Tiga persoalan penting perlu dicermati

Oleh Chandra Budi
Direktorat Jenderal Pajak kemarin secara resmi meluncurkan program Sensus Pajak Nasional (SPN). Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyatakan bahwa tujuan SPN ini adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada semua wajib pajak.

Rasa keadilan yang dimaksud adalah setiap warga negara Indonesia mempunyai persamaan hak dan kewajiban di bidang perpajakan. Pasalnya, ditengarai masih banyak mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya, padahal kewajiban membayar pajak melekat pada dirinya.

Hipotesis ini diperkuat oleh data statistik yang menyebutkan bahwa dari 12,6 juta badan usaha yang aktif saat ini, baru sekitar 466.000 yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) Pajak Tahun 2010. Artinya, masih banyak badan usaha yang belum membayar pajak. Kondisi ini akan melukai rasa keadilan bagi mereka yang selama ini taat membayar pajak.

Sensus pajak tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan tersebut. Selain itu, ibarat obat mujarab, SPN memiliki tugas yang sangat berai yaitu mengamankan target penerimaan pajak, li.il ini sangat dimungkinkan karena permasalahan utama dalam menggali potensi pajak adalah ketersediaan data yang valid.

Oleh karena itu SPN akan memberikan output berupa data yang berlimpah ruah dan variatif. Persoalannya tinggal bagaimana Ditjen Pajak mengolahnyasehingga siap tersaji matang untuk menjadi penerimaan pajak atau fresh money. Tugas ini tidaklah mudah karena kemungkinan hambatan atau masalah pasti ada. Antisipasi terhadap masalah yang mungkin timbul dalam pelaksanaan SPN akan menyebabkan program nasional ini berhasil dan sesuai harapan.

Setidaknya ada tiga masalah penting yang mungkin ada selama pelaksanaan SPN ini. Pertama, respons para responden yang tidak begitu baik. Bentuk dan cara respons negatif ini sangat banyak, mulai dari menghindar dari petugas sensus, menjawab pertanyaan dengan asal-asalan, tidak bersedia menandatangani formulir sampai dengan tindakan konfrontatif terhadap petugas sensus. Kalau kondisi ini terjadi Ditjen Pajak akan sangat dirugikan karena tidak akan memperoleh data yang diperlukan.

Kedua, adalah legalitas terhadap data yang diperoleh. Dalam transaksi perdagangan di pusat-pusatperbelanjaan sangat jarang sekali pemiliknya ada di toko atau gerainya. Kebanyakan yang melayani konsumen adalah para karyawannya. Mereka inilah yang kemungkinan besar akan berjumpa dengan petugas sensus. Parahnya lagi, mereka ini juga yang kemungkinan besar akan menjawab pertanyaan yang diajukan petugas sensus. Ditjen Pajak akan sangat dirugikan apabila data yang diperoleh mempunyai tingkat legalitas yang rendah.

Ketiga, masalah yang mungkin muncul adalah aspek validitas data yang diperoleh. Untuk mengonversikan data yang diperoleh dari SPN kedalam pundi-pundi penerimaan pajak maka mutlak dibutuhkan data yang valid. Validitas data yang diperoleh sangat menentukan tingkatakurasi perhitungan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Titik kritis yang dapat memengaruhi validitas data SPN adalah pada saat proses wawancara oleh petugas SPN yang bukan berasal dari pegawai Ditjen Pajak atau yang menggunakan tenaga pihak ketiga {outsourcing). Walaupun ada standardisasi fonnulir isian sensus sehingga memudahkan petugas di lapangan tetapi tingkat pemahaman yang masih rendah petugas ou; warring membuat proses uji silang setempat menjadi tidak dilakukan. Padahal, proses uji silang setempat tersebut sangat bermanfaat untuk mengujikewajaran jawaban dari responden.

Ditjen Pajak dapat belajar banyak dari program sensus penduduk nasional yang sangat dinanti dan dirindukan oleh masyarakat. Keberhasilan program sensus penduduk nasional tidak lepas dari kampanye yang dilakukan secara besar-besaran danterencana.

Kampanye arti pentingnya pajak bagi kehidupan berbangsa akan mendorong kesadaran masyarakat yang berakibat kepada kepatuhan suka rela. Dengan demikian untuk mengatasi respons kurang baik dari para responden, selain teknik komunikasi yang baik dari petugas SPN,juga diperlukan dukungan semua pihak terkait untuk menyukseskan kampanye nasional SPN ini.

Jangan biarkan Ditjen Pajak bekerja sendiri karena ini untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Ketika para kepala desa atau lurah, camat, bupati atau wali kota serta menteri dan presiden berkomitmen untuk mendukung suksesnya SPN maka masyarakat akan menyadari bahwa SPN ini sangatlah penting bagi negara dan bangsa. Keengganan tentunya akan berbuah menjadi partisipasi aktif.

Dua kategori

Sebaiknya formulir isian sensus yang telah dijawab oleh responden dikelompokkan menjadi dua, yaitu kategori lengkap dan tidak lengkap. Kategori ini akan sangat mempengaruhi legalitas data yang diperoleh Ditjen Pajak. Data yang mempunyai aspek legalitas tinggi adalah data yang diturunkan dari formulir isian sensus yang telah di Liiul.itang.ini oleh pemilik atau kuasanya.

Adapun data yang berasal dairi formulir yang belum atau tidak ditandatangani pemilik atau kuasanya maka aspek legali-tasnya rendah. Untuk menghindari persengketaan yang berujung pada pengadilan maka data dengan aspek legalitas yang tinggi saja yang dapat diproses lebih lanjut. Antisi pasi ini akan membuat jajaran Ditjen Pajak merasa yakin apabila terjadi persengketaan di muka pengadilan.

Data dengan aspek legalitas tinggi belum tentu valid. Padahal, kevalidan data berperan besar dalam menentukan nilai pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak. Ditjen Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar hanya kepada wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban per-pajakannya.

Artinya, kedudukan keterangan lain dan data sama tingginya dengan hasil pemeriksaan. Untuk meyakinkan Ditjen Pajak maka pada kasus tertentu dengan nominal yang besar seyogianya dipastikan dahulu kebenaran data yang diperoleh melalui SPN tersebut yaitu lewat pemeriksaan pajak.


Penulis bekerja di Ditjen Pajak, alumnus Pasca Sarjana IPB

Bisnis Indonesia - 1 Oktober 2011