Oleh: Ahmad Bukhori, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bendahara pemerintah merupakan salah satu dari pemotong atau pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memotong atau memungut pajak dari setiap transaksi penggunaan dana APBN, APBD, ataupun sumber lainnya, berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Ada banyak sekali jenis belanja bendahara misalnya terklasifikasi dalam belanja barang, jasa maupun belanja modal. Dalam setiap transaksi belanjanya, bendahara pemerintah diharuskan untuk melakukan pemotongan ataupun pemungutan pajak dari rekanan penyedia atau lawan transaksi. misalnya pemungutan PPN dan PPh 22 atas belanja barang atau PPh 23 atas belanja jasa, serta lainnya sesuai jenis transaksi yang terjadi dan aspek perpajakannya.

Pada dasarnya pelaksanaan pemotongan atau pemungutan oleh bendahara justru dapat mempermudah wajib pajak dalam hal ini selaku rekanan bendahara tersebut karena pajaknya sudah disetorkan oleh bendahara pemerintah ke kas negara. Tidak perlu untuk menghitung lagi dan menyetor sendiri, sehingga lebih praktis untuk rekanan penyedia barang maupun jasa, lawan transaksi bendaraha.

Namun dalam prakteknya sering terjadi beberapa permasalahan yang terjadi, misalnya perbedaan persepsi antara bendahara pemerintah dengan rekanan lawan transaksi sehingga menimbulkan perdebatan saat dilakukan pemotongan atau pemungutan atas transaksi yang terjadi. Hal semacam ini bisa terjadi salah satunya akibat kurang permbaruan informasi perpajakan entah dari sisi penyedia barang dan jasa ataupun bendahara pemerintah yang sering berganti orang, khususnya bendahara pemerintah daerah maupun desa.

 

Surat Keterangan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu menurunkan tarif atas Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan peredaran bruto tertentu menjadi 0,5 persen. 

Aturan itu juga tentang permohonan Surat Keterangan jika bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak. Surat keterangan ini dapat diajukan oleh setiap wajib pajak yang memenuhi kriteria memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar yang bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak di kantor pajak sesuai lokasinya.

Seringkali wajib pajak mengeluhkan pemotongan atau pemungutan dengan tarif normal PPh 22 ataupun PPh 23 padahal mereka telah memiliki Surat Keterangan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Permasalahan ini sering penulis temui dan sering ditanyakan oleh wajib pajak dalam hal ini penyedia barang atau jasa yang merupakan rekanan atau lawan transaksi bendahara pemerintah.

Ternyata sebagian besar bendahara pemerintah daerah maupun desa belum memahami terkait adanya surat keterangan ini dan sebagian yang lain melakukan pemotongan atau pemungutan berdasarkan kebiasaan umum yang terjadi, yaitu mereka mengacu pada kententuan PPh 22 ataupun PPh 23 untuk belanja barang atau jasa. Padahal dengan memiliki Surat Keterangan wajib pajak selaku rekanan transaksi dapat mengajukan pemotongan atau pemungutan cukup dengan tarif 0,5 persen berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

Akibatnya sebagian wajib pajak saat melaporan SPT Tahunannya mengalami kelebihan bayar. Banyak wajib pajak mengeluhkan kondisi semacam ini, karena pengembalian lebih bayar juga prosesnya tidak instan, akan tetapi harus melalui proses pemeriksaan. Tentu ini akan melelahkan wajib pajak tersebut selaku lawan transakasi.

Dalam beberapa kesempatan penulis juga sudah berusaha untuk menyampaikan mekanisme pemotongan atau pemungutan bagi lawan transaksi yang memiliki Surat Keterangan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, agar jangan sampai hal ini terlewat sehingga pemegang Surat Keterangan justru tetap dikenakan tarif PPh 22 atau PPh 23.

Banyak bendahara pemerintah daerah maupun desa yang mengakui kesalahan semacam ini, utamanya yang sering berganti bendahara baru. Minimnya sharing session ataupun transfer knowledge dari bendahara lama ke bendahara pengganti menjadi salah satu penyebab. Karena tentu penguasaan informasi atau pengetahuan terkait perpajakan mungkin masih minim. Kami menyarankan untuk para bendahara pemerintah khususnya pemerintah daerah maupun desa untuk selalu melakukan transfer knowledge setiap terjadi pergantian bendahara baru sehingga akan mempermudah pelaksanaan pemotongan atau pemungutan.

Takut Salah

Ada juga yang tetap melakukan pemotongan atau pemungutan  dengan tarif biasa PPh 22 atau PPh 23 dengan beralasan sudah biasa memakai tarif ini dan takut salah jika tidak mengenakan dengan dengan tarif ini. Padahal sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Sebagai pemotong atau pemungut harusnya tidak perlu khawatir asal berpegang pada aturan yang berlaku maka tinggal dilaksanakan, tidak perlu ragu atau takut.

Mungkin perlu penulis tekankan bahwa mekanisme pemotongan atau pemungutan oleh bendahara pemerintah bagi wajib pajak pemegang Surat Keterangan telah diatur dengan jelas di Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, jadi jangan sampai pemegang Surat Keterangan tetap dikenakan dengan tarif biasa.

Dan untuk wajib pajak yang sering kali bertransaksi dengan bendahara pemerintah yang menginginkan untuk dipotong atau dipungut 0,5 persen tentu harus mengurus dan mimiliki Surat Keterangan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dengan mengajukan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar.

Ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan beberapa pertanyaan yang sering kali ditanyakan kepada penulis dari bendahara khususnya bendahara pemerintah daerah  ataupun desa dan juga rekanan lawan transaksi bendahara. Ke depannya penulis berharap kesadaran informasi perpajakan seluruh lapisan masyarakat semakin meningkat sehingga dapat meningkatan penerimaan negara dan pembangunan bangsa melalui pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.