Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), adalah salah satu inovasi paling revolusioner dalam sistem pembayaran digital di Indonesia. Diluncurkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas independen dalam kebijakan moneter dan sistem pembayaran, QRIS menjadi bukti nyata bagaimana transformasi digital bisa dijalankan dengan efektif dan inklusif. Tak hanya mempercepat transaksi, QRIS juga memperluas akses keuangan hingga ke pelosok negeri, dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di desa terpencil hingga restoran di kota besar. QRIS adalah buah dari visi jangka panjang dan independensi Bank Indonesia dalam mengelola sistem pembayaran nasional. Maka dari itu, QRIS harus dipertahankan dan terus dikembangkan.

QRIS kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan transaksi masyarakat Indonesia. Mudah, cepat, dan tanpa uang tunai. Namun, seiring dengan makin luasnya penggunaan QRIS, muncul pertanyaan di tengah masyarakat: apakah QRIS dikenai pajak? Benarkah saat kita menggunakan atau menyediakan QRIS dalam transaksi, ada pajak yang melekat? Jawabannya ada dua yaitu bisa jadi “ya" dan bisa jadi “tidak”. QRIS sebagai sarana pembayaran tidak secara langsung dikenai pajak, tetapi ada aspek perpajakan yang menyertainya tergantung siapa yang terlibat dan bagaimana transaksinya dilakukan. Mari kita bahas.

Sebagai mukadimah, penting bagi kita untuk berangkat dengan persepsi yang benar tentang QRIS yaitu sebagai alat atau sarana pembayaran, bukan objek pajak. Dalam hal ini, QRIS hanyalah pengganti uang tunai, kartu debit, atau metode pembayaran lainnya. Oleh karena itu penggunaan QRIS oleh konsumen untuk membeli barang atau jasa tidak serta-merta menciptakan kewajiban pajak tambahan.

Namun, karena sistem ini melibatkan penyedia layanan teknologi dan transaksi ekonomi, unsur pajak tetap ada di balik layar. Lalu, siapa saja pelaku ekonomi yang dikenai pajak atas pemanfaatan QRIS?

1. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP)

PJSP adalah pihak seperti bank, fintech, atau lembaga keuangan lain yang menyediakan layanan QRIS. Mereka memperoleh penghasilan dari fee, komisi, atau biaya layanan kepada merchant. Dari sisi pajak, mereka dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa layanan sistem elektronik (jika dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau PKP) dan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari fee atau komisi. Jadi, ketika penyedia QRIS mengenakan biaya kepada merchant, fee tersebut merupakan objek pajak yang harus dilaporkan.

2. Merchant (Pedagang atau Penyedia Jasa)

Merchant yang menerima pembayaran melalui QRIS tetap memiliki kewajiban pajak atas transaksi yang dilakukan, terlepas dari metode pembayarannya. Jika merchant merupakan PKP, ia wajib memungut dan menyetor PPN atas penjualan barang atau jasa kena pajak. UMKM dapat dikenai PPh Final UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022), selama omzet belum melebihi Rp500 juta. QRIS di sini tidak mengubah skema perpajakan. Ia hanya menggantikan media pembayaran, bukan jenis usahanya.

3. Konsumen

Dari sisi konsumen, tidak ada kewajiban pajak baru yang timbul karena menggunakan QRIS. Konsumen hanya membayar harga barang atau jasa seperti biasa. Jika barang/jasa tersebut memang kena PPN, maka PPN sudah termasuk dalam harga (atau ditambahkan secara terpisah). Artinya, konsumen tidak membayar “pajak QRIS” secara terpisah.

Lebih lanjut, dalam ekosistem QRIS, terdapat istilah Merchant Discount Rate (MDR), yaitu biaya yang dibebankan kepada merchant oleh penyedia QRIS setiap kali terjadi transaksi. Biasanya besarannya kecil, misalnya 0,7% dari nilai transaksi. Apabila kita lihat dari kaca mata pajak bagi merchant, MDR bisa menjadi biaya operasional yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan PPh. Sedangkan bagi penyedia QRIS, MDR merupakan penghasilan, sehingga menjadi objek PPh dan mungkin juga dikenai PPN jika tergolong jasa kena pajak.

Berdasarkan fakta di atas kita dapat menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. QRIS sebagai alat pembayaran tidak dikenai pajak secara langsung. Namun, jasa penyediaan sistem QRIS dan transaksi ekonomi yang terjadi melalui QRIS tetap berada dalam pengawasan sistem perpajakan. Alih-alih melihat QRIS sebagai sumber pajak baru, kita sebaiknya memahaminya sebagai bagian dari ekosistem digital ekonomi yang makin transparan dan tercatat. Justru dengan penggunaan QRIS, potensi pajak bisa lebih terpantau dan adil, karena transaksi menjadi lebih terdokumentasi.

Di balik kemudahannya, QRIS juga menghadirkan peluang besar bagi negara dalam membangun ekosistem perpajakan yang lebih tertib dan akuntabel. Dalam era digital, transparansi menjadi kunci. Dan melalui QRIS, kita tidak hanya mempermudah transaksi, tetapi juga memperkuat fondasi kepercayaan antara wajib pajak dan negara. Karena pada akhirnya, kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan kesadaran pajak sebagai bagian dari kontribusi bersama membangun Indonesia.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.