Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tepat pada tanggal 4 Oktober 2023, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menutup TikTok Shop, fitur belanja dari aplikasi TikTok dengan ikon keranjang kuning yang sudah muncul sejak bulan April tahun 2021. Penutupan ini merupakan imbas dari kelalaian pihak aplikasi yang belum mengantongi izin dari Kementerian Perdagangan sebagai pelaku kegiatan usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Permendag 31/2023).

Permendag 31/2023 merupakan revisi dari Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Revisi beleid dianggap diperlukan untuk melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari model bisnis social commerce yang belum terkover secara penuh oleh Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Larangan fitur keranjang kuning TikTok kemudian secara jelas disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) yang menyatakan bahwa platform yang bersifat social commerce dilarang memfasilitasi pembayaran di dalamnya.

Penutupan TikTok Shop mendapat berbagai macam reaksi dari beberapa kelompok masyarakat. Bak pisau bermata dua, kebijakan ini dalam waktu yang sama sangat diamini sekaligus ditentang oleh para pihak yang berkepentingan. Bagi masyarakat yang berjualan secara luring, kebijakan ini dinilai menguntungkan karena adanya harapan omzet akan kembali naik. Akan tetapi, bagi kubu lain yang memanfaatkan TikTok untuk berjualan, kebijakan ini merupakan peristiwa yang sangat disayangkan.

Proses Bisnis dan Fitur

TikTok Shop memberikan user experience yang berbeda dari sisi pembeli dan penjual (seller). Di dalam aplikasi jejaring sosial lain, biasanya calon pembeli akan dialihkan ke website atau marketplace (toko daring) lain untuk melakukan pembayaran. Akan tetapi, TikTok mampu memotong langkah tersebut dengan subfitur TikTok Shop yang berimplikasi pada kemudahan dalam berbelanja. Belum lagi dengan adanya diskon pengiriman dan voucher. Kemudian dari sisi seller, kita bisa memanfaatkan jasa promosi produk seperti collection ads, dynamic showcase ads, dan lead generation untuk menggaet trafik penjualan. Selain jasa tersebut, kita juga bisa mempromosikan produk secara independen melalui video berdurasi pendek yang seringkali disebut sebagai Video TikTok.

TikTok memiliki proses bisnis yang berbeda dibandingkan dengan platform lain. Platform lain masih mengutamakan search engine optimalization (SEO) dalam menggaet konsumen, sedangkan TikTok tidak. Dengan mengusung konsep social commerce, TikTok memiliki trafik alami yang menciptakan simbiosis mutualisme antara seller dan pembeli. Simbiosis ini melibatkan fitur algoritma rekomendasi beranda yang disebut fyp atau for you page yang dipersonalisasi berdasarkan interaksi dan riwayat tontonan pada setiap akun pengguna TikTok. Dengan adanya fitur rekomendasi, pengguna dapat diarahkan kepada konten promosi sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Dengan demikian, potensi proses eksekusi pembelian akan semakin besar. Apalagi ditambah dengan kemudahan pembayaran melalui keranjang kuning yang melekat pada konten tersebut.

Kepatuhan Pajak

Sebagai media yang menyediakan jasa dan platform jual-beli, TikTok harus dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi penjual jasa promosi. Atas jasa media promosi yang telah diberikan, TikTok sudah membayar pajak. Berdasarkan keterangan dari Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Ihsan Priyawibawa, TikTok telah terdaftar sebagai salah satu pelaku usaha pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sejak 2020 lalu. Dalam konteks ini, maka setiap orang yang memanfaatkan jasa promosi produk dari TikTok telah dikenakan PPN sebesar 10% (sebelum 1 April 2022) dan 11% (setelah 1 April 2022).

Kedua, dari sisi penyedia platform penjualan toko daring. Aturan perpajakan di toko daring diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Di dalam aturan ini, tidak dibuat basis pemajakan baru, hanya berfungsi sebagai panduan yang memudahkan administrasi dan mendorong kepatuhan pajak. Seller yang memiliki penghasilan bruto kurang dari atau sama dengan Rp4,8 miliar per tahun, dapat memanfaatkan fasilitas berjangka Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dengan pengenaan tarif PPh Final 0,5%. Penjual yang memiliki penghasilan bruto lebih dari Rp4,8 miliar per tahun, memiliki syarat untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga akan dikenakan tarif pajak penghasilan normal sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) huruf a (bagi orang pribadi) dan huruf b (bagi badan) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%.

Penggalian Potensi Perpajakan

Sampai dengan saat ini, valuasi sebenarnya dari nilai transaksi TikTok Shop di Indonesia masih belum diketahui. Akan tetapi, menurut laporan yang diterbitkan oleh Momentum Works yang bertajuk The TikTok Shop Paybook, kita dapat melihat bahwa TikTok Shop memiliki tren positif sejak kemunculannya. Pada tahun 2021 dengan Indonesia yang menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjadi pasar TikTok Shop, dapat dilihat bahwa nilai gross merchandise value atau GMV dihasilkan sebesar US$600 juta (66,67% dari pendapatan global US$900 juta). Kemudian pada tahun berikutnya GMV TikTok Shop di Asia Tenggara meningkat pesat menjadi US$4,4 miliar, dengan pasar mencakup Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Nilai yang sangat fantastis, mengingat fitur belanja ini masih tergolong baru. 

Penggalian potensi seller TikTok Shop cukup menantang. Meskipun memiliki valuasi transaksi yang besar secara agregat, sangat sulit menakar penghasilan seller di TikTok Shop. Diperlukan extra effort untuk bisa memilah wajib pajak yang berpotensial menambah penerimaan negara melalui platform ini. Sampai dengan September 2023 saja, juru bicara TikTok Indonesia menyebutkan terdapat enam juta seller lokal yang menggunakan TikTok Shop sebagai tempat mereka berjualan.

Segmentasi basis data seller diperlukan untuk menggali potensi pajak secara efisien. Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, adalah kerja sama dengan platform TikTok untuk mendapatkan data penghasilan untuk tujuan perpajakan. Kerja sama dengan platform dilakukan dalam tingkat otoritas, seperti DJP dengan TikTok untuk membentuk collaboration database atau basis data kolaborasi yang berisi wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari TikTok. Kedua, pembuatan sistem internal scraping data yang mampu menangkap data penjualan. Inilah yang kemudian akan menciptakan basis data yang berfungsi sebagai alat identifikasi awal potensi pajak sehingga bisa diterbitkan dimanfaatkan untuk target penyuluhan, ekstensifikasi, penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dan lain-lain.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.