Birokrasi Sebagai Peran Penyeimbang Perekonomian

Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tuntutan yang diharapkan masyarakat menjadi sangat tinggi jika melihat sisi kinerja pemerintah. Mudahnya mendapatkan informasi sekarang ini, di lain sisi menimbulkan perbedaan persepsi yang terkadang bisa mengelabui fakta yang sebenarnya. Sehingga beberapa data yang tersaji mungkin menjadikan persepsi ambigu yang berakibat berkurangnya kepercayaan masyarakat. Dalam buku milik Prof. DR. Miftah Thoha, MPA yang berjudul “birokrasi pemerintah dan kekuasaan di Indonesia”, di negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan oleh Max Weber nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas.

Tidak mudah mengidentifikasikan penampilan birokrasi pemerintah Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum seperti efektivitas, efisiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat.

Harapan Birokrasi Model Kedepan

Kebutuhan yang nyata saat ini dalam praktek birokrasi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan konkret dari masyarakat. Kebutuhan akan peningkatan kualitas kehidupan politik menjadi suatu tuntutan yang tak terhindarkan. Kondisi birokrasi Indonesia yang masih mencorak patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama.

Kebutuhan Konkret Peran Birokrasi Pada Ekonomi Pembangunan

Pembangunan ekonomi menduduki peran yang sangat penting bagi negara-negara di dunia, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pusat perhatian negara-negara di dunia kepada pembangunan ekonomi tidak jarang sebagai pendukung kebijakan politik, baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Pergeseran prioritas dari kekuatan di bidang militer menjadi kekuatan ekonomi saat ini karena mempunyai implikasi pada tawar-menawar (bargaining power) dalam pencaturan politik internasional.

Menurut Adam Smith, pembangunan ekonomi merupakan proses perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan yang terjadi secara terus-menerus melalui serangkaian kombinasi proses demi mencapai sesuatu yang lebih baik yaitu adanya peningkatan pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.

Unsur-Unsur Pembangunan Ekonomi

1.          Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa;

2.          Pembangunan sebagai perubahan sosial;

3.          Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita;

4.          Pembangunan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang.

Melalui pembangunan ekonomi yang terencana, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat mengurangi tingkat pengangguran di dalam masyarakat. Meningkatnya jumlah angkatan kerja akan mendorong peningkatan pendapatan nasional di suatu negara. Sudut pandang lain yaitu, pembangunan ekonomi akan merubah struktur perekonomian dari struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi industri dan meningkatkan kualitas SDM dengan adanya upaya meningkatkan teknologi serta ilmu pengetahuan agar selalui mempunyai daya saing di perdagangan domestik maupun luar negeri. Hal-hal tersebut, secara langsung akan membuat kegiatan ekonomi menjadi menjadi semakin dinamis dan meningkatan kemampuan ekonomi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat.

Penggunaan Indikator Pertumbuhan Ekonomi Yang Bersifat Reabilitas

Menurut Sugiono (2005) reabilitas adalah serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Sedangkan Sukadji (2000) mengatakan bahwa reabilitas suatu tes adalah seberapa besar derajat tes mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Reabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefisien.

Mengidentifikasikan Indikator-Indikator Yang Bersifat Reabilitas

Dalam bukunya, karya Lorenzo Fioramonti (2013), dalam masyarakat kontemporer saat ini, kekayaan suatu bangsa biasanya diukur berdasarkan PDB (product domestic bruto), dan bukan dinyatakan dalam paragraph-paragraf panjang membosankan sebagai mana dalam ilmu ekonomi klasik, melainkan dalam satu angka tunggal, yang setiap tiga bulan menunjukkan pada kita seberapa cepat atau lambat perekonomian sebuah negara tumbuh. Di Amerika Serikat, Biro Analisis Ekonomi yang bernaung di bawah Kementerian Perdagangan bertanggung jawab menghitung pendapatan nasional dan neraca produk. Sementara di hampir semua negara lainnya, estimasi pendapatan nasional biasanya dilansir oleh biro statistik masing-masing.

PDB mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, biasanya setiap tiga bulan. Angka ini mengukur hasil produksi dari sudut pandang harga pasar dan bisa dilihat melalui rumus berikut:

PDB=Konsumsi+Investasi+Belanja Pemerintah+Ekspor-Impor

Sehingga, PDB dirancang untuk memotret kuantitas produksi dalam suatu kurun waktu, tanpa melihat apakah produksi itu digunakan untuk konsumsi jangka pendek, untuk investasi aset tetap yang baru atau inventaris, atau untuk menggantikan aset tetap yang terdepresiasi.

Indikator lain yang dianggap memberi gambaran umum atas kondisi ekonomi khususnya perpajakan ialah rasio pajak (tax ratio). Terdapat hubungan ekonomi yang sangat erat antara ekonomi dan pajak. Di seluruh dunia, pajak negara merupakan sumber penerimaan terbesar untuk membiayai semua aktivitas pembangunan di negara. Pajak yang yang merupakan tulang punggung dalam instrumen penerimaan dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) menyumbang sekitar 80% persen porsi dalan keseluruhan penerimaan negara. Sehingga indikator rasio pajak ini secara akurat menunjukkan kinerja pengelolaan pajak di suatu negara.

Saat ini rasio pajak di negara Indonesia masih cukup tertinggal dibandingkan dengan rasio pajak beberapa negara tetangga, bahkan tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak di negara-negara maju. Dalam sepuluh tahun terakhir, rasio pajak di Indonesia hanya berada dalam kisaran 11% - 13%. Sementara rata-rata di negara maju sekitar 24% dan di negara berpendapat menengah lainnya berkisar 16%-18%. Rasio pajak sendiri merupakan suatu ukuran kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara.

Rasio Pajak = Jumlah Penerimaan Pajak/PDB

Era Reformasi Perpajakan Yang Bertujuan Untuk Meningkatkan Tax Ratio

Mengutip pendapat Sri Mulyani Indrawati di seminar perpajakan di Cakti Buddi Bhakti, Gedung Mari’e Muhammad, Kantor Direktorat Jenderal Pajak, yang memaparkan birokrasi perpajakan di Indonesia salah satunya Direktorat Jenderal Pajak harus mampu mengumpulkan penerimaan pajak dengan peraturan perundang-undangan yang dimiliki.  Fungsi pertama Ditjen Pajak ialah sebagai penegakan hukum dan penggalian potensi yang mengumpulkan informasi data wajib pajak yang didapat dari perbankan, melihat pergerakan aktivitas usaha wajib pajak, dan data dari luar negeri melalui AEol (Automatic Exchange of Information).

Fungsi kedua ialah pajak harus mampu melayani  masyarakat. Ditjen Pajak harus memberikan pelayanan dengan baik, responsive, menjunjung keadilan dan etika norma kesopanan. Sedangkan fungsi ketiga ialah mampu untuk menjadi instrumen yang mendukung perekonomian dan masyarakat Indonesia. Ditjen Pajak mampu untuk mendongkrak ekonomi saat ekonomi bangkit dan menjadi pendingin serta penjaga di saat ekonomi lesu.

Tiga fungsi inilah yang juga menjadi dasar implementasi reformasi perpajakan yang didukung peningkatan kualitas internal SDM, pengelolaan anggaran yang andal, dan penggunaan teknologi yang mempermudah, akurat, terintegrasi, serta selalu mengikuti perkembangan saat ini.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.