema keterbukaan akses informasi untuk kegiatan perpajakan.

Selama ini dengan menggunakan prosedur manual memakan waktu yang cukup lama sehingga banyak para pemeriksa pajak mendapatkan kendala dalam memperolah informasi data perbankan. Keadaan seperti ini merupakan informasi yang asimetris sehingga memunculkan moral hazard bagi pihak Wajib Pajak perbankan untuk melakukan tax avoidance bahkan evasion.

Sudah sejak lama kerahasiaan perbankan menjadi alat bagi Wajib Pajak perbankan untuk menghindari kewajiban pemeriksaan pajak yang menyentuh informasi nasabah seperti bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Tabungan atau Deposito.

Dari sisi kenyamanan dalam dunia usaha, kerahasiaan perbankan merupakan hal yang paling penting karena menyangkut keamanan harta para nasabah. Begitu prudennya kerahasiaan ini sehingga pemerintah Indonesia menjaminnya melalui ketentuan-ketentuan yang diatur oleh otoritas perbankan maupun perpajakan. Peraturan Bank Indonesia nomor: 2/19/PBI/2000 mengemukakan bahwa pihak perbankan harus merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah. 

Terkait dengan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka apabila untuk keperluan perpajakan aparat pajak bermaksud memperoleh data atau keterangan mengenai rekening nasabah/Wajib Pajak maka harus dimulai dengan permintaan ijin dari komisioner OJK. Terkait dengan ketentuan perbankan dan OJK tersebut, Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pun mengatur dalam Pasal 35 ayat (2) bahwa kerahasiaan perbankan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa klausul hukum terkait kerahasiaan menjadi daya tarik bagi Wajib Pajak yang menjalankan dunia bisnis perbankan karena hanya dapat dibuka melalui izin Menteri Keuangan dengan proses manual yang cukup panjang. Sayangnya hampir semua Wajib Pajak perbankan menafsirkan kerahasiaan perbankan tersebut dengan kegiatan pemeriksaan pajak terkait pemenuhan kewajiban with holding tax-nya. Dalam Pasal 29 UU KUP ditegaskan bahwa apabila dalam proses pemeriksaan Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan informasi, data, dokumen maka kewajiban untuk merahasiakan tersebut harus ditiadakan.  

Masih banyak sengketa banding dengan nilai ratusan milyar rupiah yang bermuara di Pengadilan Pajak akhir-akhir ini terkait dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga tabungan atau deposito. Alasan Wajib Pajak yang menggunakan Pasal 35 ayat (2) UU KUP terkait dengan kerahasiaan perbankan adalah awal munculnya sengketa. Pemeriksa pajak dalam menjalankan pemeriksaan tentunya menjalankan kewenangannya sesuai Pasal 29 ayat (4) UU KUP bahwa dalam hal Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban merahasiakan informasi atau dokumen maka harus ditiadakan. Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (4) dan 35 ayat (2) UU KUP sekilas mempunyai atmosfir yang bertentangan. Menarik untuk diulas terkait dua pasal tersebut yang banyak dari para pemangku kepentingan perpajakan pun bias dalam menanggapi kasus ini.

Pemeriksaan Pajak

Kegiatan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak perbankan sebagai pihak terperiksa terkait dengan pengujian atas kebenaran pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito atau tabungan tentunya tunduk kepada Pasal 29 UU KUP. Dalam ketentuan perpajakan, pemotongan PPh dikenakan atas Bunga Deposito atau Tabungan dengan tarif 20% atau sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan bersifat final.  Kewajiban pemotongan ini berlaku untuk semua bank yang berkedudukan termasuk cabang bank luar negeri yang ada di Indonesia.  Namun terdapat pengecualian atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 seperti bunga deposito dan tabungan yang,

  1. dimiliki oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang seluruh penghasilannya termasuk bunga deposito/ tabungan yang tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
  2. jumlah deposito/ tabungan tidak melebihi Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) untuk jumlah yang tidak terpecah-pecah, yang diperoleh
  3. diterima atau diperoleh bank atau cabang bank luar negeri yang ada di Indonesia.
  4. diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan
  5. diterima atau diperoleh bank yang ditunjuk oleh pemerintah dalam rangka kepemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana.

Dalam rangka untuk menguji pemenuhan kepatuhan pihak Wajib Pajak perbankan terkait pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) terhadap Bunga Deposito atau Tabungan maupun pembebasannya maka pemeriksa pajak harus memeriksa pembukuan dan mengidentifikasi masing-masing rekening nasabah secara individu. Selain daripada itu, Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-53/PJ./2009 yang mengharuskan kepada Wajib Pajak perbankan untuk membuat bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) terhadap Bunga Deposito atau Tabungan lengkap dengan identitas perpajakan dari nasabah, tidak dilaksanakan sehingga pemeriksa pajak tidak dapat memastikan kebenaran pemotongan pajaknya.

Prinsipnya, ketentuan perpajakan telah mengakomodasi kerahasiaan perbankan dengan perlakuan khusus bagi Bukti Potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan untuk tidak melaporkannya kepada KPP. Namun hal ini dipandang berbeda oleh para Wajib Pajak Perbankan, mereka dalam prakteknya tidak mengisi identitas perpajakan nasabah dalam bukti potongnya dan bahkan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dalam rangka pemeriksaan. 

Terkait dengan pemeriksaan pajak tersebut, muncul resistensi dari para Wajib Pajak perbankan dengan dalil kerahasiaan perbankan. Wajib Pajak perbankan tidak memberikan pembukuan atau dokumen terkait dengan deposito atau tabungan dan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan dengan dalil pemeriksa pajak belum mengajukan ijin dari Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan perbankan, OJK maupun perpajakan. Pemeriksaan pajak yang dilakukan berakhir dengan ketidaksepakatan dalam komitmen pembayaran pajak. Ketidaksepakatan ini juga berlanjut pada tingkat proses keberatan sehingga para Wajib Pajak mengajukan banding atas sengketanya. 

Dalam sengketa seperti ini tentunya kita harus mencermati secara seksama ketentuan perpajakan yang terungkap dalam Pasal 29 ayat (4) dan 35 ayat (2) UU KUP. Penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan ranah ketentuan perpajakan antara Pasal 29 dengan Pasal 35 UU KUP.  Pasal 35 UU KUP yang merupakan ranah ketentuan khusus perpajakan menyatakan bahwa kedudukan pihak perbankan adalah sebagai pihak ketiga yang memberikan informasi/keterangan atau bukti terkait keadaan keuangan nasabah penyimpan, bukan sebagai terperiksa yang berkedudukan sebagai pihak kedua.

Seiring dengan hal tersebut, tidak tepat kiranya jika Wajib Pajak perbankan menggunakan Pasal 35 ayat (2) UU KUP sebagai dalil untuk tidak menyampaikan data-data atau dokumen maupun pembukuan terkait kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan. Sedangkan Pasal 29 ayat (4) UU KUP yang merupakan ranah pemeriksaan pajak menempatkan Wajib Pajak perbankan sebagai terperiksa, pihak kedua. Dalam hal ini, pemeriksa pajak tidak melakukan pemeriksaan terhadap nasabah penyimpan.

Alasan terkait dengan perbedaan ranah ketentuan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemeriksaan pajak tidak relevan dengan ketentuan kerahasiaan perbankan yang diatur dalam UU perbankan dan UU OJK maupun Pasal 35 ayat (2) UU KUP. Jika Wajib Pajak perbankan  yang mengharuskan pemeriksa pajak untuk meminta ijin kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama nasabah penyimpan yang dikehendaki keterangannya maka hal tersebut merupakan hal yang tidak mungkin karena  nasabah penyimpan bukan sebagai Wajib Pajak terperiksanya. Ketentuan PBI terkait kerahasiaan perbankan sangat relevan dengan Pasal 35 ayat (2) UU KUP namun tidak untuk Pasal 29 UU KUP.

Permasalahan terkait dengan ketakutan dari para Wajib Pajak perbankan akan bocornya informasi keadaan keuangan nasabah sebenarnya dapat diatasi dengan mekanisme khusus dalam pemeriksaan pajak. Mekanisme khusus tersebut berupa kegiatan pemeriksaan pajak atas data-data/dokumen informasi deposito atau tabungan dilakukan dalam suatu ruangan khusus yang dapat dipantau dan direkam oleh pihak bank tanpa ada kegiatan dokumentasi yang dilakukan oleh pemeriksa pajak seperti fotokopi Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito atau Tabungan, pemotretan dokumen melalui telepon seluler ataupun kamera dan lain-lain. Mekanisme khusus ini sekiranya mendapat perhatian kepada otoritas perpajakan di Indonesia untuk dapat dibakukan dalam suatu peraturan dalam ruang lingkup pemeriksaan pajak.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.