Pemberlakuan Opsen: Menakar Prospek Piggyback Tax untuk Mengerek PAD

Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Muncul di awal abad ke-20, piggyback tax merupakan terminologi yang asing bagi masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, piggyback tax menjadi salah satu kosakata menarik. Piggyback tax adalah skema pajak di mana pemerintah daerah (pemda) menetapkan pajak tambahan dengan "menumpang" pada sistem pajak yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, daerah dapat menambahkan persentase tertentu pada pajak penghasilan atau pajak lainnya yang sudah dipungut secara nasional. Sistem ini mempermudah pemda untuk meningkatkan penerimaan tanpa harus membangun infrastruktur atau sistem administrasi pajak yang baru. Dengan demikian, mekanisme piggyback tax mendukung efisiensi administrasi sekaligus memperkuat desentralisasi fiskal dalam suatu negara.
Konsep ini pertama kali muncul di negara-negara dengan sistem federal, seperti Amerika Serikat dan Kanada. Penerapannya mulai berkembang secara signifikan pada tahun 1930-an dan 1940-an, terutama ketika negara bagian mencari cara untuk meningkatkan penerimaan pascaterjadinya the great depression tanpa harus menciptakan sistem perpajakan yang sepenuhnya independen.
Sebagai istilah yang awalnya terdengar ganjil, piggyback tax kini mulai menjadi bagian dari diskursus perpajakan di Indonesia. Pemicu utamanya adalah realisasi beleid "opsen" yang dimulai belum lama ini pada 5 Januari 2025. Pemberlakuan opsen ini sesuai dengan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Pasal ini menyatakan bahwa ketentuan opsen mulai berlaku tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya UU HKPD —pada tanggal 5 Januari 2022. Lebih lanjut, pada bagian ketentuan umum, dinyatakan bahwa opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu dengan sistem pemungutan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah —Pasal 84 (2) UU HKPD.
Kendati kita sedang tidak mengulas pajak pusat, tema pajak daerah ini menarik untuk dikupas.
Opsen
Opsen adalah bagian dari piggyback tax. Berdasarkan UU HKPD, ada tiga jenis pajak yang dikenakan opsen. Opsen dikenakan atas pajak terutang dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Jika kita melongok lebih mendalam, opsen atas PKB dan BBNKB sebenarnya merupakan bentuk lain dari mekanisme bagi hasil pajak provinsi. Jika sebelumnya kedua pajak tersebut diakui penuh sebagai pajak provinsi, maka mekanisme opsen membuat pajak tersebut diproporsikan secara langsung. Dengan skema ini, daerah dapat meningkatkan kemandirian fiskalnya tanpa menambah beban bagi wajib pajak. Di sisi lain, proporsi langsung juga membuat arus transfer akan lebih efisien karena penerimaan yang dihasilkan akan seketika dicatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa menunggu bagi hasil dari provinsi. Karena adanya ketepatan waktu atas penerimaan, skema opsen memberikan kepastian penerimaan dana bagi daerah. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam penggunaan dana tersebut sesuai kebutuhan masing-masing tingkat pemerintahan.
Berbeda dari dua jenis pajak sebelumnya, opsen atas Pajak MBLB sebelumnya tidak termasuk dalam skema bagi hasil. Opsen Pajak MBLB adalah kebijakan baru yang dirancang untuk memperkuat fungsi fiskal daerah, terutama di tingkat provinsi. Sebelum kebijakan ini, Pajak MBLB hanya menjadi sumber penerimaan kabupaten/kota tanpa kontribusi langsung ke tingkat provinsi. Dengan pengenalan opsen, pengelolaan Pajak MBLB kini lebih terintegrasi antara tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga mendukung pengelolaan sumber daya yang lebih adil dan akuntabel. Pendekatan ini dapat berpotensi meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah melalui perencanaan, penganggaran, dan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lebih terarah. Di sisi lain, opsen pajak juga memotivasi daerah untuk memperluas basis pajak, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, demi meningkatkan penerimaan pajak daerah secara agregat.
Berdasarkan UU HKPD, tarif opsen diatur tertentu untuk masing-masing jenis pajak. Tarif opsen untuk PKB dan BBNKB ditetapkan sebesar 66% dari besaran pajak terutang, sedangkan tarif opsen untuk Pajak MBLB sebesar 25% dari besaran pajak terutang yang ditetapkan dengan Peraturan Dearah (Perda). Kemudian, pemungutan opsen dilakukan secara bersamaan dengan pajak yang menjadi dasarnya dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan opsen diatur melalui Peraturan Pemerintah. Dengan adanya peraturan turunan berupa Perda dan PP, maka akan menjamin kepastian hukum dan mendorong optimalisasi penerimaan daerah melalui mekanisme yang lebih terintegrasi.
Prospek
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa piggyback tax adalah pendekatan yang efektif untuk memperkuat otonomi fiskal daerah tanpa menciptakan kerumitan administrasi baru. Di Amerika Serikat, misalnya, negara bagian telah lama menerapkan piggyback tax melalui pajak penghasilan berbasis tarif federal. Sementara di Jerman, pajak gereja yang menumpang pada pajak penghasilan menjadi contoh sukses harmonisasi antara pemerintah pusat dan institusi lokal. Studi kasus dari negara-negara ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi, sinergi antarlevel pemerintahan, serta perencanaan tarif yang adil.
Namun, untuk membentuk skema piggyback tax di Indonesia, ada beberapa penyesuaian penting yang perlu dilakukan. Pertama, regulasi dirancang untuk memberikan otonomi fiskal yang proporsional kepada pemerintah daerah, sembari memastikan keselarasan dengan kebijakan perpajakan nasional. UU HKPD dapat menjadi fondasi utama yang menciptakan kerangka hukum untuk memperkuat hubungan keuangan pusat dan daerah. UU ini memungkinkan pemerintah daerah memperoleh akses yang lebih baik terhadap sumber pendapatan, termasuk potensi penerapan piggyback tax sebagai salah satu instrumen fiskal.
Kedua, penyesuaian sistem administrasi pajak sangat penting untuk memastikan efisiensi dan akuntabilitas. Infrastruktur digital yang terintegrasi, seperti yang telah diinisiasi melalui sistem perpajakan daring, perlu diperluas untuk mencakup mekanisme piggybacking. Ini termasuk integrasi data antara pemerintah pusat dan daerah, pengembangan modul khusus untuk menghitung pajak tambahan, dan sistem pengawasan otomatis untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan.
Ketiga, kajian mendalam mengenai dampak ekonomi dan sosial dari skema piggybacking perlu dilakukan sebelum implementasi. Studi ini dapat mencakup analisis tentang bagaimana tambahan pajak memengaruhi daya beli masyarakat, distribusi pendapatan, serta daya saing ekonomi lokal. Hasil kajian dapat menjadi landasan bagi penentuan tarif tambahan yang adil dan tidak membebani masyarakat, terutama kelompok rentan.
Di Indonesia, beberapa jenis pajak memiliki potensi besar untuk dilakukan piggybacking. Selain opsen pajak kendaraan bermotor yang sudah berjalan, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak restoran, dan pajak hiburan daerah dapat menjadi target implementasi berikutnya. Dengan pertimbangan basis penghitungan yang sudah jelas dan relevansi yang tinggi bagi kebutuhan lokal, jenis-jenis pajak ini dapat menjadi instrumen strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dengan regulasi yang disesuaikan dan implementasi yang transparan, piggyback tax memiliki prospek besar untuk mendukung desentralisasi fiskal di Indonesia. Skema ini bukan hanya solusi untuk meningkatkan penerimaan daerah, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di seluruh Nusantara.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 3630 kali dilihat