Oleh: Ratih Silviani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pandemi Covid-19 menimbulkan kejatuhan di berbagai sektor di hampir seluruh negara tidak terkecuali Indonesia, terutama dalam sektor ekonomi. Namun berlawanan dengan hal tersebut, kejatuhan sektor ekonomi di seluruh dunia justru menghasilkan penambahan jumlah orang kaya dan super kaya. Ternyata fenomena unik ini terjadi juga di Indonesia.

Berdasarkan data yang bertajuk Global Wealth Databook 2021 yang dibuat oleh Credit Suisse, orang kaya di Indonesia yang pada tahun 2020 memiliki kekayaan bersih di atas US$1 juta totalnya berjumlah 171.740 orang. Jumlah ini meningkat pesat 62% dibanding tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 106.215 orang.

Sedangkan untuk orang super kaya dengan kekayaan bersih di atas US$500 juta jumlahnya bertambah empat orang jika dibandingkan tahun lalu menjadi total 50 orang.

Dari data di atas terlihat bahwa selama kondisi pandemi ternyata ada puluhan ribu orang Indonesia yang naik kelas menjadi orang kaya. Hal ini tentu sangat kontras dengan kenyataan bahwa banyak pekerja yang harus dirumahkan karena maraknya tempat usaha atau bisnis yang harus tutup dan akhirnya gulung tikar.

Kuasai Hampir Setengah Kekayaan Nasional

Secara proporsi orang Indonesia yang memiliki kekayaan bersih di atas US$1 juta hanyalah 0,1% dibanding jumlah penduduk dewasa di Indonesia. Namun kenyataannya orang kaya yang hanya berjumlah 0,1% ini ternyata menguasai sebagian besar kekayaan yang ada di Indonesia.  Kenyataan ini diperkuat oleh data simpanan kekayaan yang juga dilaporkan oleh Credit Suisse.

Menurut data simpanan kekayaan yang dibuat Credit Suisse jumlah simpanan kelompok terbawah yaitu dengan nilai simpanan Rp100 juta ke bawah pada Mei 2019 proporsinya hanya mencapai 15,26 % dengan total kekayaan Rp 878,51 triliun dan pada Mei 2021 proporsi ini terjun menjadi hanya 13,61 %.

Di lain pihak, proporsi simpanan kelompok teratas dengan nilai simpanan di atas Rp5 miliar pada Mei 2019 memiliki proporsi sebesar 46,19 % dengan nilai total kekayaan mencapai Rp2.659,68 triliun, namun pada Mei 2021 proporsi ini melonjak lagi menjadi 49,13 %.

Penguasaan kekayaan 49,13 % oleh orang-orang kaya ini semakin menyatakan bahwa kekayaan nasional di negara ini sebagian besar hanya dikuasai oleh segilintir orang saja. Dan juga memperlihatkan jurang ekonomi yang sangat lebar antara orang miskin dengan orang kaya.

Ketimpangan Ekonomi Meningkat

Menurut Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet, masyarakat kelompok menengah ke bawah menghadapi kesulitan dalam meningkatkan pendapatan. Para pekerja sektor informal kesulitan ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan aktifitas. Alhasil, di masa pandemi jumlah penduduk miskin bertambah, dan pada saat yang bersamaan, ketimpangan juga meningkat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin bertambah dari 24,79 juta orang di September 2019 menjadi 27,55 juta orang pada September 2020.

Yusuf juga mengatakan, salah satu indikator mengetahui tingkat ketimpangan ekonomi adalah dengan melihat rasio gini. Nilai rasio gini berada di antara 0 dan 1. Semakin mendekati 1, maka semakin tinggi ketimpangan. BPS mencatat rasio gini Indonesia per Maret 2021 adalah sebesar 0,384 atau naik dari 0,381 jika dibandingkan pada Maret 2020. Inimenandakan ketimpangan ekonomi di Indonesia juga semakin meningkat selama pandemi.

Kenaikan Pajak bagi Orang Kaya

Pada 29 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo resmi mengundangkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021.

UU HPP terdiri atas sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan atau klaster, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.

Salah satu perubahan yang diatur dalam klaster PPh UU HPP adalah terkait rentang penghasilan serta tarif PPh bagi orang pribadi. Pada rentang penghasilan paling bawah terjadi perubahan yang sebelumnya untuk penghasilan 0-Rp50 juta diubah menjadi 0-Rp60 juta dan menggunakan tarif yang tetap sama dengan sebelumnya, yaitu 5%.

Perubahan rentang penghasilan ini diharapkan dapat lebih menyejahterakan masyarakat berpenghasilan kecil, terutama bagi orang pribadi yang memiliki rentang penghasilan Rp50 juta-Rp60 juta setahun dalam bentuk penurunan beban PPh yang semula dikenakan tarif PPh 15% turun menjadi 5%.

Mengingat rentang penghasilan ini menurut data Global Wealth Databook 2021 juga memiliki proporsi terbesar dalam pengelompokan kekayaan bersih di Indonesia, maka diharapkan pula akan ada banyak masyarakat berpenghasilan kecil yang dapat menikmati penurunan beban PPh.

Perubahan rentang penghasilan juga terjadi di lapisan paling atas. Sebelumnya, pemilik penghasilan di atas Rp500 juta dikenakan tarif 30%. Di dalam UU HPP diubah menjadi penghasilan di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp5 miliar dikenakan tarif 30%.  Pun, ditambahkan rentang penghasilan paling atas yang baru yaitu penghasilan diatas Rp5 miliar dikenakan tarif 35%.

Pengenaan tarif PPh sebesar 35% yang diperuntukkan bagi orang kaya yang memiliki rentang penghasilan diatas Rp5 miliar ini diharapkan bisa meredistribusi hasil penerimaan pajak agar manfaatnya dapat lebih dirasakan oleh masyarakat luas. Cara ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, serta terwujudnya sistem perpajakan yang berkeadilan.

Jadi jelas, kenaikan tarif PPh orang pribadi yang terdapat dalam UU HPP bukan untuk memberatkan masyarakat kecil, tetapi hal ini adalah salah satu kunci untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar sejak terjadinya pandemi.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.