PHK Massal, Berkaca pada Microsoft dan Startup

Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah elanda perusahaan rintisan/startup maupun perusahaan besar baik di dalam maupun luar negeri. Misalnya, Microsoft yang mem-PHK 1.800 karyawannya dengan maksud melakukan penyesuaian bisnis dan sumber daya manusia.
Begitu pula sejumlah perusahaan teknologi lainnya yang lebih dulu melakukan PHK dan membatasi perekrutan karyawan baru, yaitu Intel, Nvidia, Netflix, dan lain sebagainya. Di Indonesia, gonjang-ganjing gelombang PHK dialami oleh sederatan perusahaan rintisan (startup). Sebut saja Zenius, Tanihub, dan LinkAja.
Penyebab maraknya PHK bisa diakibatkan adanya efisiensi bisnis. Setiap bisnis/perusahaan pasti memiliki strategi untuk menyelematkan usahanya di saat situasi sulit. Bentuk efisiensi tersebut dapat berupa efisiensi keuangan, efisiensi tenaga kerja, efisiensi operasional dan lainnya.
Atau karena resesi atau pelemahan ekonomi akibat pandemi covid-19. Resesi ekonomi diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Resesi ekonomi bisa memicu penurunan keuntungan perusahaan, meningkatnya pengangguran, hingga kebangkrutan ekonomi.
Terakhir karena adanya perubahan model bisnis dan skema pasar. Dulu dikenal istilah “mencetak uang” sehingga likuiditas melimpah. Istilah ini dikenal pascakrisis tahun 2008. Saat itu The FED dan beberapa bank sentral dunia menerapkan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE).
Kebijakan QE oleh bank sentral ini disebut sebagai "printing money" atau "mencetak uang". Kebijakan ini memudahkan startup menggalang dana. Para investor melakukan investasi besar-besaran pada startup. Uang tersebut digunakan untuk promosi dan menarik pelanggan yang populer dengan istilah “burning money”.
Sekarang, kebijakan uang tidak selonggar dulu. Bank sentral meningkatkan suku bunga acuan, sehingga membuat para investor lebih hati-hati dalam menggunakan uangnya.
Menyikapi Fenomena PHK Massal
Bagi sebagian orang pemutusan hak kerja (PHK) mungkin terasa berat, namun bila disikapi dengan positif PHK justru bisa menjadi peluang karir kedua dengan cara merintis bisnis atau mencari pekerjaan baru.
Tentunya hal itu didukung pula dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang memastikan bahwa pekerja atau buruh yang terkena PHK bukan hanya mendapatkan uang tunai, melainkan ia akan mendapatkan akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
Selain itu, pelajaran yang dapat diambil dari adanya fenomena PHK massal ini adalah dunia bisnis sejatinya tidak akan berjalan mulus terus menerus, adakalanya dihadapkan pada situasi sulit. Kalau tidak ada fenomena seperti ini, orang-orang tidak akan belajar bagaimana menjalankan bisnis yang sesungguhnya.
Bagi perusahaan yang berjuang untuk bertahan dalam situasi ekonomi tak menentu diperlukan kejelian dan keseriusan dalam menjalankan bisnis. Mereka harus memperbaiki tren arus kas negatif menjadi arus kas positif. Mereka harus mampu menghemat segala jenis pengeluaran sebelum melakukan ekspansi bisnis. Pada akhirnya hal itulah yang akan membuat mereka bertahan.
Efek PHK Massal
PHK Massal menyebabkan berkurangnya potensi perpajakan dari sektor perusahaan berupa pajak penghasilan orang pribadi, Kondisi ini akan semakin parah bila orang yang di- PHK tersebut tidak lagi mendapat penghasilan alias menganggur. Lain halnya jika orang yang terkena PHK membuka usaha atau mendapat pekerjaan baru dan penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dengan cara seperti itu mereka akan kembali berkontribusi terhadap negara.
Setelah PHK Massal, perusahaan yang memiliki gaya bisnis dengan mengedepankan arus kas positif mungkin akan mendapatkan keuntungan dari penyerapan sumber daya yang tadinya diserobot oleh perusahaan yang memiliki gaya bisnis arus kas negatif. Dari keuntungan tersebut perusahaan dapat memaksimalkan sumber daya untuk menghasilkan output yang maksimal dan berkualitas sehingga berdampak pada kemampuan perusahaan dalam membayar pajak baik dari jenis pajak penghasilan ataupun dari jenis pajak lainnya.
Aspek perpajakan
Orang Pribadi yang terkena PHK dan belum memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif dapat mengajukan permohonan Non Efektif NPWP dengan ketentuan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 Pasal 24 ayat (2) huruf K.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima dan memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Permohonan penetapan non-Efektif dapat dilakukan secara elektronik ataupun tertulis, serta dilampiri dengan Surat Pernyataan Wajib Pajak Non Efektif dan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif.
Permohonan Penetapan Wajib Pajak Non Efektif secara elektronik dapat dilakukan melalui aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dilakukan dengan mengisi dan menyampaikan Formulir Penetapan Wajib Pajak Non Efektif serta mengunggah salinan digital lampiran permohonan dan dokumen pendukung atau melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya.
Permohonan Penetapan Wajib Pajak NonEfektif secara tertulis dapat dilakukan wajib pajak dengan mengisi dan menandatangani Formulir Penetapan Wajib Pajak Non Efektif serta melampirkan Surat Pernyataan Wajib Pajak Non Efektif dan dokumen pendukung.
Permohonan penetapan Wajib Pajak Non Efektif dapat disampaikan secara langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat Ke KPP tempat wajib pajak terdaftar.
Apabila permohonan penetapan wajib pajak diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak maka wajib pajak tidak lagi diwajibkan melaporkan SPT Tahunannya. Dalam hal wajib pajak ingin mengaktifkan kembali NPWP-nya, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengaktifan kembali NPWP baik secara langsung maupun secara elektronik yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020.
Akhirnya, PHK dapat dimaknai sebagai suatu peluang untuk menentukan langkah apa yang akan diambil untuk meraih keberhasilan di masa selanjutnya. PHK bukanlah akhir dari perjuangan. Siapa pun yang berusaha dan tidak mudah menyerah maka ia akan mendapatkan jalan keluar dari setiap permasalahannya.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 191 kali dilihat