Oleh: Isnaningsih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pernah kah kita menyadari ada berapa banyak kegiatan yang kita lakukan menggunakan aplikasi digital? Menonton film misalnya, aplikasi apa yang kita akses? Sudah banyak pilihan aplikasi digital untuk memenuhi kebutuhan hiburan kita. Apalagi untuk keperluan jual-beli secara elektronik juga sudah banyak pilihan. Kita dengan sangat mudah melakukan transaksi digital dengan penyedia layanan dari luar negeri. Lalu, bagaimanakah perlakuan pajak bagi transaksi yang kita buat dengan perusahaan-perusahaan digital luar negeri itu?

Menurut katadata.co.id, jumlah konsumen digital di Indonesia saat ini ada sejumlah 310 juta orang. Diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 menjadi sebanyak 340 juta orang. Tentu saja hal ini merupakan potensi besar yang akan terus meningkat. Pada masa pandemi ini pengguna layanan digital meningkat karena keterbatasan ruang gerak yang mendukung transaksi digital pada berbagai macam lini kehidupan. Selama masa karantina kemarin jika bosan larinya ke streaming film atau bermain game online bukan? Aktivitas belanja yang kita lakukan juga cukup lewat handphone dan tetap bisa belanja produk dari luar negeri. Selama ini, belum ada peraturan spesifik terkait transaksi perdagangan melalui sarana elektronik yang sudah sering kita gunakan. Saat kita bertransaksi dengan pelaku usaha digital luar negeri, belum ada kontribusi kepada negara secara maksimal atas transaksi yang terjadi tersebut.

Dengan tujuan menciptakan keadilan bagi seluruh pelaku usaha serta meningkatkan penerimaan negara, terlebih dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan negara, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Peraturan Menteri Keuangan ini mengatur lebih spesifik mengenai tata cara penunjukan pemungut, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan pajak pertambahan nilai atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik atau lebih dikenal dengan PMSE. Jadi pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dengan PMSE luar negeri juga akan dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar sepuluh persen. Dasar pengenaan pajaknya adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar pembeli barang dan/atau penerima jasa, tidak termasuk PPN yang dipungut.

Pemungut PPN PMSE di sini adalah pelaku usaha PMSE yang ditunjuk oleh menteri keuangan yang kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria tertentu. Kriterianya ada dua, yaitu jika nilai transaksi dengan pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia dalam dua belas bulan melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan/atau jumlah pengaksesnya dalam dua belas bulan melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 diatur bahwa jumlah nilai transaksi yang dimaksud adalah melebihi Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun atau Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam satu bulan. Sedangkan untuk jumlah pengaksesnya melebih 12.000 (dua belas ribu) dalam satu tahun atau 1.000 (seribu) dalam satu bulan. Jadi jika salah satu kriteria terpenuhi, maka sudah bisa ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Untuk pembeli barang dan/atau penerima jasa yang dimaksud pun juga memiliki beberapa kriteria. Mereka adalah yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia, melakukan pembayaran menggunakan fasilitas pembayaran yang disediakan oleh institusi di Indonesia, dan/atau bertransaksi dengan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia.

Berdasarkan siaran pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-29/2020 pada tanggal 7 Juli 2020 lalu, Direktur Jenderal Pajak menunjuk enam perusahaan global sebagai pemungut PMSE yaitu Netflix International B.V., Amazon Web Services Inc., Google Asia Pacific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC., dan Spotify AB. Kemudian pada siaran pers tanggal 8 September 2020, Direktur Jenderal Pajak menunjuk kembali dua belas perusahaan sebagai pemungut PMSE berdasarkan SP-41/2020. Kedua belas perusahaan tersebut adalah LinkedIn Singapore Pte. Ltd., McAfee Ireland Ltd., Microsoft Ireland Operations Ltd., Mojang AB, Novi Digital Entertainment Pte. Ltd., PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd., Skype Communications SARL, Twitter Asia Pacific Pte. Ltd., Twitter International Company, Zoom Video Communications, Inc., PT Jingdong Indonesia Pertama, dan PT Shopee International Indonesia. Berikutnya siapa lagi ya? Mengapa penerapan PPN PMSE ini dilakukan secara bertahap dan bukan serentak? Apakah ini akan menyebabkan level of playing field-nya menjadi berbeda? Apakah hal ini bisa menguntungkan pihak yang belum ditunjuk karena pengguna kemungkinan berpindah ke pelaku usaha lain yang belum ditunjuk sebagai pemungut atau terjadilah shifting? Misalnya pengguna Netflix berpindah ke Apple TV.

Tentunya perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE harus sudah memiliki persiapan matang terlebih dahulu. Mustahil kan dari tidak tahu apa-apa kemudian tiba-tiba harus memungut PPN? Jadi proses identifikasi maupun sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap pelaku usaha PMSE perlu waktu dan bertahap. Nah bagi mereka yang sebenarnya sudah memenuhi kriteria pemungut PPN PMSE namun belum ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemunggut PPN PMSE bisa juga loh memberi tahu ke Direktur Jenderal Pajak untuk ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Misalnya tidak pun, kita sebagai pembeli nih, melakukan pelaporan sendiri atas pemanfaatan barang kena pajak tidak bewujud dan/atau jasa kena pajak yang asalnya dari luar negeri. Ada aturannya di PMK Nomor 48/PMK.03/2020 pada pasal dua ayat lima. Jadi tetap sama-sama kena PPN loh.

Karena menjadi hal baru bagi kita, persoalan terkait PPN PMSE ini sempat ramai dibahas di media sosial. Pajak pertambahan nilai kan dibebankan kepada konsumen akhir, ya kita-kita ini. Apakah awalnya merasa khawatir dengan adanya pemungutan PPN yang sebelumnya tidak ada? Serius? Sepuluh persen aja nggak rela nih? Kita beli barang di supermarket juga dikenakan PPN loh, dibebankan kepada kita juga selaku konsumen akhir. Jadi bukan kah fair jika kita membeli barang dengan sistem elektronik dipungut PPN juga?

Bukan cuma Indonesia yang telah menerapkan pajak digital atau pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) ini. Beberapa negara lain ada yang sudah lebih dahulu menerapkan. Negara-negara di Benua Eropa misalnya ada Prancis, Italia, san Spanyol. Austria dan India juga tak ketinggalan. Pengenaan tarif PPN pajak digital pada tiap-tiap negara bervariasi. Tentunya ini menjadi isu yang menarik. Menurutmu idealnya bagaimana? Dengan adanya pemungut PPN PMSE ini menjadi mempermudah kita dalam pembayaran PPN atas transaksi digital bukan?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.