Oleh: Josua Tommy Parningotan Manurung, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bambang adalah seorang perokok aktif. Suatu pagi ia pergi ke warung dekat rumahnya untuk membeli satu bungkus rokok. Setelah membeli rokok, ia pun kembali ke rumah, kemudian ia duduk di sofa dan langsung menonton suatu berita di televisi sambil merokok.

Kemudian Bambang melihat pokok berita yang berjudul “Rencana Kenaikan Tarif Cukai Rokok, 78.000 Buruh Industri Rokok Bakal Terdampak” di layar televisinya. Bambang pun kemudian mulai gelisah dan langsung bergumam, “Semua saja naik, harga kebutuhan pokok naik, bahkan pajak rokok yang diberitakan ini pun naik, bisa-bisa harga rokok jadi 25 ribu satu bungkus.”

Apa yang dikeluhkan Bambang, menurut penulis, ada yang kurang tepat. Pokok berita yang Bambang tonton membahas tentang cukai rokok, namun, Bambang mengeluh tentang pajak rokok.  Sepertinya Bambang masih belum menemukan perbedaan antara pajak dan cukai, dalam hal tersebut pajak rokok dan cukai rokok. Penulis disini tidak akan membahas mengenai kebenaran berita yang sedang  Bambang tonton, namun, penulis ingin mengajak pembaca untuk mencari arti, persamaan dan perbedaan antara pajak dan cukai, terlebih pajak rokok dan cukai rokok

 

Pengertian Pajak dan Cukai Menurut Undang-Undang

Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.11/1995 jo. UU No.39/2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Cukai. Sifat atau karakteristik itu salah satunya adalah pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Contoh barang kena cukai adalah etil alkohol (EA) atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dan hasil tembakau.

Sedangkan pajak, menurut Pasal 1 UU KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Cukai Rokok Sebagai Penerimaan Negara

Cukai sudah lama dipungut baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, cukai dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Cukai sering disebut sebagai sin tax (pajak dosa). Sin tax menurut para ahli adalah cukai yang dipungut atas perilaku sosial, dalam hal ini perilaku yang dari sisi moralitas dianggap negatif.

Selain itu cukai dianggap sebagai pajak eksternalitas atau pigovian tax. Pigovian tax ini diterapkan terhadap suatu perilaku ekonomi yang bisa menyebabkan sisi negatif terhadap kegiatan ekonomi lain. Pigovian tax ini banyak diterapkan di negara di wilayah Eropa.

Cukai saat ini memiliki porsi penerimaan negara dari pajak yang cukup besar yaitu sekitar 9-10 persen atau sekitar 143 triliun rupiah menurut data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 2016.

Pada tahun 2021 ini, pemerintah sudah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau seperti rokok. Berdasarkan pertimbangan pemerintah pada situasi pandemi ini, secara rinci, kenaikan tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) adalah 16,9% untuk golongan I, 13,8% untuk golongan II A, dan 15,4% untuk golongan II B. Sementara jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) adalah 18,4% untuk golongan I, 16,5% untuk golongan II A, dan 18,1% untuk golongan II B.

Subjek cukai rokok adalah pengusaha pabrik atau importir. Sedangkan objek cukai rokok adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Juga, berdasarkan Pasal 1 PMK No.146/PMK.010/2017 jo. PMK No. 152/PMK.010/2019, yang menjadi dasar dalam perhitungan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE).

Pajak Rokok Sebagai Penerimaan Negara

Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam penerimaan negara. Di Indonesia sendiri, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 mencapai 1.070 triliun rupiah atau sama dengan 89 Persen dari target APBN. Penerimaan Negara dari pajak berangsur pulih sejak masa turunnya penerimaan pajak secara drastis karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bulan Mei tahun 2020 kemarin.

Berbeda dengan cukai rokok, menurut Pasal 27 UU Nomor 28/2009, subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Sementara itu, objek pajak rokok adalah konsumsi rokok. Juga, berdasarkan pada Pasal 28 UU Nomor 28/2009, dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.

Kesimpulan

Penulis berpendapat cukai dan pajak memiliki kaitan yang sangat erat, meskipun terlihat sama namun dapat dibedakan. Untuk membedakan kedua hal tersebut baiknya kita melihat kembali peraturan perundang-undangan di Indonesia karena di dalamnya terdapat subjek dan objek pajak atau cukai masing-masing.

Namun, penulis tidak menampik bahwa pajak rokok dan cukai rokok, mungkin di negara lain adalah hal yang sama persis dan tidak dapat dibedakan, tergantung dari kebijakan negara masing-masing.

Menurut penulis juga, pajak dan cukai dapat digunakan sebagai alat pengatur. Penulis mengharapkan pengenaan beban pajak rokok dan cukai rokok di Indonesia dapat menekan konsumsi produk-produk yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu, seperti rokok yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan. Sama juga dengan pajak karbon yang mulai diterapkan pada April 2022 nanti.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.