Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang kini telah disahkan menjadi undang-undang, merupakan tonggak sejarah baru bagi dunia perpajakan di republik ini. Bagaimana tidak, dalam beleid tersebut setidaknya terdapat dua paradigma perpajakan baru. Pertama, paradigma mengenai permanent establishment (Bentuk Usaha Tetap/BUT) yang selama ini menganut konsep bahwa harus ada kehadiran secara fisik (physical presence). Kini, konsep tersebut bergeser, tak lagi mengharuskan adanya kehadiran secara fisik, tetapi cukup dengan adanya kehadiran ekonomi secara signifikan (significant economic presence). Paradigma baru kedua yang diusung Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah pengenaan pajak dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Dunia Memasuki Era Normal Baru

Pandemi yang tengah melanda membuat kita semua terpaksa harus berubah. Mulai dari cara kita bersekolah, cara kita bekerja, cara kita beribadah, hingga cara kita berinteraksi dengan sesama pun ikut berubah. Kendati demikian, akan selalu ada ruang untuk berinovasi di tengah kondisi yang kian tak pasti. Jelaslah, adaptasi adalah kunci.

Bagaimanapun, kita mesti tetap bersyukur meski terus-menerus ‘dihajar’ pandemi. Mengapa? Bayangkan jika pandemi ini datang dua dekade yang lalu sebelum teknologi digital berkembang pesat seperti sekarang ini. Semua aktivitas dan interaksi bakal terhenti. Ekonomi bisa mati. Ujungnya, terjadi huru-hara di sana sini. Untungnya, kondisi tersebut tidak terjadi sekarang ini. Sebab, kita sedikit diuntungkan dengan pesatnya kemajuan teknologi dewasa ini. Banyak aktivitas tetap dapat dapat dilakukan tanpa harus hadir secara fisik, tentunya berkat bantuan teknologi.

Banyak yang Merugi, Tak Sedikit yang Mendulang Rezeki

Akibat pandemi, banyak pelaku usaha merugi. Ada yang berhenti beroperasi, ada pula pula yang merumahkan para pegawai tanpa kompensasi. Yang lebih parahnya lagi, ada yang sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di lain sisi, tak sedikit pelaku usaha yang justru mendulang rezeki di tengah pandemi. Umumnya, mereka bergerak di bidang teknologi sampai dengan penyediaan aplikasi. Bagaimana mungkin? Sebagai gambaran, banyak pekerja yang kini bekerja dari rumah (work from home). Mereka setidaknya butuh koneksi internet dan aplikasi untuk melakukan rapat secara daring. Nah, perusahaan-perusahaan yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan itulah yang mendulang rezeki di masa sekarang ini. Gambaran lain, di tengah imbauan pemerintah untuk tetap #DiRumahAja, adakalanya kita mengalami kejenuhan. Untuk ‘membunuh’ kejenuhan tersebut, ada yang menghabiskan waktu dengan menonton berbagai macam video di situs berbagi video. Ada pula yang menonton film di layanan streaming film dengan sistem berlangganan. Yang lain lagi mendengarkan musik di layanan streaming musik digital. Jelaslah, perusahaan-perusahan berbasis teknologi digital seperti Google, Facebook, Netflix, dan Spotify kebanjiran untung ketika banyak usaha lain sedang buntung.

Pajak pun Beradaptasi

Penerimaan pajak dalam beberapa tahun ke depan diprediksi tidak akan begitu menggembirakan. Hal itu tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perubahan tahun 2020. Target penerimaan pajak yang semula ditetapkan sebesar Rp1.600-an triliun (sebelum APBN Perubahan) diturunkan menjadi Rp1.200-an triliun (setelah APBN Perubahan). Selain itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengakomodasi defisit APBN boleh melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya, sejak awal sudah diprediksi bahwa penerimaan pajak dalam beberapa tahun kedepan akan tertekan. Padahal di sisi lain, pemerintah sedang jorjoran belanja dalam rangka penaganan pandemi. Jadilah, defisit APBN semakin melebar.

Untuk merespons situasi yang sedang berubah, dikeluarkanlah Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Perppu yang juga bisa disebut sebagai Perppu mini-omnibus law ini, salah satunya mengatur tentang pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE. Konon, materi tersebut seyogyanya akan masuk dalam RUU omnibus law perpajakan. Namun, karena pandemi keburu melanda, jadilah materi pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE dimasukkan dalam Perppu mini-omnibus law untuk menyiasati situasi yang ada.

Sebagai tahap awal penerapan pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Beleid tersebut mengatur bahwa para pelaku usaha PMSE, yang terdiri dari pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE (PPMSE) luar negeri, dan PPMSE dalam negeri, ditunjuk untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui PMSE. PPN PMSE ini akan berlaku mulai 1 Juli 2020.

Sekali lagi, penerapan PPN PMSE barulah tahap awal dari konsep besar pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk mewujudkan semangat pengenaan pajak tersebut, yaitu menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field). Hal ini perlu segera diwujudkan mengingat selama ini perusahaan-perusahaan seperti Google, Facebook, Netflix, dan Spotify―yang cari makan di Indonesia―selalu lolos ketika ingin dipajaki karena instrumen peraturan yang kita miliki tidak mengakomodasi. Setelah kita punya peraturan mengenai pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE, bisa dibayangkan indahnya keadilan yang akan tercipta dari kesetaraan berusaha. Penjual gorengan yang selama ini membayar pajak penghasilan (PPh) final 0,5% tidak lagi terzalimi oleh perusahaan seperti Google, Facebook, Netflix, dan Spotify karena kini mereka pun harus bayar pajak di Indonesia. Di samping itu, ini merupakan momentum yang mesti dimanfaatkan. Pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE mesti dioptimalkan agar dapat menjadi substitusi dari penerimaan pajak sektor lain yang sedang tertekan akibat pandemi.

Usulan Format PPh PMSE dan Pajak Transaksi Elektronik

Dalam Perppu mini omnibus-law, diatur bahwa selain PPN, ada jenis pajak lain dalam pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE, yaitu PPh PMSE dan pajak transaksi elektronik. Pajak transaksi elektronik diberlakukan ketika PPh PMSE tidak dapat diterapkan karena adanya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. Jadi, dapat dikatakan bahwa pajak transaksi elektronik adalah bentuk hibrida (hybrid) dari PPh PMSE. Kalau wajib pajak punya istilah tax planning (perencanaan pajak), bolehlah otoritas pajak kita punya istilah tax netting (penjaringan pajak).

Format yang cocok diterapkan pada PPh PMSE maupun pajak transaksi elektronik adalah pajak final. Mengapa? Setidaknya terdapat empat alasan. Pertama, tingkat kepastian keterpungutan pajak final tinggi. Kedua, lebih sederhana sehingga beban administrasi bagi para pelaku usaha PMSE lebih rendah. Ketiga, sulit untuk melakukan pengujian atas biaya-biaya yang diakui sebagai pengurang penghsilan bruto karena mayoritas pelaku usaha PMSE berada di luar negeri. Keempat, sulit untuk memisahkan biaya-biaya yang diakui sebagai pengurang penghasilan bruto di Indonesia dengan biaya-biaya yang sebenarnya dikeluarkan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari negara lain. Pasalnya, banyak pelaku usaha PMSE yang beroperasi lintas negara.

Pihak yang harus menanggung beban PPh PMSE atau pajak transaksi elektronik juga harus diatur secara tegas. Jangan sampai beban itu digeser oleh para pelaku usaha PMSE kepada konsumen mereka. Misalnya dengan cara mengenakan harga yang lebih tinggi (menaikkan harga). Sebab, kalau itu sampai terjadi, justru malah akan mendistorsi ekonomi bangsa sendiri.

Format PPh PMSE dan pajak transaksi elektronik yang dikemukakan di atas tentunya hanya sebatas usulan kepada pemerintah, khususnya otoritas pajak. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan uraian di atas dijadikan input dalam proses pembuatan kebijakan. Terlepas dari itu semua, semangat awal dari pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE, yaitu penciptaan kesetaraan berusaha, harus tetap jadi yang utama. Dengan begitu, kita semua siap menghadapi era normal baru sambil berseru #PajakKuatIndonesiaMaju!

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja