Oleh : Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di zaman globalisasi ini, mana mungkin kita tidak menggunakan sosial media dalam kehidupan sehari-hari kita? Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet dan sosial media di seluruh dunia telah mencapai 5,07 miliar orang pada Oktober 2022. Jumlah tersebut mencapai 63,45% dari populasi global yang totalnya 7,99 miliar orang.

Pajak media sosial tersebut dicetuskan langsung oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni. Dia menganggap media sosial adalah sarana untuk bergosip dan menilai pendapatan pajak itu akan membantu negaranya

Parlemen Uganda pun meloloskan aturan hukumnya. Mereka telah memutuskan peraturan hukum yang mewajibkan pengguna media sosial membayar pajak untuk menggunakannya. Peraturan itu diterapkan mulai 1 Juli 2018, meskipun banyak keraguan tentang bagaimana mengimplementasikannya secara efektif.

Media sosial menjadi salah satu konten di internet yang paling sering diakses masyarakat di dunia. Meningkatnya penggunaan media sosial menjadi alasan pemerintah Uganda untuk menerapkan pajak khusus bagi pengguna sosial media demi meningkatkan pendapatan negara Uganda.

Selain meningkatkan pendapatan negara, pemerintah Uganda menilai kebijakan tersebut membantu meningkatkan keamanan nasional dan stabilitas negara. Alasan tersebut telah dilaporkan secara resmi seperti dilansir dalam The Next Web.

Pemerintah Uganda akan memberlakukan pajak sebesar 200 shilling Uganda atau sekitar 0,054 dolar Amerika Serikat (kurs bulan Maret 2023 setara dengan 824 rupiah) per hari untuk setiap pemilik ponsel yang menggunakan platform media sosial seperti WhatsApp, Twitter, dan Facebook.

Uang yang terkumpul dari pajak tersebut kabarnya akan digunakan untuk membeli alat pendeteksi konten negatif dan menekan penyebaran informasi hoaks. Upaya pemerintah Uganda mengendalikan aktivitas warganya saat mengakses internet sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Pemerintah bahkan sempat menutup akses media sosial selama pemilihan umum pada 2016 lalu.

Berhenti Bermain Medsos

Kebijakan pemerintah Uganda ternyata tidak berlangsung mulus. Akibat kebijakan tersebut, jutaan rakyat Uganda dilaporkan memutuskan berhenti bermain internet dan sosial media. Keputusan itu berdampak kepada 60 situs, termasuk di antaranya Facebook, WhatsApp, dan Twitter, serta membuat 2,5 juta orang berhenti langganan internet.

Masyarakat yang patuh atas kebijakan pajak tersebut hanya sekitar 1,2 juta orang. Banyak masyarakat yang menolak kebijakan pemerintah Uganda itu. Bahkan ratusan orang turun ke jalan dan memprotes pemerintah. Pajak tersebut dianggap sebagai bentuk mengekang kebebasan berpendapat serta hak mengakses informasi melalui internet.

Beberapa pengamat politik berpendapat jika pemerintahan Museveni telah menggunakan beragam taktik untuk membatasi perdebatan politik, menginjak-injak hak warga sipil dan juga melumpuhkan oposisi pemerintahan.

Gejolak penolakan rakyat yang tak ingin membayar pajak memilih memasang virtual private network (VPN) yang memungkinkan mereka leluasa mengakses media sosial. Hal ini justru merugikan negara Uganda sendiri.

Pemberlakuan pajak pada penggunaan media sosial memberi dampak buruk sepanjang implementasinya sejak tahun 2018. Pemberlakuan tersebut membuat penggunaan layanan dan produk TIK semakin buruk. Beberapa pengamat menilai kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang gagal.

Konteks Indonesia

Penerapan pajak terhadap penggunaan media sosial sebenarnya sudah dipersiapkan pemerintah Indonesia sejak tahun 2015 tetapi tidak terealisasikan sampai saat ini.

Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jika pajak penggunaan media sosial tersebut diterapkan di Indonesia dengan tarif yang sama dengan yang diterapkan oleh pemerintah Uganda, penghasilan yang didapatkan oleh Indonesia per harinya sebesar 157 miliar rupiah (dengan kurs saat bulang Maret sebesar 4,13 rupiah per 1 shilling Uganda).

Namun, kemungkinan tersebut sulit untuk direalisasikan dan akan ditentang oleh rakyat di Indonesia. Pada dasarnya media sosial digunakan secara gratis oleh masyarakat. Jika diterapkan pajak penggunaan sosial media, akan berdampak negatif terhadap pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia sebetulnya telah mendapatkan penerimaan pajak dari setiap orang yang menggunakan fitur iklan di sosial medianya. Pemajakan tersebut dinilai rasional dan pemerintah sebaiknya memperluas basis pajak di sektor lain.

Justru dengan sosial media dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pajak bagi suatu negara. Semenjak adanya media sosial, baik pihak pemerintah maupun wajib pajak sama-sama merasa dibantu. Dengan adanya media sosial, pemerintah sangat dipermudah memberikan sosialisasi dan membagi informasi kepada wajib pajak.

Misalnya masyarakat yang ingin mengetahui tata cara pembuatan efin bisa menanyakannya langsung melalui Twitter resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain Twitter, DJP ataupun Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) memanfaatkan Instagram dalam menyampaikan informasi terbaru terkait peraturan perpajakan ataupun hal-hal lain yang saat ini sedang booming yang berakaitan dengan kebijakan perpajakan.

Jika kita melihat media sosial DJP, institusi ini sangat gencar memberikan edukasi terhadap masyarakat terkait isu perpajakan. Media sosial DJP sangat bertebaran di dunia maya. Tidak hanya akun media sosial resmi Kantor Pusat DJP, tetapi masing-masing kantor vertikal Direktorat Jenderal Pajak pun mempunyai akun media sosial tersendiri.

Itu semua dilakukan semata-mata untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pajak bagi pembangunan suatu negara.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.