PPN untuk Pembelajaran Menyeluruh

Oleh: Ahmad Dahlan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Konon, jasa pendidikan bakalan dikenai PPN. Itu berita yang beberapa hari ini ramai beredar. Musababnya karena beredarnya draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP). Di RUU itu terdapat pasal yang menghapus jasa pendidikan dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN.
Karuan saja hal itu menimbulkan kehebohan, baik di kalangan politisi, akademisi, maupun masyarakat umum. Sebagian besar bereaksi negatif, menganggap negara tidak berpihak pada dunia pendidikan.
Tentang hal itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) menjelaskan, "Terkait PPN untuk jasa pendidikan, pemberlakuannya hanya untuk sekolah mewah. Sementara jasa pendidikan yang kegunaannya dimanfaatkan oleh masyarakat banyak tetap tidak akan dikenakan PPN." Demikian bunyi pengumuman resmi Ditjen Pajak dalam unggahan di Instagram @ditjenpajakri pada Kamis, 17 Juni 2021.
Rencana itu tentu saja masih belum final. Masih akan melalui proses pembahasan di DPR. Adanya banyak reaksi dari masyarakat merupakan hal yang positif, sebagai wujud penyampaian aspirasi dalam alam demokrasi. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah negara tidak berpihak pada dunia pendidikan?
Setidaknya inilah yang penulis ketahui. Selama ini kehadiran negara pada dunia pendidikan, utamanya dalam bentuk pembiayan melalui APBN yang nilainya cukup fantastis. Selain itu, kehadiran negara pada dunia pendidikan ditandai dengan pemberian insentif, baik berupa insentif pajak, nonpajak, maupun insentif umum lainnya.
Sejak tahun 2009, pemerintah telah memenuhi mandat anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi. Secara nominal anggaran pendidikan tersebut mengalami tren yang meningkat seiring dengan peningkatan APBN. Alokasi APBN 2021 untuk pendidikan sebesar Rp550 triliun rupiah.
Pemerintah mendorong pengembangan SDM Indonesia unggul bersifat menyeluruh yang tidak hanya difokuskan kemampuan literasi dan numerasi, tetapi juga difokuskan pada pendidikan karakter.
Untuk menjalankan pembelajaran menyeluruh tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menempuh lima strategi yang terintegrasi dalam platform teknologi yang menyeluruh. Kelima strategi tersebut adalah: transformasi kepemimpinan sekolah, transformasi pendidikan dan pelatihan guru, mengajar sesuai tingkat kemampuan siswa, standar penilaian global, dan kemitraan daerah dan masyarakat sipil.
Insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada dunia pendidikan selama ini, berupa tidak dikenakannya Pajak Penghasilan atas sisa lebih yang diperoleh lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu empat tahun sejak sisa lebih itu diterima atau diperoleh. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU Pajak Penghasilan dan beberapa aturan turunannya.
Dengan kata lain, apabila lembaga pendidikan tidak mempunyai sisa lebih dalam suatu tahun, atau mempunyai sisa lebih, tetapi ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan dalam jangka waktu empat tahun sebagaimana dijelaskan di atas, maka tidak ada yang menjadi objek pajak, sehingga Pajak Penghasilannya nihil.
Mengapa mesti dibatasi hanya sampai empat tahun? Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan oleh Ditjen Pajak dalam rangka memastikan bahwa sisa lebih tersebut ditanamkan kembali untuk kegiatan yang berhubungan dengan dunia pendidikan.. Di samping itu, pembatasan empat tahun dimaksudkan mendorong lembaga pendidikan melakukan percepatan pengembangan sarana dan prasarana pendidkan apabila terdapat sisa lebih.
Insentif pajak dalam dunia pendidikan tidak hanya diberikan kepada lembaga yang memang bergerak di sektor pendidikan, tetapi juga kepada badan lainnya.
Yang pertama, diberikannya pengurangan penghasilan bruto 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan bagi badan dalam negeri yang mengeluarkan biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu.
Beleid yang mengatur ihwal ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.010/2019 yang mulai berlaku pada saat diundangkan yakni 6 September 2019.
Yang kedua, insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada selain lembaga pendidikan adalah sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 153/PMK.010/2020.
Berdasarkan peraturan yang mulai berlaku 9 Oktober 2020 itu, kepada wajib pajak yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
Masih soal insentif pajak yang terkait dengan sektor pendidikan, yang ketiga adalah berupa sumbangan antarlembaga pendidikan diperlakukan bukan sebagai objek pajak, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 90/PMK.03/2020.
Serupa dengan insentif pajak sebagaimana disebutkan di atas, selama ini pemerintah juga memberikan fasilitas PPN terkait kegiatan pendidikan, yakni dikecualikannya jasa pendidikan dari pengenaan PPN. Namun, fasilitas tersebut selama ini tidak tepat sasaran.
Pasalnya, orang yang mampu membayar biaya pendidikan tinggi juga menikmati fasilitas tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana penjelasan Ditjen Pajak di atas, nantinya kalau usulan dalam RUU disetujui pemberlakuan PPN Jasa Pendidikan hanya untuk sekolah mewah. Sementara jasa pendidikan yang kegunaannya dimanfaatkan oleh masyarakat banyak tetap tidak akan dikenakan PPN.
Dengan dikenakannya PPN terhadap jasa pendidikan, akan menambah penerimaan negara dari si kaya. Tambahan penerimaan negara dari pajak itu, pada akhirnya diperuntukkan juga untuk membiayai pendidikan gratis yang bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.
Dengan begitu, menurut hemat penulis, dengan dikenakannya PPN terhadap jasa pendidikan, tak berarti negara tak berpihak kepada dunia pendidikan. Keberpihakan negara kepada dunia pendidikan itu diwujudkan dalam bentuk banyak hal sebagaimana dijelaskan di atas.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 279 kali dilihat