Oleh: Saverio Ratu, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Photoshop generasi pertama tahun 1990 terdiri dari 100 ribu baris kode bahasa program yang berkembang hingga menembus 4 juta baris dalam Photoshop CS 6. Salah satu jet tempur tercanggih saat ini yaitu F-35 Lightning II didukung 24 juta baris kode program. Puncaknya seluruh layanan Google dibentuk dari 2 miliar baris kode program atau sekitar 36 juta lembar kertas cetak.

Menurut sebuah artikel seluruh peraturan dan kasus sengketa IRS jika dicetak memerlukan 70 ribu lembar kertas, tetapi belum diketahui estimasi untuk DJP. Analogi kode program dan peraturan sebenarnya cukup berbeda namun ada benang merah yaitu sistem yang baik didukung beragam set peraturan (kode atau algoritma) yang kompleks, pendek kata dunia perpajakan tidak mudah untuk dipahami. Pendidikan formal atau nonformal ditambah pengalaman pun seringkali tidak cukup untuk mencapai sebuah pemahaman peraturan perpajakan yang ideal.

Dalam rangka menghimpun penerimaan negara, DJP mengerahkan kemampuan dan sumber daya semaksimal mungkin mencapai amanah tersebut salah satunya dengan dukungan teknologi informasi. DJP memiliki cetak biru teknologi informasi dan komunikasi tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-46/PJ/2015. Dalam kata pengantarnya terdapat kalimat: “TIK perlu menjadi motor penggerak…”, dapat dipahami bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan prasyarat sekaligus syarat mutlak untuk mencapai tujuan organisasi.

Di antara berbagai istilah tekonologi populer saat ini seperti: data science, machine learning, dan artificial intelligence. Istilah lain yang menarik buat kalangan awam seperti saya, yakni analisis bisnis (business analytics). Menurut Margaret Rouse analisis bisnis adalah proses kalkulasi berulang dalam mengeksplorasi data organisasi menggunakan pendekatan statistik. Sebagai organisasi berorientasi data, DJP dapat menggunakan analisis bisnis untuk secara aktif mengolah data menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

Pada dasarnya UU KUP Pasal 35A mengamanatkan kepada seluruh pihak terkait untuk memberikan data dan/atau informasi kepada DJP yang diterjemahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK No.16/PMK.03/2013 yang hingga saat ini telah mengalami perubahan sebanyak enam kali dengan tujuan meningkatkan jumlah pemberi data. Apalagi dengan adanya keterbukaan informasi keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-73/PMK.03/2017 amunisi DJP dapat lebih meningkat.

Namun, apakah benar implementasi pada tataran petugas lapangan sudah sedemikian ideal? Tentu sangat sulit menjawab secara objektif sehubungan dengan perbedaan persepsi dan sudut pandang masing-masing pihak. Namun, semua setuju apabila DJP secara organisasi akan terus berbenah untuk menjadi lebih baik di masa mendatang.

Dalam dunia yang serba menghasilkan data dalam jumlah besar, DJP terus berjuang untuk memanfaatkan data yang diterima baik dari pelaporan wajib pajak, informasi/data dari instansi/lembaga/pihak lain maupun data/informasi dari olahan internal DJP. Untuk memanfaatkan analisis bisnis secara optimal harus didukung data berkualitas, analis kompeten, dan komitmen organisasi. Tentu apabila semua faktor diasumsikan baik maka akan menjadi tidak berarti ketika data berkualitas belum tersedia.

Data berkualitas seperti apa yang diperlukan DJP untuk terus mengawal dan menjadi garda terdepan penerimaan republik ini?

Sejauh ini pelaksanaan e-faktur sejak 2014, kualitas administrasi PPN terus meningkat dan akan diikuti oleh hadirnya e-Bupot. Kemudian ada juga e-SKD, e-SKF, Taxpayer Account (TPA) serta sederet aplikasi lain yang dikembangkan oleh DJP demi peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.

Demi mendukung fungsi pengawasan kewajiban perpajakan diperlukan suatu kerangka kerja kontrol data secara menyeluruh, untuk menghindari terjadinya GIGO (Garbage In Garbage Out). Dari berbagai data yang diberikan kepada DJP, terdapat kendala mendasar dalam menyatukan, membersihkan, dan mengolah data tersebut.

Menurut DAMA UK, secara umum ada enam dimensi dalam pengukuran kualitas data yaitu :

  1. Completeness yakni terisinya seluruh isian termasuk serangkaian data penting yang wajib diisi seperti NIK dan KK, misalnya saat pendaftaran NPWP terdapat fitur validasi online.
  2. Uniqueness yakni memastikan seluruh data terinput hanya sekali, seperti pada saat pembuatan NPWP Orang Pribadi seharusnya hanya bisa sekali atas keunikan NIK yang diinput.
  3. Timeliness yakni data yang terinput merupakan data terbaru saat diisi seperti nama toko atau merk usaha.
  4. Validity yakni data terisi sesuai dengan format, tipe, dan jumlah karakter data tersebut, misalnya NIK harus 16 digit berupa angka.
  5. Accuracy yakni data merupakan keadaan yang sebenarnya di dunia nyata, misalnya data KK (Kartu Keluarga) sinkron dengan sistem pemotongan PPh 21 sehingga penambahan jumlah anggota keluarga dapat terbarui secara otomatis.
  6. Consistency yakni tidak terdapat perbedaan apabila diperbandingkan, misalnya apabila data tanggal lahir diisi WP dengan data KTP.

Dengan adanya penggabungan dua direktorat baru di DJP yakni Direktorat Teknologi Informasi Komunikasi dan Direktorat Informasi Perpajakan menjadi Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi, diharapkan dapat memperkuat dan mempertajam fokus pengolahan data. Pendek kata seluruh proses analisis akan dimulai dari sebuah input yang berkualitas sehingga dengan tingkat keyakinan yang tinggi dapat dilakukan sebuah proses lanjutan untuk mengolahnya sesuai metode dan pendekatan yang dipakai.

DJP di masa mendatang perlu meningkatkan proses otomasi dan analisis dalam melayani dan mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan. Otoritas pajak Australia (ATO) selama 2018 melakukan proses restitusi secara otomatis terhadap 59.000 wajib pajak tanpa perlu menunggu adanya permohonan.

Kita dapat mencermati dalam proses tersebut terdapat manajemen data, sinergi/sinkronisasi antarlembaga serta dukungan data berkualitas menjadi kunci proses otomasi dan analisis yang dilakukan.

Proses restitusi yang terlihat sederhana tersebut minimal melibatkan unsur pendataan dan validasi rekening wajib pajak, penghitungan SPT Tahunan secara pre-fill di mana sebagian besar unsur bukti potong telah terekam dan tervalidasi secara sistem serta keyakinan yang tinggi terhadap proses yang dilakukan sistem.

Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan dari sudut pandang petugas lapangan secara umum di antaranya:

  1. Diharapkan aplikasi dapat semakin menyatu untuk mempermudah penggunaan, pengawasan, pemeliharaan, dan peningkatan kualitas data.
  2. Proses identifikasi dan validasi terhadap suatu input data perlu dilakukan secara otomatis dengan mengintegrasikan sistem dari berbagai kementerian/lembaga/pemda atau pihak lain.
  3. Menggunakan analisis bisnis sebagai alat utama untuk mengolah data menjadi suatu informasi/potensi yang mencerminkan keadaan nyata wajib pajak.

Harapannya tentu peringatan pada aplikasi seperti “Data yang ditampilkan hanya berfungsi sebagai trigger” diharapkan tidak akan ada lagi di masa mendatang. Semoga.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.