Oleh: Malik Abdul Aziz, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Indonesia tengah memasuki panen raya padi pada akhir Januari sampai awal Maret tahun 2023. Sejumlah wilayah Indonesia tengah menuai hasil buminya untuk memenuhi stok pangan masyarakat. Masalah pangan merupakan sektor utama yang selalu dibutuhkan manusia, terlebih Indonesia memiliki banyak penduduk. Lalu, apakah beras sebagai kebutuhan pokok juga dikenakan pajak?

Pemerintah Indonesia terhitung ambisius dalam memperhatikan sektor pertanian. Setiap tahunnya terdapat perkembangan ke arah yang lebih baik. Pada tahun 2020, komoditas dari sektor pertanian yang ditargetkan mencapai level swasembada ialah kedelai, tahun 2024 ditargetkan gula industri, tahun 2026 memiliki target daging sapi, dan tahun 2045 memiliki target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.

Di Indonesia sendiri pertanian terbagi menjadi dua sektor. Pertama, perkebunan besar milik swasta ataupun milik negara, sektor ini berfokus untuk memproduksi komoditas ekspor seperti minyak dan karet. Kedua, produksi petani kecil, sektor ini berfokus untuk memproduksi bahan pangan seperti jagung, beras, buah, dan sayuran.

Keberhasilan produksi hasil pertanian yang melimpah atau swasembada pangan pun tidak lepas dari peranan petani dan pemerintah. Pemerintah membuat dan menetapkan kebijakan-kebijakan demi menyukseskan pertanian Indonesia di masa mendatang. Salah satunya adalah peraturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang hasil pertanian tertentu dengan tarif lebih rendah dibandingkan tarif umum PPN.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022 pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN dan jenis barang penyerahan hasil pertanian tertentu berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Bukan hal baru, pengenaan pajak atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu telah ada sejak tahun 2013. Hasil pertanian dianggap sebagai barang kena pajak yang diserahkan oleh kelompok petani kepada pembeli dengan peredaran usaha lebih dari Rp4,8 miliar. Artinya, bagi pertani yang memiliki omzet dalam satu tahun di bawah Rp4,8 miliar tidak kena PPN.

Beleid ini juga mengatakan bahwa per 1 April 2022 Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tertentu dapat memungut PPN yang dihitung dengan menggunakan besaran tertentu yaitu 1,1% dari harga jual. Besaran tarif 1,1% ini diperoleh dari hasil perkalian 10% dengan tarif PPN umum yakni 11%. Tarif 1,1% merupakan tarif efektif. Tarif tersebut akan naik menjadi 1,2% pada saat tarif umum PPN 12% diberlakukan paling lama 1 Januari 2025.

Peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa salah satu komoditas hasil pertanian yang terkena PPN adalah padi. Jenis padi yang dimaksud dalam aturan ini meliputi merang, sekam, bekatul, dedak, jerami, dan komposnya. Sedangkan untuk beras, mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Alasannya adalah karena beras termasuk dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat banyak. Hal ini sesuai dengan Pasal 16B Undang-Undang PPN tentang barang kena pajak yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita pahami hikayat berikut ini. Ibu Hana adalah seorang tengkulak padi. Ia juga telah ditetapkan sebagai PKP oleh kantor pelayanan pajak (KPP) setempat. Pada Februari 2023, Ibu Hana menjual padi kering senilai Rp100 juta. Kegiatan tersebut terutang PPN dengan perhitungan 1,1% dari Rp100 juta atau sebesar Rp1.100.000,00. Dalam penyerahannya, Ibu Hana memungut dan menyetor PPN serta menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat ia dikukuhkan.

Tentu tidak semua komoditi pertanian menjadi objek PPN ini. Barang hasil pertanian yang dikenakan PPN besaran tertentu dibagi ke dalam empat kelompok.

Kelompok pertama adalah hasil perkebunan yang terdiri dari 24 jenis komoditi yang terdiri dari kelapa sawit, kakao, kopi, aren, jambu mete, lada, pala, cengkeh, karet, teh, tembakau, tebu, kapas, kapuk, serat mentah rami, dan sejenisnya, kayu manis, kina, panili, nilam, jarak pagar, sereh, atsiri, kelapa, tanaman perkebunan, dan sejenisnya.

Kelompok kedua adalah tanaman pangan yang terdiri dari empat jenis komoditi yaitu padi, jagung, kacang-kacangan yang terdiri dari kacang tanah dan kacang hijau, serta umbi-umbian yang terdiri dari ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, gembli, dan umbi lainnya.

Kelompok ketiga adalah tanaman hias dan obat yang terdiri dari tiga komoditi, yaitu tanaman hias, tanaman potong, dan tanaman obat.

Kelompok keempat adalah hasil hutan, yang dibagi menjadi dua subkelompok yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dengan total sepuluh jenis komoditi.  Hasil Hutan Kayu (HHK) terdiri dari kayu, kelapa sawit, dan karet. Sedangkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terdiri dari bambu, rotan, gaharu, agathis, shirea, kemiri dan tengkawang.

PKP yang memungut PPN besaran tertentu atas hasil pertanian wajib membuat faktur pajak sesuai ketentuan. PKP harus melakukan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat PKP dikukuhkan untuk memungut PPN dengan besaran tertentu. Namun, bagi PKP yang sebelumnya telah memungut PPN dengan dasar pengenaan pajak nilai lain sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2020, tidak perlu menyampaikan pemberitahuan.

Di sisi lain, PKP diberikan pilihan untuk beralih memungut PPN dengan tarif umum. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2). Apabila telah menggunakan tarif umum, PKP tidak dapat lagi memungut PPN hasil pertanian dengan besar tertentu.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.