Oleh: Maya Alfiandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Bab Perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa nomor induk kependudukan (NIK) dalam kartu tanda penduduk (KTP) akan diintegrasikan dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Pasal 2 ayat (1a) UU HPP menyebutkan bahwa  NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK. Selain itu juga disebutkan pada Pasal 2 ayat (10), yaitu dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.

Yang menjadi pertanyaan masyarakat ialah mengapa NIK harus diintegrasikan dengan NPWP? Apa yang mejadi dasar hukum pelaksanaan integrasi NIK dan NPWP? Apa manfaat dan hasil yang diharapkan?

Pendorong Penerapan Integrasi

Penyebab pertama adalah rasio pajak yang rendah dan shadow economy yang tinggi. Menurut laporan Bank Dunia (2020) ‘Public Expenditure Review: Spending for Better Results’, rasio pajak Indonesia tercatat 10,2%, sekaligus menjadi salah satu yang rendah di antara negara-negara berkembang.

Sementara itu, untuk menghadapi shadow economy diperlukan strategi-strategi seperti yang tercantum pada Strategies of tax administrations to tackle the shadow economy (Shining Light on the  Shadow Economy:  Opportunities and Threats, OECD 2017) yaitu penggunaan data, identifikasi dan registrasi yang efektif, dan pendekatan menyeluruh dari pemerintah.

Penyebab kedua adalah dukungan data perpajakan untuk penentuan kebijakan pemerintah. Adanya pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus memberikan respons yang cepat, efektif, dan efisien dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan berbagai insentif dan kemudahan bagi wajib pajak sehingga mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Penyebab ketiga adalah kondisi integrasi data yang belum optimal. Tingkat penyandingan NIK dan NPWP masih rendah karena belum ada basis data perpajakan yang solid. Hal itu dapat ditemukan dalam Laporan Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Triwulan VII Tahun 2020 Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi.

Dasar Hukum

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik menyebutkan bahwa integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan bertujuan mempermudah wajib pajak orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan. Bagi pemerintah, integrasi NIK dan NPWP dapat menciptakan kesederhanaan administrasi dan dapat digunakan untuk kepentingan nasional.

Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar pajak. Pembayaran pajak dilakukan apabila penghasilan setahun di atas batasan PTKP atau Peredaran bruto di atas Rp500 juta/tahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0,5% (PP-23/2018).

Pengaturan penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi  dalam Pasal 2 ayat (4) meliputi a. pensyaratan penambahan NIK dan/atau NPWP penerima layanan; b. pencantuman NIK dan/atau NPWP penerima layanan; c. validasi atas pencantuman NIK dan/atau NPWP; d. pemadanan dan pemutakhiran Data Kependudukan dan basis data perpajakan; dan e. pengawasan. Pelayanan yang dimaksud adalah seluruh pelayanan publik.

Pasal 4 menyebutkan Penambahan atau pencantuman NIK dan/atau NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. NIK sebagai penanda identitas bagi orang pribadi yang belum memiliki NPWP; b. NIK dan NPWP sebagai penanda identitas bagi orang pribadi yang telah memiliki NPWP; dan c. NPWP sebagai penanda identitas bagi Badan dan orang asing yang tidak memiliki NIK.

Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a bertanggung jawab atas keakuratan dan validitas Data Kependudukan berbasis NIK. (2) Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b bertanggung jawab atas keakuratan dan validitas NPWP

Manfaat dan Hasil

Manfaat penerapan NIK sebagai NPWP antara lain mendukung penggunaan nomor identitas yang terstandardisasi dan terintegrasi berupa NIK sebagai SIN (Single Identification Number) sekaligus sebagai rujukan identitas data yang bersifat unik dan sebagai kode referensi dalam pelayanan publik untuk mendukung kebijakan basis data nasional (satu data Indonesia).

SIN mengintegrasikan data keuangan dan nonkeuangan yang dapat mendukung ketersediaan data sehingga memudahkan wajib pajak dalam pemenuhan administrasi perpajakannya, sekaligus dapat menjadi alat uji untuk menjamin kebenaran pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak. Pengintegrasian basis data nasional menjamin tata kelola data yang mendukung perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengendalian dari program dan kebijakan pemerintah dengan tetap memperhatikan jaminan keamanan data.

Outcome yang diharapkan tentu saja target penerimaan negara dapat tercapai karena peningkatan potential income tax baik ekstensifikasi maupun intensifikasi berdasarkan transaksi berbasis NIK dan perluasan serta peningkatan integritas basis data perpajakan.

Beban administrasi jangka panjang diharapkan dapat berkurang karena SIN akan menjadi primary key dalam setiap layanan penduduk Indonesia. NIK terhubung dengan banyak layanan pemerintah seperti kesehatan, pendidikan, ijin usaha, dan layanan lain sehingga analisis dalam rangka pemberian fasilitas lebih komprehensif.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.