Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada awal Masehi, terkisah Augustus, Kaisar Pertama Roma, memerintahkan untuk mengadakan sensus penduduk besar-besaran di wilayah emperiumnya. Usut punya usut, ternyata rencana ini dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mengisi kas negara yang kosong. Sensus ini bertujuan untuk menetapkan basis pajak baru bagi setiap orang dewasa yang tinggal di sana. Maka menjadi penting untuk mengetahui populasi sebenarnya di wilayah kekuasaannya.

Sensus ini berjalan sukses dan pengumpulan data berperan penting dalam membantunya meyakini keberhasilan kebijakan itu. Dari sini kita belajar bahwa relasi antara pengumpulan data dalam pemajakan telah dipakai sejak berabad-abad yang lalu.

Ibarat koin, pajak dan data adalah dua sisi yang sulit untuk dipisahkan. Secara historis, pajak dan data telah memiliki ikatan yang dekat berabad-abad. Kisah imperium Roma itu buktinya. Bisa dikatakan benang merah yang menyambungkannya adalah kata ‘analisis’. Bahwa untuk memungut pajak diperlukan administrasi. Contohnya analisis Nomer Induk Kependudukan sebagai Nomer Pokok Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak, Surat Tagihan Pajak, ataupun Laporan Keuangan. Kalau dipikir-pikir lagi rasa-rasanya analisis itu ya data, data yang dianalisis.  

Kembali kita ke awal tahun baru 2022 ini. Setelah lebih dari 12 tahun menanti, akhirnya DJP berhasil kembali mencapai 100% penerimaan pajak yang ditargetkan. Ada hal yang menarik dalam keberhasilan pencapaian tersebut dan mungkin menjadi pembeda dari biasanya. Di tahun 2021 lalu, DJP masif memakai data analytics sebagai pendukung strategi mencapainya. Nampak, sekali bahwa DJP adaptif terhadap perubahan lingkungan yang cepat dan dinamis dalam memperlakukan data.

Penggunaan data analytics sendiri telah banyak dipakai di berbagai lingkungan sektor lain. Senjata ini diakui telah membuktikan ampuh meningkatkan performa suatu organisasi.

Dalam dunia kesehatan, data analytics digunakan untuk mendiagnosis penyakit dan merekomendasikan penyembuhannya. Dalam dunia bisnis, data analytics digunakan dalam meningkatkan performa kinerja keuangan perusahaan melalui pemanfaatan data yang tersebar dimana-mana saat ini.

Bahkan dalam industri sepak bola tak luput dari peranan data analytics sebagai bagian dari strategi mereka memenangi setiap laga. Performa pemain dikuantifikasikan ke dalam nilai yang memberikan masukan untuk memenuhi variabel yang mendekatkan kepada kemenangan.

Dunia perbankan dan keuangan agaknya lebih dekat dengan administrasi perpajakan dalam pemanfaatan data analytics menilai risiko nasabah dan tingkat kredit pembiayaan. Risk Management dan Fraud Detection adalah salah dua topik di dunia perbankan yang kerap dirujuk untuk adopsi analytics serupa di semesta perpajakan. DJP menyebutnya Compliance Risk Management (CRM) dan Business Intelligence. Agak mirip sebenarnya. Kalau di pajak, nasabahnya adalah wajib pajak.

Lalu, bagaimana sebenarnya peranan produk Data Analytics DJP dalam pencapaian 100% Penerimaan Pajak 2021 lalu?

Tercatat delapan produk analytics berhamburan diluncurkan perdana maupun dimutakhirkan DJP. Sebutkan saja: CRM Transfer Pricing, Smartweb, Ability to Pay, CRM Edukasi Perpajakan, CRM Pelayanan, CRM Pemeriksaan dan Pengawasan, CRM Penagihan, CRM Ekstensifikasi. Masif sekali bukan?

Tak kurang kesemuanya itu berperan penting dalam mengubah pola kerja DJP menjadi lebih tertata berdasarkan data. Tak lagi hanya berdasarkan pengalaman pribadi pegawai atau kira-kira semata.

Kedelapan produk analytics ini lahir dari rahim Teori 4 Pilar Kepatuhan Wajib Pajak yang digaungkan Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD sejak 2004 lalu. Menurut risetnya OECD membagi Pilar Kepatuhan Wajib Pajak ada empat. Tidak perlu dihafalkan. Pertama, Registrasi. Maksudnya kepatuhan untuk mendaftar sebagai WP atau register in the system. Kedua, Pelaporan. Dimaknai kepatuhan untuk melapor secara tepat waktu sebut saja timely filling.

Ketiga, Pembayaran. Senada dengan kepatuhan untuk melaporkan informasi perpajakan secara lengkap dan akurat (complete and accurate reporting). Terakhir, Kebenaran Pelaporan. Berarti, kepatuhan untuk membayar pajak yang terutang secara tepat waktu atau disebut timely payment

Delapan produk analytics DJP mendekati empat pilar kepatuhan pajak tersebut. Contoh, Pilar Registrasi terwakili oleh CRM Ekstensifikasi. Sementara Pilar Pelaporan terwakili oleh CRM Edukasi Perpajakan dan CRM Pelayanan. Selanjutnya Pilar Pembayaran terwakili CRM Penagihan dan Ability to Pay. Terakhir, Pilar Kebenaran Pelaporan diwakili oleh CRM Pemeriksaan dan Pengawasan, CRM Transfer Pricing, dan Smartweb,

Saat penghujung tahun 2021 mendekati tutup buku pencatatan penerimaan pajak pun, sempat diluncurkan data analytics pamungkas bernama Smartboard. Alat ini untuk merangkum seluruh data analytics di DJP dalam mengalirkan data kepada Account Representative, Pemeriksa Pajak, dan Juru Sita garda terdepan di lapangan. Alat ini bertujuan memperoleh uang segar menggenapi 100% penerimaan pajak.

Teori Kepatuhan Wajib Pajak yang lebih konvensional mengenal dua aspek saja yaitu material dan formal. Empat pilar OECD tadi sebenarnya turunan dari kedua aspek material dan formil Kepatuhan Wajib Pajak konvensional ini. Bahwa 100% penerimaan pajak merupakan representasi dari indikator aspek materil Kepatuhan Wajib Pajak melalui pembayaran pajak. Bersama aspek formilnya yaitu kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan pajak, keduanya merupakan ciri dari kepatuhan pajak. Data analytics berhasil menunjukan perannya dalam pencapaian penerimaan berdasarkan pendekatan itu.

Maka, untuk menjawab pentingnya data analytics bagi penerimaan pajak, seperti mengutip pentingnya titah Kaisar Augustus kepada fiskusnya Quirinius, “Seluruh dunia harusnya kita sensus!”

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.