Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Beberapa waktu terakhir desas-desus mengenai ramalan resesi masuk ke telinga kita. Banyak tokoh yang melontarkan prediksi bahwa di tahun 2023 perekonomian global akan semakin buruk dari tahun-tahun sebelumnya.

Salah satunya adalah Presiden Joko Widodo. Gelap kata Jokowi. Ramalan resesi ini juga bukan tanpa sebab begitu saja. Ini merupakan sebab akibat dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.

Jika dilihat ke belakang, banyak peristiwa-peristiwa yang akhirnya memengaruhi perekonomian dunia akhir-akhir ini. Semua itu dimulai dari krisis ekonomi di Amerika Serikat tahun 2008, hal yang mengagetkan tentunya. Amerikat Serikat kala itu adalah negara digdaya dengan sumber daya yang luar biasa banyaknya, tetapi malah mengalami krisis ekonomi? Banyak negara-negara akhirnya bertanya. Namun, di tengah momen tersebut ada negara yang mengambil kesempatan untuk lepas landas dan menapaki tangga demi tangga menyetarakan diri dengan Amerika Seritat, yaitu China.

China mengambil momentum krisis di Amerika Serikat untuk menjadi raksasa perekonomian selanjutnya. Berbagai kemajuan mereka capai di berbagai bidang yang pada akhirnya terus memperkuat perekonomian Negeri Tirai Bambu ini.

Imbasnya, ketika Presiden Donald Trumph terpilih pada tahun 2017, Trumph membuat slogan yang cukup provokatif “Make Amerika Great Again”. Intinya, ini merupakan kritikan atas kebijakan pemerintah sebelumnya yang terlalu lembek dan kurang responsif menghadapi krisis ekonomi, sehingga menimbulkan kekuatan perekonomian dunia yang baru, China.

Kebijakan perang dagang pun dimulai. Perekonomian dunia pun terus menerus menurun. Hingga di tahun 2019, di tengah konfrontasi perang dagang antara China dan Amerika Serikat, muncul wabah virus Covid-19. Ini pun cukup kontroversial, konon katanya wabah ini sengaja diciptakan dan bukan suatu kebetulan. Wabah ini menyebar dari Wuhan, China hingga ke seluruh dunia. Perekonomian dunia hampir saja mati total. Banyak negara-negara yang akhirnya runtuh imbas terkena Covid-19 seperti Sri Lanka.

Covid-19 ini baru mereda di awal tahun 2021 ketika vaksin sudah ditemukan dan didistribusikan ke berbagai negara. Namun, di tengah meredanya Covid-19, ada negara di belahan dunia lain yang sedang memanfaatkan momentum untuk melakukan tindakan yang nantinya akan memengaruhi kembali perekonomian global, Rusia.

Rusia melakukan persiapan untuk menginvasi Ukraina ketika pandemi Covid-19 belum berakhir. Dan akhirnya terbukti pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia memulai peperangannya dengan Ukraina. Sontak, dunia kaget sekaligus khawatir karena pada akhirnya ini menjadi sebuah konflik yang memengaruhi suplai kebutuhan dan barang di Eropa. Gas bumi contohnya, menjadi salah satu barang langka pada saat ini karena suplai barang tersebut dikurangi oleh Rusia. Kebutuhan yang tinggi serta kelangkaan barang menyebabkan naiknya harga barang. Harga barang yang tinggi hampir di seluruh Eropa menyebabkan daya beli masyarakat turun dan inflasi. Bahkan masyarakat Inggris lebih memilih berhemat karena inflasinya terus merangkak naik. Hingga muncul prediksi resesi di tahun 2023.

Efek Kupu-Kupu

Peristiwa-peristiwa ini secara imajiner bisa dikorelasikan dengan Efek Kupu-Kupu (Butterfly Effect). Teori Efek Kupu-Kupu merupakan teori tentang kekacauan: perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem tak linier dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Edward Norton Lorenz pada sebuah konsep pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.

Jadi seolah-olah, resesi ini sebetulnya merupakan fenomena sebuah Efek Kupu-Kupu dengan skala besar dan periode yang lama. Lebih mengerikannya lagi, fenomena ini masih terus berlanjut dan belum berakhir. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tentunya Indonesia pun terimbas.

Dari sudut pandang Indonesia, berbagai peristiwa di atas memengaruhi perekonomian dalam negeri. Berbagai rantai suplai mengalami goncangan seperti kenaikan harga minyak yang memengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM). Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat menurun serta ancaman krisis ekonomi di tahun depan sudah menanti.

Lebih spesifik ke penerimaan pajak, pengaruhnya cukup besar. Penerimaan pajak di masa yang akan datang harus mengambil ancang-ancang agar tahan guncangan. Meskipun saat ini penerimaan pajak juga terimbas oleh tren positif. Kenaikan komoditas batu bara misalnya, akibat dari kenaikan harga gas bumi dari Rusia. Namun, pemerintah harus memitigasi risiko jika di masa yang akan datang harga komoditas ini tiba-tiba anjlok.

Di sektor lainnya, kenaikan harga barang akibat dari kenaikan BBM tentunya berpengaruh terhadap potensi penerimaan pajak, contohnya PPN. Karena masyarakat turun daya belinya, otomatis konsumsi berkurang sehingga ada potensi penerimaan PPN berkurang. Imbasnya jika kita korelasikan dengan Efek Kupu-Kupu akan cukup beragam mulai dari penerimaan negara yang berkurang, negara akhirnya mengambil opsi utang untuk memenuhi kebutuhannya hingga kemungkinan terburuknya adalah perekonomian Indonesia mengalami krisis. Itu semua adalah kekhawatiran yang selalu terngiang.

Namun, pada akhirnya saya menemukan sebuah gagasan. Efek Kupu-Kupu dapat juga diterapkan untuk menciptakan tren positif. Bagaimana? Jika kita selaku warga negara melakukan kewajibannya dengan membayar pajak secara konsisten dan berusaha mengajak masyarakat lainnya yang belum sadar untuk ikut serta membayar pajak.

Hipotesisnya, ajakan membayar pajak yang kita gaungkan akan memengaruhi seseorang untuk membayar pajak, kemudian ada kemungkinan jika akhirnya ajakan kita berhasil membuat orang membayar pajak maka penerimaan negara tercapai. Alhasil, akan memengaruhi kebijakan pemerintah dengan tidak berutang sehingga kebijakan lain yang pro rakyat pun mengikuti. Dan masyarakat akhirnya diuntungkan.

Bukan tidak mungkin, jika kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat membuat tornado di Texas beberapa bulan kemudian, maka bisa saja Rp10.000 pajak yang dibayarkan oleh kita dapat menolong negara ini terhindar dari resesi akibat dari perekonomian global.

Oleh karena itu, saya yakin, kita sebagai bangsa yang besar dengan populasi yang cukup besar dapat digunakan untuk menciptakan Efek Kupu-Kupu tersendiri dan bertujuan positif, salah satunya mendongkrak penerimaan pajak. Kita diibaratkan kupu-kupu yang sangat kecil, namun jika kita bergerak berkontribusi akan mampu membuat perubahan dan melibas resesi. Tinggal kembali lagi ke diri kita masing-masing, hendak berpangku tangan sembari menahan nelangsa atau bergerak membuat perubahan?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.