Oleh : Firman Adhi Kusumah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Semangat gotong royong dan menjunjung tinggi keadilan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan sistem perpajakan Indonesia. Semangat untuk terus memperbaiki diri dan menyempurnakan sistem mewarnai perjalanannya. Sistem perpajakan Indonesia yang terdahulu adalah sistem official assessment yaitu fiskus menetapkan jumlah pajak terutang bagi wajib pajak melalui Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Dengan semangat gotong royong, kini sistem perpajakan yang dianut Indonesia adalah sistem self assessment. Dalam sistem ini, wajib pajak menghitung, membayarkan, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri. Pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara mandiri sebagai bagian dari partisipasi aktif dalam semangat gotong royong tersebut. 

Begitu pula dengan reformasi perpajakan saat ini, roh dan semangat mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan semangat gotong royong tetap mewarnai pemerintah dalam merancang dan membuat berbagai peraturan perpajakan. Kehadiran pajak tidak pernah dimaksudkan untuk membebani rakyat miskin dan rentan. Sebaliknya, kehadiran pajak adalah untuk membantu dan melindungi rakyat miskin dan rentan melalui salah satu fungsinya yaitu redistribusi ekonomi dengan berbagai program dan bantuan pemerintah.

Atas dasar itu, perlu dilakukan reformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dilatarbelakangi adanya distorsi ekonomi dan kurang mencerminkan keadilan karena berbagai fasilitas pembebasan dan pengecualian berbagai barang dan jasa yang kurang tepat sasaran. Beras premium yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu dan beras hasil petani Indonesia yang dijual di pasar tradisional, sama-sama tidak dikenakan PPN.

Apabila kita melihat dari segi harga maupun kemampuan ekonomi konsumen yang membelinya, jelas jauh berbeda. Sebagai contoh saat tulisan ini dibuat, beras Kinnemai yang dijual di salah satu pasar daring dijual dengan harga Rp168.500 per kg untuk beras putihnya dan Rp280.000 per kg untuk beras merah. Sedangkan beras putih pandan wangi dijual dengan harga Rp22.000 per kg.

Secara teoretis salah satu dampak negatif PPN adalah tidak melihat kemampuan ekonomis konsumen dalam penerapannya. Namun, justru hal tersebut yang perlu diperbaiki dan meminimalkan dampak negatifnya dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Perabadan manusia sebelum ini mungkin belum mampu mengurangi dampak negatif tersebut karena keterbatasan teknologi dan sumber daya lainnya serta kegiatan perekonomian belum terlalu kompleks.

Kini dengan bantuan perkembangan teknologi informasi serta kemampuan sumber daya manusia yang lebih baik dan kegiatan perekonomian yang semakin kompleks, dampak negatif PPN tersebut harus diperbaiki untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Berbagai negara telah menerapkan PPN dengan skema multitarif, salah satu alasan yang dipertimbangkan dalam penerapannya adalah urgensi barang dan jasa tersebut terhadap hajat hidup orang banyak. Tarif PPN untuk barang dan jasa bagi hajat hidup orang banyak tentu saja akan dikenakan tarif lebih rendah atau bahkan bisa dibebaskan.

Dalam mengakomodasi kegiatan ekonomi yang semakin kompleks tersebut, pemerintah dalam hal ini DJP juga sedang melakukan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (core tax system) untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif, efisien, berkeadilan, dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Saat ini pemerintah berfokus pada penanganan Covid-19 untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dan memaksimalkan upaya untuk memulihkan ekonomi dengan berbagai program, insentif, dan bantuan melalui instrumen APBN. Beberapa bantuan yang diberikan pemerintah seperti vaksin gratis, bantuan kuota untuk kepentingan pembelajaran jarak jauh, bantuan kredit UMKM, dan bantuan sosial lainnya. 

Ketika ekonomi sudah pulih kembali dan pandemi sudah reda, diharapkan sistem perpajakan yang lebih baik dan berkeadilan sudah siap diterapkan. Pada dasarnya pajak hadir untuk rakyat dan untuk kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sistem perpajakan Indonesia dijiwai dan diwarnai untuk mencapai cita-cita bangsa ini yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. 

Ada beberapa peristiwa yang direkam oleh sejarah dan akan selalu dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Sri Sultan HB IX pernah memberikan sumbangan sebesar 6 juta gulden untuk pemerintah Indonesia dan beliau mengatakan “Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan di Jakarta”.

Saat itu Indonesia tidak punya dana lagi untuk membiayai roda pemerintahan. Biaya tersebut di antaranya digunakan untuk pendidikan, militer, kesehatan, dan gaji para pegawai pemerintahan. Selain sumbangan dari Sri Sultan HB IX, saudara kita di Aceh juga pernah menyumbangkan emas untuk dibelikan sebuah pesawat angkut. Pesawat tersebut dinamakan Dakota RI-001 Seulawah yang kemudian menjadi pesawat angkut pertama untuk Republik Indonesia.

Sekarang kita telah memiliki sistem perpajakan yang digunakan untuk membiayai roda pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja sistem ini harus selalu diperbaiki dan disempurnakan dari waktu ke waktu dengan nilai dan semangat juang yang sama seperti para pendiri bangsa kita. Mari kita kawal bersama karena pajak kita untuk kita.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.