Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebanyak 16.136 wajib pajak telah mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sampai dengan hari Rabu, 23 Februari 2022 pukul 08.00 WIB. Total 17.985 Surat Keterangan PPS telah disampaikan sampai dengan tanggal tersebut. Harta bersih yang dilaporkan mencapai Rp18.724,68 miliar dengan total Pajak Penghasilan (PPh) yang telah disetorkan sebesar Rp1.950,90 miliar.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa wajib pajak cukup antusias mengikuti PPS. Masih ada empat bulan lebih lagi waktu yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk mengikuti PPS ini. Jika melihat tren yang ada, jumlah tersebut tentunya akan terus bertambah sampai dengan batas waktu tanggal 30 Juni 2022 nanti.

PPS adalah kesempatan emas bagi wajib pajak. Kesempatan ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak sebelum pengenaan sanksi yang nantinya akan dilakukan jika diketahui ada kewajiban pajak yang belum diungkapkan oleh wajib pajak. Dalam beberapa kesempatan, DJP menyampaikan bahwa walaupun sepintas mirip dengan amnesti pajak yang pernah bergulir pada Juli 2016 sampai dengan Maret 2017, PPS bukan merupakan amnesti pajak jilid II.

Salah satu perbedaannya adalah bahwa saat pemberlakuan amnesti pajak, DJP belum mempunyai data-data terkait aset yang dimiliki oleh wajib pajak. Pada pemberlakuan PPS, DJP sebenarnya telah memiliki data-data terkait aset yang dimiliki oleh wajib pajak dan kewajiban pajak yang belum dilaksanakan oleh wajib pajak. Namun, DJP memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk secara sukarela mengungkapkan aset yang dimiliki, tetapi belum dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).

 

PPS dan AEoI

Dari mana DJP mendapatkan data-data dan informasi terkait aset wajib pajak? Salah satunya adalah melalui pemberlakuan Automatic Exchange of Information (AEoI).  AEoI adalah sistem pertukaran informasi secara otomatis yang dilakukan oleh negara-negara yang sepakat untuk mengimplementasikannnya. Indonesia telah bergabung dalam 108 negara yang akan mengirimkan data-data wajib pajak terkait ke negara-negara partisipan secara otomatis. Jika sebelumnya 160 negara atau yurisdiksi sudah menyatakan komitmennya untuk berpartisipasi dalam AEoI berarti ke depannya masih akan ada lagi negara yurisdiksi yang akan ikut bergabung menerapkan AEoI di negara masing-masing.

Indonesia yang telah bergabung sejak tahun 2018, saat ini memiliki 87 negara/yurisdiksi tujuan pelaporan. Penyempurnaan terkait teknologi informasi dan perbaikan sumber daya manusia pun terus dilakukan agar AEoI ini berjalan lebih efektif dan efisien guna mendukung penggalian potensi untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Data yang diperoleh dari AEoI ini memungkinkan DJP untuk mengetahui aset atau penghasilan yang belum dilaporkan oleh wajib pajak. Hal ini yang dapat menjadi dasar bagi DJP untuk menindaklanjutinya melalui kegiatan pengawasan dan/atau pemeriksaan pajak. Selain data AEoI dari luar negeri, DJP juga mendapatkan data dan informasi perpajakan dari dalam negeri. Sebelumnya telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi terkait perpajakan. Kemudian hal ini dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan.

Jika ditelusuri dari proses bergulirnya, AEoI ini merupakan elemen penting dalam kebijakan global berupa  Common Reporting Standard (CRS) sebagai kesepakatan negara-negara G20 dengan lembaga Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). CRS ini mendapat dukungan dari para Menteri Keuangan negara-negara G20 pada pertemuan tanggal 23 Februari 2014. Sebelumnya, pada 6 September 2013, para pimpinan negara-negara G20 bersepakat untuk mendukung penuh OECD dalam menerapkan AEoI. Hingga akhirnya, pada 21 Juli 2014, OECD menerbitkan versi utuh dari standard AEoI untuk kepentingan perpajakan. Sejak itu, negara atau yurisdiksi yang terlibat semakin bertambah dari tahun ke tahun.

 

Presidensi G20

Sebagai suatu forum internasional yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting, khususnya terkait isu perpajakan global, G20 dapat menjadi ruang bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama multilateral untuk menyikapi perkembangan ekonomi saat ini. Terlebih lagi, saat ini Indonesia menjadi tuan rumah forum atau menjadi Presidensi G20 yang telah dimulai sejak 1 Desember 2021 yang lalu dan akan berakhir pada 31 November 2022. Ini berarti bahwa Indonesia sedang dan akan menjadi pusat perhatian dunia sebagai satu-satunya perwakilan G20 dari Asia Tenggara yang saat ini menjadi presidensi G20.

Forum ini terdiri dari sembilan belas negara dengan perekonomian besar dunia yaitu Amerika Serikat, Afrika Selatan, Argentina, Arab Saudi, Australia, Britania Raya, India, Indonesia, Brasil, Jepang, Italia, Jerman, Korea Selatan, Kanada, Meksiko, Rusia, Tiongkok, Perancis, dan Turki, ditambah dengan Uni Eropa. Forum G20 tahun ini akan membahas tiga fokus agenda, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi yang berkelanjutan.

Salah satu topik bahasan yang cukup erat kaitannya dengan reformasi perpajakan, khususnya perpajakan internasional adalah transformasi ekonomi digital yang semakin pesat saat ini. Transaksi-transaksi keuangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional saat ini menjadi lebih mudah tanpa harus ada pertemuan fisik. Hal ini yang harus disiapkan solusinya untuk menjamin bahwa basis pajak dan hak pemajakannya akan lebih adil dalam menyikapi era digital. Penerapan tarif pajak minimum secara global juga dapat menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan multinasional untuk mencegah upaya penghindaran pajak (tax avoidance) dan tax evasion.

Dua pilar hasil kesepakatan pertemuan G20 sebelumnya di Roma perlu terus dikawal untuk benar-benar dapat diimplementasikan. Untuk itu, kesepakatan multilateral mutlak diperlukan untuk melaksanakannya. Negara-negara perlu mempercepat proses implementasi ini. Dalam konferensi pers terkait Presidensi G-20, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengatakan bahwa dua pilar ini dapat dilaksanakan sebagai suatu kebijakan yang efektif pada tahun 2023. Kesempatan presidensi G20 ini dapat menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk mendorong pengimplementasian kebijakan terkait dua pilar ini.

Akhirnya, Indonesia telah menyusun agenda reformasi nasional yang salah satunya merupakan reformasi fiskal. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah resmi diundangkan sebagai salah satu langkah konkret dalam melaksanakan reformasi perpajakan. Undang-undang ini juga yang menjadi dasar pelaksanaan PPS di semester pertama tahun 2022. Perbaikan sistem dan infrastruktur terkait reformasi perpajakan juga terus dilakukan. Ini merupakan bekal yang baik bagi Indonesia untuk mendorong pelaksanaan kebijakan global terkait reformasi perpajakan.  

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.