Oleh: Fri Okta Fenni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ruang layanan hampir di semua kantor pajak tanah air memang terlihat lengang. Pasalnya semua jenis pelaporan pajak yang awalnya harus tatap muka sudah beralih ke sistem daring. Hanya saja kantor pajak tetap menyediakan layanan konsultasi terkait berbagai masalah pajak. Pagi itu jadwal saya bertugas untuk melayani tanya jawab para wajib pajak yang berminat untuk ambil bagian menjadi peserta Pengungkapan Pajak Sukarela (PPS). 

Seorang laki-laki dengan setelan hem hitam dipadu bawahan berwarna khaki lengkap dengan pantofel kulitnya menuju meja saya. Dari tampilan fisiknya saya bisa menebak jika dia adalah orang kaya. 

“Ehm..,boleh saya ganggu?” dia memulai membuka obrolan dengan berdehem.

“Di masa pandemi begini mestinya Bapak kurangi berdehem, agak seram kedengarannya Pak,” respons saya sambil tersenyum tentu saja.

Dengan nada serius ia menambahkan “Ah iya, maafkan saya. Begini, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terkait PPS. Saya ingin sedikit berdiskusi. Boleh?” 

“Bapak beruntung hari ini. Saya memang ditugaskan atasan saya untuk melayani segala pertanyaan terkait PPS. Ada yang bisa kami bantu?” 

Bla bla bla mengalirlah ceritanya.

Nasib baik agaknya sedang berpihak ke saya yang beberapa minggu sebelum bertugas dibekali kantor materi PPS yang sedang kami jual. Lelaki perlente ini mengajak saya berdiskusi yang arahnya melihat celah asumsi saya sebagai petugas di kantor pajak mengenai hal apa yang akan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lakukan jika di kemudian hari diketahui ada seseorang yang belum melaporkan hartanya di Surat Pemberitahuan (SPT) dan tidak ikut PPS. Saya berhitung bahwa dia pasti tahu konsekuensinya. Ia hanya ingin meraba apakah PPS adalah jebakan atau masihkah ada celah bagi orang kaya untuk menghindar dari pajak.

Jika tidak mengikuti PPS dan DJP menemukan harta yang belum dilaporkan tersebut, wajib pajak akan menghadapi ketentuan sanksi kenaikan sebesar 200% sesuai dengan amanat UU Pengampunan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017. Tarif dan hal yang menjadi konsekuensi dalam UU Pengampunan pajak itu lebih tinggi dibandingkan dengan tarif PPh final dalam PPS. Dalam skema kebijakan I PPS, tarif PPh final sebesar 6%, 8%, dan 11% terhadap harta bersih yang belum diungkapkan dalam surat pernyataan.

Tentu saja sebaiknya para orang kaya ikut pengenaan tarif PPS yang negara berikan untuk 6 bulan mulai dari 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Catat dengan baik tenggatnya. Jangan sampai melewatkan program tobat resmi pengusaha kaya ini. Keikutsertaan dalam PPS dapat menghindarkan wajib pajak dari sanksi atas harta yang belum dilaporkan.

Jika wajib pajak kaya berpikir masih ada celah untuk menghindar. Perlu diketahui bahwa saat ini DJP memiliki skema Automatic Exchange of Information. Akses informasi yang  tidak terbatas karena mencakup seluruh sektor keuangan. DJP juga memiliki skema kerja sama global. Artinya DJP sudah memegang kunci untuk mengakses guna  mengintip harta wajib pajak yang disembunyikan di luar negeri. Jadi walaupun wajib pajak nakal berusaha menyembunyikan kontak Lidya dengan nama Jack, misalnya, ingat, DJP tak hanya bisa mengakses nama asli secara lengkap, tetapi juga komplet dengan data aset yang dimiliki, di luar negeri sekalipun. Kalangan pengusaha yang mangkir dari kepatuhan pajak sudah tidak banyak pilihan. Laporkan harta saat PPS atau akan dikejar oleh petugas pajak. Saya rasa kita semua sepakat bahwa hidup tenang adalah tujuan dari kesuksesan yang telah kita raih hari ini. 

“Sesudah bulan Juni [2022], Pak Suryo (Dirjen Pajak) dan timnya akan menggunakan seluruh akses informasi yang kami miliki untuk mengejar harta yang belum diungkapkan. Ini bukan ancaman, wong itu (kebijakan PPS) adalah fasilitas,” ujar Sri Mulyani menekankan pentingnya para pengusaha memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. 

Saya berpendapat bahwa kebijakan ini akan menjadi tameng bagi kami para petugas pajak yang pada medio 2022 kelak akan melakukan klarifikasi atas data harta yang belum dilaporkan. Kami dengan lugas akan menyampaikan kepada pengusaha kaya jika pemerintah dalam hal ini DJP sudah membuka pintu “tobat” seluas-luasnya selama enam bulan. Sungguh poin ini serta merta dapat menambah kepercayaan diri petugas untuk maju menjemput pajak si kaya.

Pengusaha kaya sekaligus pintar tentu tidak perlu berpikir dua kali untuk memanfaatkan momentum spesial ini. Konon, ini adalah kesempatan terakhir wajib pajak untuk patuh. Di zaman serba digital ini rasanya alasan ketidaktahuan akan adanya PPS bukan alasan yang baik untuk diajukan kepada petugas pajak. Di saat mereka menjalankan amanat undang-undang untuk menagih sanksi kepada pengusaha kaya yang terlewat memanfaatkan kesempatan baik ini. Jadi, tunggu apa lagi? 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.