Oleh: Tobagus Manshor Makmun, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu bendahara salah satu satuan kerja pemerintah di Ende. Saya bertanya, “Kalau misalnya ada tagihan yang terutang PPh Pasal 23, prosedurnya seperti apa?”

PPh yang dimaksud adalah pajak penghasilan sesuai ketentuan yang mengaturnya. Sebenarnya, itu bukan pertanyaan. Saya hanya mengonfirmasi hal yang lazim terjadi di lapangan. Jawabannya seperti yang sudah saya duga. “Saya hitung pajaknya, lalu saya buat kode billing. Setelah itu, saya bayar tagihan ke vendor dan bayar pajak ke bank,” ujar si bendahara.

Sekilas, tidak ada yang salah dari jawaban itu. Vendor memperoleh haknya, kewajiban ke negara juga terlaksana. Namun, dari sisi prosedur perpajakan, sebenarnya ada beberapa hal yang terlewatkan. Seharusnya, bendahara memasukkan data transaksi tersebut ke aplikasi e-Bupot Unifikasi. Setelah itu, aplikasi akan menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang berfungsi sebagai kredit pajak bagi vendor saat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Kemudian, kode billing dibuat saat hendak melaporkan SPT masa PPh Pasal 23 dengan nominal sejumlah keseluruhan bukti potong yang diterbitkan.

Dengan begitu, seluruh kewajiban administrasi telah dijalankan. Vendor memperoleh haknya, berupa pembayaran transaksi dan bukti potong. Negara juga mendapatkan pembayaran pajak, plus data transaksi untuk pengawasan kegiatan ekonomi yang akan membantu terwujudnya transparansi dan akuntabilitas.

Masalahnya, ada sebagian bendahara yang menganggap pelaporan pajak sebagai beban kerja tambahan. Akibatnya, banyak pembayaran pajak bendahara pemerintah yang dilakukan tanpa adanya SPT masa. Hal ini sebenarnya merupakan salah kaprah, karena pembayaran pajak seharusnya dilakukan berdasarkan penghitungan yang dilakukan pada SPT masa.

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang berusaha meningkatkan kualitas layanan, di antaranya terkait proses bisnis pembayaran. Pada Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) yang akan diluncurkan pada pertengahan 2024, terdapat beberapa pembaruan atas sistem pembayaran pajak.

Saat ini, pemilihan parameter data pembayaran berupa kode jenis, kode jenis setoran, dan masa/tahun pajak  pada saat pembuatan kode billing dilakukan secara manual. Kesalahan input kerap terjadi di sini dan berujung pada proses pemindahbukuan yang menjadi beban administrasi bagi wajib pajak maupun fiskus.

Simak juga:
[YouTube] Lebih Mudah dan Praktis: Proses Pembayaran Pajak Terbaru..

Pada sistem yang baru, kode billing akan diterbitkan secara otomatis setelah SPT dibuat—dalam hal statusnya kurang bayar. Kemudahan juga terjadi untuk pembayaran atas tagihan dan ketetapan. Pembuatan kode billing atas tagihan dan ketetapan bisa diakses melalui menu daftar tagihan. Hal ini akan membantu wajib pajak terhindar dari kesalahan pembayaran. Pembuatan kode billing secara manual hanya dilakukan untuk pembayaran selain SPT dan ketetapan/tagihan.

Tak hanya sebatas itu, wajib pajak bisa langsung melakukan pembayaran atas kode billing tersebut melalui beberapa mitra pembayaran yang terhubung dengan sistem. Pembuatan laporan SPT, kode billing, dan pembayaran dilakukan dalam satu sistem. Mudah sekali, bukan?

Kode billing aktif dan sejarah pembayaran yang dilakukan akan tercatat pada buku besar wajib pajak (tax payer ledger) secara otomatis. Catatan tersebut meliputi sisi debit dan kredit sesuai dengan posisi hak dan kewajiban perpajakan. Dengan demikian, wajib pajak bisa mengetahui riwayat transaksi perpajakan yang telah dilakukan. Bisa dikatakan, layanan proses bisnis pembayaran DJP akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Akan tetapi, hal ini tentu memiliki konsekuensi, terutama untuk kasus-kasus seperti yang dibahas di awal tulisan. Pembaruan sistem ini menuntut adanya perubahan perilaku wajib pajak. Pelaporan dan pembayaran merupakan satu paket yang tak terpisahkan sehingga tidak akan ada lagi pembayaran yang dilakukan tanpa ada pelaporan.

Lalu, bagaimana dengan wajib pajak yang selama ini belum tertib melakukan pelaporan SPT? Silakan menghubungi kantor pelayanan pajak terdekat untuk memperoleh sertifikat elektronik dan edukasi terkait pelaporan.

Pelaporan pajak bukanlah beban. Ia merupakan jalan menuju akuntabilitas dan transparansi. Di atas semua itu, pelaporan adalah salah satu hal kecil yang bisa kita lakukan sebagai wujud cinta kepada negeri, demi Indonesia yang lebih baik lagi.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.