Oleh: Ana Farida Sahara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ada sebuah frasa yang sering muncul di media sosial baik itu Twitter, Instagram maupun Facebook akhir-akhir ini yaitu “zakat itu dari si kaya untuk si miskin, sedangkan pajak dari si miskin untuk si kaya.” Benarkah frasa tersebut?

Untuk lebih menyederhanakan pembahasan, tulisan ini tidak akan membahas pajak perusahaan (badan). Tulisan ini hanya akan membahas pajak yang menjadi kewajiban atas Orang Pribadi, pada diri orang pribadi itu sifat kaya dan miskin ini melekat.

Pengertian pajak sendiri adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian pajak di atas menjelaskan sifat pajak yang wajib dan memaksa serta kegunaannya untuk kemakmuran rakyat.

 

Kewajiban Perpajakan Orang Pribadi

Seseorang wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP jika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Persyaratan subjektif orang pribadi untuk orang yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia, sedangkan persyaratan subjektif untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, terpenuhi ketika dia berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan dan 183 hari tersebut tidak harus berturut-turut.

Persyaratan objektif adalah adanya objek pajak. Bagi subjek pajak, dianggap memenuhi persyaratan objektif jika menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan perubahannya.

Dalam hal subjek pajak orang pribadi dalam negeri telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka dia akan menjadi wajib pajak. Jadi ketika penghasilannya dalam satu tahun tidak melebihi PTKP, maka orang tersebut belum dikenakan pajak.

PTKP orang pribadi saat ini adalah Rp54 juta untuk diri pribadinya, kemudian tambahan Rp4,5 juta untuk setiap penamabahan tanggungan. Orang pribadi dengan status kawin maka PTKP-nya adalah Rp58,5 juta, kemudian jika dia memiliki anak, maka PTKP naik sebesar Rp4,5 juta untuk setiap penambahan maksimal tiga tanggungan. Sehingga ketika seseorang memiliki penghasilan, tidak serta merta orang tersebut wajib membayar pajak penghasilan.

Begitu juga dengan wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha. Dalam penghitungan pajak penghasilannya menggunakan dasar pengenaan peredaran bruto tanpa memperhitungkan PTKP. Namun, undang-undang pajak memberikan batasan, yaitu sebesar 500 juta rupiah. Artinya ketika orang pribadi yang memiliki usaha ini mempunyai peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak, maka dia belum dikenakan pajak penghasilan. Pajak penghasilan baru dikenakan atas omzet setelah melewati batas Rp500 juta tersebut.

Jika batasan kaya dan miskin adalah PTKP, maka orang yang penghasilannya di bawah PTKP justru tidak dikenakan pajak. Jika batasan kaya dan miskin pengusaha adalah batasan omzet, maka pengusaha dengan omzet di bawah batasan Rp500 juta itu tidak dikenakan pajak.

 

Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Selain dari batasan PTKP dan batasan peredaran bruto, mari kita cermati tarif pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia. Adilkah untuk orang miskin?

Dasar pengenaan pajak penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak, yaitu hasil pengurangan dari penghasilan bersih dikurangi dengan PTKP. Tarif pajak di Indonesia menggunakan tarif progresif, semakin tinggi penghasilan, maka semakin tinggi pula pajaknya. Saat ini, lapisan tarif pajak penghasilan orang pribadi Indonesia adalah sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp60 juta, dikenakan tarif 5%,

Penghasilan Kena Pajak di atas Rp60 juta sampai dengan Rp250 juta dikenakan tarif 15%,

Penghasilan Kena Pajak di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta dikenakan tarif 25%,

Penghasilan Kena Pajak di atas Rp500 juta sampai dengan Rp5 miliar dikenakan tarif 30%,

Penghasilan Kena Pajak di atas Rp5 miliar dikenakan tarif 35%.

Contoh perhitungan pajak penghasilan orang pribadi dengan penghasilan Rp60 juta setahun dengan orang pribadi berpenghasilan Rp120 juta setahun adalah sebagai berikut:

Penghasilan Rp60 juta setahun: 5% x Rp60 juta = Rp3 juta

Penghasilan Rp120 juta setahun: (5% x Rp60 juta = Rp3 juta) + ((Rp120 juta – Rp60 juta) x 15% = Rp9 juta) = Rp12 juta

Jadi besaran pajak penghasilan tidak sekadar mengalikan Rp3 juta setiap kelipatan penghasilan 60 juta, tetapi tarif meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penghasilannya.

Mari kita mencoba menghitung seseorang dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp6 miliar, maka berapa pajak penghasilan yang harus dia bayarkan? Betul, Rp1.794.000.000,00.

 

Apakah Pajak Hanya untuk Si Kaya?

Pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara sampai dengan saat ini, dengan demikian, penggunaan penerimaan pajak, tidak dapat dipisahkan dari alokasi pendapatan negara itu sendiri. Semua pembayaran pajak dilakukan dengan ID Billing yang ketika dibayarkan langsung masuk ke kas negara. Alokasi pendapatan negara sendiri terdiri dari dua sasaran yaitu anggaran belanja pemerintah pusat dan anggaran transfer ke daerah dan dana desa.

Lebih rinci, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, pendidikan, serta perlindungan sosial. Sedangkan anggaran belanja pemerintah daerah dirinci lagi menjadi Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Nonfisik, Dana Keistimewaan DIY, Dana Otonomi Khusus, Dana Insentif ke Daerah, dan Dana Desa.

Semua detail anggaran pendapatan negara kita, tercantum dalam undang-undang yang disahkan setiap tahunnya. Untuk APBN Tahun 2022 dan 2023 kita bisa membacanya pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023. Bahkan untuk lebih mudahnya, kita bisa melihat sendiri untuk apa saja alokasi pajak yang kita bayarkan melalui situs web Kementerian Keuangan (https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu).

Jadi meskipun mungkin frasa “zakat itu dari si kaya untuk si miskin, sedangkan pajak dari si miskin untuk si kaya” terdengar enak untuk didengar, namun sungguh itu adalah pernyataan yang tidak berdasar.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.