Oleh: Angga Sukma Dhaniswara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Simon Sinek, penulis dan motivator asal Inggris, dalam bukunya yang berjudul "The Infinite Game" membagi permainan ke dalam dua tipe yaitu finite game dan infinite game. Memahami keduanya akan mengubah perspektif kita dalam melihat sesuatu, termasuk perpajakan.

Dalam finite game, para pemain teridentifikasi secara jelas, aturannya tetap, dan ada tujuan yang telah disepakati bersama. Ketika tujuan itu telah tercapai, maka permainan berakhir. Contohnya adalah sepak bola. Setiap pemain akan mengenakan seragam kebanggaan timnya, ada aturan yang ditetapkan FIFA, dan semua orang sepakat bahwa tim yang mencetak gol lebih banyak akan menjadi pemenangnya. Permainan selesai ketika 2x45 menit, perpanjangan waktu, atau adu penalti berakhir.

Sebaliknya, dalam infinite game para pemainnya tidak selalu dapat teridentifikasi. Tidak ada aturan yang pasti atau disepakati. Meskipun ada konvensi, para pemain tetap dapat bertindak kapan pun mereka mau. Mereka memiliki keleluasaan untuk mengubah cara permainan, kapan saja, dan tanpa ada batasan waktu. Contohnya seperti permainan open world Minecraft.

Bila menggunakan sudut pandang Simon Sinek, banyak hal di sekitar kita yang tergolong infinite game. Misalnya seperti bisnis, kehidupan, dan tak terkecuali perpajakan. Sudah menjadi naluri dasar seseorang untuk menghindari pengenaan pajak karena khawatir penghasilannya berkurang atau beban pengeluarannya bertambah. Maka tak mengherankan jika oknum wajib pajak melakukan praktik penghindaran pajak yang terkadang pelakunya sulit dilacak dan pola permainannya berubah-ubah. Namun demikian, skema umum yang biasanya dilakukan adalah tax evasion dan tax avoidance.

Tax evasion merupakan sebuah tindakan ilegal yang bertujuan untuk menghindari atau meminimalisasi kewajiban pajak terutang ke negara. Hal ini biasanya dilakukan dengan menyimpan kekayaan dalam bentuk yang tidak bisa terdeteksi oleh pemerintah dan memanfaatkan celah yang ada dalam pengawasan pajak.

Ada beberapa teknik yang dilakukan. Teknik yang paling umum terjadi adalah under statement of income atau mencatat pendapatan lebih kecil dari yang seharusnya. Misalnya Tuan A membeli properti dengan harta Rp10 miliar, tetapi kemudian dicatat hanya sebesar Rp8 miliar. Ada selisih Rp2 miliar yang coba untuk disembunyikan dengan tujuan untuk membuat kewajiban pajaknya agar menjadi lebih ringan.

Contoh lainnya adalah menyamarkan aset/kekayaan dengan menggunakan nama dan alamat orang lain atau memecah aset/kekayaan yang dimilikinya ke perusahaan yang ada di luar negeri. Selain itu, ada juga yang membeli logam mulia tanpa NPWP atau melakukan pembelian di pasar gelap tanpa sertifikat agar tidak terlacak oleh petugas pajak. Apa pun mekanisme dan strategi yang ditempuh, secara prinsip tax evasion merupakan bentuk pelanggaran hukum yang jika dilakukan ada konsekuensi hukum yang melekat di dalamnya.

Skema berikutnya adalah tax avoidance. Skema ini merupakan bagian dari upaya perencanaan pajak (tax planning) yang bertujuan agar beban pajak menjadi lebih ringan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan setiap celah yang ada dalam peraturan pajak tanpa melanggar aturan yang ada. Perencanaan pajak ini biasanya melibatkan bantuan konsultan pajak. 

Contoh tax avoidance yang paling umum yaitu praktik para pengusaha atau pemegang saham yang dengan sengaja meminimalisasi penarikan gaji bulanan mereka agar terhindar dari pengenaan Pajak Penghasilan bertarif progresif. Sebagai gantinya, para pengusaha tersebut akan mengambil uang dari perusahaan dalam bentuk pembagian dividen agar potongan pajaknya menjadi lebih kecil atau bahkan tidak kena pajak sama sekali.

Praktik tax avoidance juga sering dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan memanfaatkan perbedaan peraturan pajak antarnegara. Skema yang biasanya digunakan adalah transfer pricing, thin capitalization, dan Controlled Foreign Corporation (CFC).

Transfer pricing merupakan kebijakan perusahaan untuk menentukan harga transfer barang atau jasa yang dilakukan antarperusahaan, sedangkan thin capitalization adalah upaya perusahaan untuk mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar pinjaman agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Sementara CFC sendiri merupakan praktik yang paling sering dilakukan yaitu dengan cara membangun perusahaan cangkang di negara yang tarif pajaknya rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali alias tax heaven country. Bahkan perusahaan sekaliber Apple pun menggunakan skema ini melalui skandalnya yang dinamakan iTax.

Lantas bagaimana pemerintah menghadapinya?

Meskipun pola penghindaran pajak dapat terdeteksi, namun para pelakunya sulit teridentifikasi. Maka langkah yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengubah infinite game menjadi finite game.

Langkah ini dimulai dari reformasi pajak jilid III yang digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan melakukan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Melalui pembaruan teknologi ini diharapkan tercipta kemudahan administrasi perpajakan yang berujung pada peningkatan pelayanan dan pengawasan pajak yang optimal. 

Selain itu, dengan diundangkannya UU Nomor 9 Tahun 2017, pemerintah memiliki senjata utama untuk melakukan uji petik kepatuhan pajak dengan melakukan penyandingan dengan data yang disampaikan oleh pihak perbankan melalui skema Automatic Exchange of Information. Adanya pertukaran data antara Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP) juga menjadi amunisi tambahan untuk memudahkan pemetaan para pelaku penghindaran pajak. 

Pemerintah bersama negara anggota G-20 dan OECD juga telah menyusun BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) Action Plan yang kesepakatannya lebih populer disebut BEPS 1.0. Hal ini terus berlanjut hingga saat ini, dengan rencana aksi pemajakan digitalisasi ekonomi yang disebut sebagai BEPS 2.0. Di samping itu, Indonesia juga memiliki instrumen lain untuk melawan transfer pricing, thin capitalization, dan CFC dengan skema yang dinamakan Specific Anti-Avoidance Rule (SAAR).

Beragam langkah tersebut merupakan strategi agar para pelaku praktik penghindaran pajak mudah dikenali, sehingga pengenaan pajak dapat dilakukan. Upaya ini bukanlah permainan untuk mencari pemenang. Namun sebuat ikhtiar untuk menjamin hak warga negara tidak tergadaikan.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.