Pajak Tetap Ringan, Fasilitas Bertambah: Strategi Fiskal Indonesia yang Berpihak pada Rakyat

Oleh: (Ishak), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di tengah sorotan publik yang kerap menyuarakan keluhan semacam “pajak naik, rakyat menjerit”, pemerintah Indonesia justru mengambil langkah berbeda. Alih-alih terus mengerek tarif pajak, pemerintah memilih pendekatan yang lebih bijak dan berkeadilan: menjaga tarif tetap stabil, memperluas fasilitas perpajakan, dan meningkatkan transparansi fiskal.
Selama lima tahun terakhir, arah kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan komitmen kuat untuk tidak membebani masyarakat. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan. Fokusnya bukan pada kenaikan tarif, melainkan pada perbaikan struktur dan perluasan basis pajak secara bertahap dan adil.
Salah satu langkah penting dalam reformasi ini adalah penyesuaian bertahap atas tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Setelah mengalami penyesuaian dari 10% menjadi 11% pada April 2022, tarif 12% mulai diberlakukan pada Januari 2025. Namun, kebijakan tarif 12% ini hanya diterapkan untuk barang dan jasa yang tergolong mewah, seperti kendaraan bermotor, properti bernilai tinggi, dan layanan berstandar internasional.
Sementara itu, barang dan jasa kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, susu segar, serta jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum tetap mendapatkan fasilitas PPN berupa pembebasan, tidak dipungut, atau ditanggung pemerintah, sehingga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah tetap terlindungi.
Dalam hal ini, melalui Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU HPP, terdapat tiga bentuk fasilitas utama: PPN dibebaskan, PPN tidak dipungut, dan PPN ditanggung pemerintah (DTP). Fasilitas ini diberikan untuk sektor strategis seperti ekspor, pendidikan, kesehatan, pangan pokok, kawasan tertentu, penanganan bencana, dan pengembangan industri prioritas.
Di sisi lain, tarif pajak penghasilan (PPh) badan tetap berada di angka 22%, sejalan dengan praktik global yang mendukung iklim investasi. Untuk wajib pajak orang pribadi, pemerintah menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta per tahun. Kebijakan ini menjadi bukti nyata keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan secara ekonomi.
Reformasi ini tidak hanya menyentuh aspek tarif, tetapi juga menyasar keadilan dan kepastian hukum. Pemerintah memperkenalkan pengaturan baru terkait natura (fringe benefit), penyusutan aset, dan penghindaran pajak. Tujuannya jelas: menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel, serta membangun kepercayaan publik.
Belanja Perpajakan
Transparansi dalam pemberian fasilitas ini juga menjadi perhatian utama. Melalui laporan belanja perpajakan (tax expenditure report) yang diterbitkan setiap tahun, publik dapat melihat secara terbuka besaran insentif fiskal dan sektor penerimanya. Pada 2023, belanja perpajakan Indonesia mencapai Rp362,5 triliun, atau sekitar 1,73% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini meningkat 6,3% dibanding tahun sebelumnya, mencerminkan dukungan nyata terhadap pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Dari total tersebut, belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM mencapai Rp210,2 triliun (58%), sementara PPh menyumbang Rp129,8 triliun (35,81%). Ini menunjukkan keseimbangan antara konsumsi dan investasi yang dijaga pemerintah.
Lebih dari sekadar angka, belanja perpajakan adalah alat kebijakan strategis yang menjembatani kebutuhan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat. Komitmen terhadap transparansi ini bahkan mendapat pengakuan internasional. Dalam Global Tax Expenditure Transparency Index (GTETI) 2024, Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia dari 105 negara, mengungguli negara besar seperti Inggris, Jepang, dan India.
Solusi untuk Pajak Berpihak pada Rakyat
Jika menaikkan pajak bukan pilihan, dan menambah utang bukan solusi jangka panjang, maka jalan keluarnya adalah perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan penguatan sistem administrasi perpajakan. Pemerintah mendorong digitalisasi, memperbaiki data wajib pajak, dan meningkatkan literasi pajak di masyarakat. Edukasi publik tentang manfaat pajak dan fasilitas yang tersedia juga terus digalakkan.
Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan bentuk gotong-royong nasional untuk membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan masa depan yang lebih baik. Dengan pendekatan yang adil, transparan, dan partisipatif, kebijakan perpajakan Indonesia menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pajak tumbuh, Indonesia tangguh!
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 29 kali dilihat