Oleh: Krisandi Nofianus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Belakangan ini penerbitan perpetual bond sedang menjadi trend di kalangan emiten Bursa Efek Indonesia (BEI). Sederet emiten BEI seperti PT Pembiayaan Perumahan, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT AirAsia Indonesia Tbk menerbitkan obligasi berbunga abadi tersebut. Dimulai pada tahun 2018, perpetual bond pertama kali diterbitkan di Indonesia oleh emiten konstruksi berpelat merah yaitu PT Pembiayaan Perumahan (PT PP) Tbk senilai Rp1 triliun untuk membiayai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Meulaboh dan proyek sistem pengelolaan air minum.

Berdasarkan informasi dalam laporan keuangan PT PP, obligasi perpetual PT PP memberikan suku bunga sebesar 9,04% per tahun dengan opsi beli dalam waktu tiga tahun sejak tanggal penerbitan. Apabila setelah tiga tahun PT PP tidak melakukan opsi beli, tingkat suku bunga yang diberikan bagi investor akan bertambah (step-up rate). PT PP mencatat perpetual bond yang diterbitkan ke dalam Liabilitas Jangka Panjang dalam neraca perusahaan pada pos Utang Obligasi.

Meskipun perpetual bond mulai dikenal di Indonesia sekitar tiga tahun yang lalu, sebenarnya perpetual bond sudah cukup lama dikenal di kalangan dunia internasional. Menurut Investopedia, perpertual bond pertama kali diterbitkan di Inggris pada abad ke-18. Perpetual bond atau obligasi berbunga abadi merupakan instrumen surat berharga yang melakukan pembayaran bunga, namun tidak memiliki waktu jatuh tempo (maturity date) serta memiliki fleksibilitas untuk melaksanakan opsi beli.

Perpetual bond lahir karena adanya kebutuhan perusahaan atas sebuah instrumen yang bersifat non-dilutif, namun di sisi lain juga tidak mengurangi fleksibilitas keuangan perusahaan. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, sebuah perusahaan memerlukan pendanaan yang memadai. Kebutuhan akan dana tersebut dapat dibiayai oleh dua sumber pendanaan yaitu melalui utang atau setoran modal. Penggunaan utang sebagai sumber pendanaan cukup menguntungkan karena pembayaran bunga atas utang atau pinjaman tersebut boleh dibiayakan dalam menghitung penghasilan kena pajak (tax deductible). Selain itu, utang juga memiliki biaya yang lebih rendah dari modal karena bagian laba tidak berkurang akibat dilusi kepemilikan.

Akan tetapi, penggunaan utang sebagai sumber pendanaan juga dapat menjadi pedang bermata dua karena tingkat utang (leverage) yang tinggi akan mengakibatkan tekanan pada keuangan perusahaan dan mengurangi fleksibilitas finansialnya. Pemberi pinjaman (kreditur) umumnya mempersyaratkan tingkat leverage tertentu bagi suatu perusahaan. Dalam kondisi tersebut, perusahaan memerlukan sebuah instrumen yang bersifat tidak mengurangi jumlah laba per saham (non-dilutif) seperti instrumen utang, namun di sisi lain juga tidak mengurangi fleksibilitas finansial perusahaan seperti instrumen saham. Hal inilah yang akhirnya mendorong munculnya hybrid instrument seperti perpetual bond.

Lalu bagaimana perlakuan perpajakan atas perpetual bond ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dianalisis lebih lanjut apakah perpetual bond tersebut masuk ke dalam kategori ekuitas atau ke dalam kategori utang (liabilitas). Perpetual bond merupakan hybrid instrument karena pengakuannya sebagai liabilitas keuangan atau instrumen ekuitas dapat ditentukan setelah mempertimbangkan fitur atau karakteristik utama yang dimiliki oleh instrumen keuangan tersebut. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 Rev 2014 (instrumen keuangan : penyajian), sebuah instrumen dapat diakui sebagai ekuitas apabila memenuhi dua kriteria yaitu: Instrumen tersebut tidak memiliki kewajiban kontraktual dan Instrumen tersebut akan atau mungkin diselesaikan dengan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas.

Dengan demikian, secara esensial penentuan perpetual bond sebagai ekuitas atau liabilitas adalah tergantung dari contractual terms dari instrumen tersebut. Dalam hal perusahaan penerbit memiliki kewajiban untuk membayar bunga sejumlah tertentu secara teratur pada tanggal yang ditetapkan (fixed dates) maka perpetual bond dapat dikategorikan sebagai liabilitas atau utang. Sebaliknya apabila perusahaan penerbit memiliki diskresi atau fleksibilitas untuk menunda pembayaran bunga, misalnya bunga hanya akan dibayar apabila perusahaan memperoleh laba atau perpertual bond akan dilunasi setelah kewajiban kepada kreditor lain telah dilunasi (subordinated) saat likuidasi perusahaan, maka instrumen tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ekuitas. Wajib pajak perlu memahami karakteristik dari perpetual bond yang nantinya akan diterbitkan karena karakteristik tersebut akan menentukan aspek perpajakan dari suatu perpetual bond.

Sisi Perpajakan

Dari sudut pandang perpajakan, dalam hal perpetual bond dikategorikan sebagai instrumen ekuitas, maka pembayaran bunga dapat dikategorikan sebagai pembayaran dividen. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dividen tersebut merupakan objek pajak (kecuali dividen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja). Selanjutnya, sesuai ketentuan dalam pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, pembayaran bunga obligasi yang dianggap sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan (non tax deductible).

Di sisi lain, apabila perpetual bond dikategorikan sebagai instrumen utang, maka pembayaran bunga merupakan objek pajak penghasilan dan dikenakan pemotongan dengan tarif pajak sesuai Pasal 4 dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berbeda dengan pembayaran dividen, pembayaran bunga merupakan biaya yang boleh dibebankan oleh perusahaan (tax deductible) sepanjang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Lalu bagaimana implikasinya terhadap perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio)? Tentu saja penerbitan perpetual bond harus diperhitungkan dalam menentukan besaran debt to equity ratio (DER) perusahaan. Besaran DER untuk keperluan perpajakan dibatasi maksimal 4:1 sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015. Besaran DER perusahaan akan mempengaruhi jumlah biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan (tax deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak perusahaan.

Dikutip dari laporan Deloitte, perpetual bonds di Belanda dapat dikategorikan sebagai liabilitas selama tidak memenuhi tiga kondisi berikut: (i) pembayaran bunga tergantung dari laba yang diperoleh, (ii) instrumen tersebut memiliki hak paling rendah dalam pelunasan (subordinated to all competing creditors), dan (iii) tidak memiliki jangka waktu (atau berjangka waktu di atas 50 tahun) dan hanya dapat diklaim apabila perusahaan bangkrut atau dilikuidasi. Apabila perpetual bonds memenuhi kondisi tersebut maka dianggap sebagai ekuitas (non deductible secara perpajakan).

Sementara itu, Cina memberikan kebebasan kepada penerbit obligasi untuk memilih perlakuan perpajakan atas perpetual bond sebagaimana diatur dalam regulasi MOF/STA PN (2019) No 64. Dikutip dari laporan EY, sebuah perpetual bond akan diperlakukan sebagai utang dari sisi perpajakan (tax deductible) apabila memenuhi beberapa syarat yaitu: (1) penerbit memiliki kewajiban melunasi pokok utang, tingkat suku bunga, dan frekuensi pembayaran disebutkan dengan jelas; (2) terdapat jangka waktu/periode investasi; (3) pembeli obligasi tidak memiliki aset pada perusahaan penerbit obligasi; (4) penerbit memiliki fleksibilitas untuk melunasi pokok obligasi; (5) penerbit mencatat obligasi sebagai liabilitas; (6) pembeli obligasi tidak memiliki risiko serupa dengan penerbit obligasi; dan (7) obligasi tersebut memiliki prioritas pelunasan di atas ekuitas perusahaan.

Di sisi lain, berdasarkan laporan PwC, perpetual bond di Thailand sebelum tahun 2020 tidak memiliki masa jatuh tempo sehingga tidak terdapat pelunasan pokok obligasi dan meskipun terdapat pembayaran bunga secara reguler namun penerbit obligasi berhak menunda pembayaran. Oleh sebab itu, perpetual bond di Thailand diklasifikasi sebagai ekuitas sehingga bersifat non deductible secara perpajakan. 

Hal terakhir yang patut dipertimbangkan adalah penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) dalam penerbitan instrumen sejenis perpetual bond. Modifikasi atas instrumen keuangan akan terus dilakukan oleh kalangan dunia usaha. Oleh sebab itu, apabila nantinya wajib pajak menerbitkan perpetual bond yang seluruhnya atau mayoritas dibeli oleh entitas lain yang memiliki hubungan istimewa, maka wajib pajak harus menerapkan PKKU seperti halnya bila perpetual bond tersebut dibeli oleh pihak independen. Tanpa adanya penerapan PKKU maka perpetual bond tersebut berpotensi menjadi wadah pembayaran dividen terselubung, dan mungkin juga menjadi sarana pengalihan laba (profit shifting) apabila melibatkan entitas multinasional. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.