PMK 10/2025: PPh Pasal 21 DTP, Stimulus untuk Industri Padat Karya

Oleh: Atika Sitoresmi R, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Memasuki tahun 2025, pemerintah menjalankan fungsi stabilisasi ekonomi dan sosialnya dengan menetapkan paket stimulus ekonomi sebagai upaya dalam menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus menggerakkan berbagai sektor produktif khususnya industri padat karya dan properti, pemerintah memberikan berbagai keringanan dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal.
Salah satu fasilitas fiskal yang diberikan berupa insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh Pasal 21 DTP) bagi pegawai di sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 (PMK 10/2025), yang diundangkan pada tanggal 4 Februari 2025.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh jo. UU HPP), penghasilan yang diterima oleh seorang pegawai sehubungan dengan pekerjaan dikenai PPh Pasal 21 yang wajib dipotong oleh pemberi kerja. Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut akan berdampak pada jumlah penghasilan bersih yang diperoleh pegawai. Terlebih jika PPh Pasal 21 tidak ditanggung perusahaan, maka jumlah penghasilan bersih pegawai akan berkurang. Dengan adanya insentif PPh Pasal 21 DTP, maka beban PPh Pasal 21 tersebut kini ditanggung pemerintah sehingga tidak lagi berdampak pada jumlah penghasilan bersih pegawai.
Meskipun ketentuan PMK 10/2025 mulai berlaku sejak diundangkan, yaitu tanggal 4 Februari 2025, insentif ini diberikan atas penghasilan bruto sepanjang tahun 2025 yang diterima atau diperoleh pegawai tertentu dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu. Dengan kata lain, insentif ini berlaku untuk Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025. Namun demikian, insentif ini hanya dapat diberikan jika kriteria pemberi kerja dan pegawai sama-sama terpenuhi.
Kriteria Penerima Insentif
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PMK 10 Tahun 2025, terdapat dua persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi pemberi kerja. Pertama, pemberi kerja melakukan kegiatan usaha pada bidang industri berikut:
- alas kaki;
- tekstil dan pakaian jadi;
- furnitur; atau
- kulit dan barang dari kulit.
Kedua, pemberi kerja memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) sesuai Lampiran huruf A PMK 10 Tahun 2025 dan terdaftar dalam basis data administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dari sisi pegawai, Pasal 4 PMK 10 Tahun 2025 mengatur kriteria pegawai yang dapat diberikan insentif PPH Pasal 21 DTP. Baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap berhak atas insentif tersebut, dengan syarat memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sudah terintegrasi dengan sistem DJP. Syarat lainnya, penerima insentif ini tidak boleh menerima insentif PPh Pasal 21 DTP lainnya.
Selain kedua syarat tersebut juga terdapat kriteria batasan penghasilan yang diperoleh pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap. Ketiga kriteria tersebut menjadi syarat kumulatif yang harus dipenuhi pegawai tertentu.
Batasan Penghasilan Penerima Insentif
Untuk dapat memanfaatkan insentif ini, pegawai harus memenuhi batasan penghasilan berikut:
- Pegawai Tetap: Penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur tidak boleh melebihi Rp10.000.000 pada Masa Pajak Januari 2025 atau pada Masa Pajak bulan pertama bekerja untuk pegawai tertentu yang baru mulai bekerja pada tahun 2025. Penetapan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur tersebut didasarkan pada ketentuan peraturan perusahaan atau perjanjian kontrak kerja.
- Pegawai Tidak Tetap:
- Jika upah dibayar harian, mingguan, satuan, atau borongan, maka penghasilan rata-rata per hari tidak boleh lebih dari Rp500.000.
- Jika upah dibayar bulanan, maka penghasilan maksimal Rp10.000.000.
Berbeda dengan ketentuan insentif PPh Pasal 21 DTP sebelumnya, pada PMK 10/2025 ini, yang menjadi dasar pemberian insentif bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto pada 1 (satu) Masa Pajak saja, yaitu Masa Pajak Januari 2025 atau Masa Pajak bulan pertama bekerja jika baru mulai bekerja pada tahun 2025. Dengan demikian, apabila pada bulan-bulan setelahnya pegawai tetap tersebut mengalami kenaikan penghasilan menjadi lebih dari Rp10.000.000, semisal karena promosi, maka pegawai tersebut masih dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP sampai dengan masa pajak Desember 2025.
Pemanfaatan dan Pelaporan Insentif
PPh Pasal 21 DTP merupakan insentif yang harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja bersamaan dengan pembayaran penghasilan kepada pegawai tertentu. Pembayaran tunai PPh Pasal 21 DTP ini tidak dihitung sebagai penghasilan kena pajak bagi pegawai, namun pemberi kerja tetap wajib membuat bukti pemotongan.
Perlu menjadi catatan, jika jumlah PPh 21 DTP untuk pegawai tetap tertentu yang telah diberikan lebih besar dari PPh Pasal 21 terutang dalam 1 (satu) tahun pajak, kelebihan PPh Pasal 21 DTP tidak dikembalikan kepada pegawai tetap bersangkutan. Dan kelebihan pembayaran dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang berasal dari PPh Pasal 21 DTP tidak dapat dikembalikan maupun dikompensasikan.
Selain membuat bukti pemotongan, pemberi kerja juga diwajibkan untuk melaporkan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk setiap Masa Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26 Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025.
Penyampaian dan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Masa Pajak Desember 2025 tersebut dapat diperlakukan sebagai pelaporan pemanfaatan insentif sepanjang disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Januari 2026 sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (4) PMK 10 Tahun 2025.
Perlu diperhatikan, bahwa penyampaian dan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang dilakukan melewati batas waktu tidak dianggap sebagai pelaporan pemanfaatan insentif. Konsekuensinya, insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025 tidak diberikan dan pemberi kerja wajib menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong.
Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkan insentif PPh 21 DTP sesuai PMK 10/2025, selain harus memenuhi kriteria pemberi kerja dan pegawai tertentu, juga harus memperhatikan kewajiban membuat bukti pemotongan dan menyampaikan pelaporan pemanfaatan insentif melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26 tepat waktu.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 93 kali dilihat