Pajak Minimum Global: Peluang Penerimaan, Tantangan Kepatuhan

Oleh: (Muchamad Irham Fathoni), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Mulai tahun pajak 2025, pajak minimum global akan berlaku. Kebijakan ini merupakan bagian dari kesepakatan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dengan dukungan dari Group of Twenty (G20) yang dinamakan dengan Pilar Dua. Aturan ini menetapkan kewajiban pembayaran pajak penghasilan dengan tarif efektif sedikitnya 15 persen bagi kelompok usaha multinasional.
Sasaran dan Tujuan
Yang menjadi sasaran adalah grup dengan omzet konsolidasi minimal EUR750 juta atau sekitar Rp14,25 triliun dengan asumsi kurs EUR1 setara Rp19 ribu. Angka rupiah tersebut bersifat indikatif dan akan berubah mengikuti pergerakan kurs. Inti dari kebijakan ini sederhana. Di mana pun perusahaan beroperasi, pajak efektifnya tidak boleh kurang dari 15 persen. Jika pajak yang dibayar di suatu negara masih di bawah ambang batas minimum, akan dikenakan pungutan tambahan atau top up tax untuk menutup selisihnya.
Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk menghentikan praktik perlombaan menurunkan tarif pajak antaryurisdiksi (race to the bottom). Selama bertahun-tahun, banyak yurisdiksi yang bersaing untuk menarik investasi dengan menerapkan tarif pajak yang sangat rendah. Situasi ini merugikan basis pajak global dan mendorong pengalihan laba ke wilayah bertarif ringan. Dengan adanya ambang batas minimum 15 persen, persaingan diharapkan bergeser ke kualitas ekosistem. Investor akan menilai stabilitas regulasi, mutu infrastruktur, kepastian layanan, dan keterampilan tenaga kerja. Bagi Indonesia, pergeseran ini membuka peluang untuk mendorong investasi yang lebih produktif dan berkualitas.
Arsitektur
Arsitektur pajak minimum global terdiri atas tiga lapis yang saling melengkapi. Pertama adalah pajak tambahan minimum domestik yang memenuhi syarat atau qualified domestic minimum top up tax (QDMTT). Mekanisme ini memberi hak kepada Indonesia untuk memungut selisih pajak jika tarif efektif entitas di dalam negeri berada di bawah 15 persen.
Kedua adalah aturan penyertaan penghasilan atau income inclusion rule (IIR). Ketentuan ini memberi hak pemajakan kepada negara tempat induk perusahaan berada apabila selisih belum dipungut di yurisdiksi sumber.
Ketiga adalah aturan Pembayaran yang kurang dipajaki atau undertaxed payment rule (UTPR). Ketentuan ini berfungsi sebagai jaring pengaman terakhir ketika dua mekanisme sebelumnya belum menutup seluruh selisih pajak. Rangkaian ini memastikan tidak ada laba yang lolos dari pengenaan hingga mencapai tingkat minimum global.
Perhitungan pajak minimum global menggunakan konsep laba global anti base erosion yang dikenal sebagai laba GloBE dan pajak tercakup yang diselaraskan pada tingkat yurisdiksi. Perusahaan menghitung tarif pajak efektif per negara. Jika hasilnya di bawah 15 persen, top up tax diberlakukan atas laba yang memenuhi ketentuan setelah dikurangi pengecualian berbasis substansi.
Bagi pembaca umum, pesan kuncinya adalah kebutuhan tata kelola data yang rapi. Tanpa pencatatan yang konsisten, perusahaan berisiko salah hitung dan berhadapan dengan sanksi administratif. Karena itu, banyak grup menyiapkan uji coba perhitungan internal jauh sebelum batas pelaporan formal.
Peluang dan Tantangan
Dari sisi penerimaan negara, kebijakan ini berpotensi menstabilkan basis pajak Indonesia. Praktik pengalihan laba ke yurisdiksi bertarif rendah menjadi kurang menarik karena selisih pajak akan tetap ditagih. Dengan QDMTT, Indonesia memiliki prioritas untuk memungut top up tax di dalam negeri. Hak pemajakan tidak serta merta mengalir ke negara lain hanya karena tarif domestiknya lebih rendah. Dalam jangka menengah, stabilitas penerimaan memberi ruang fiskal yang lebih pasti untuk pembiayaan layanan publik.
Dampak lain yang tidak kalah penting adalah pergeseran strategi insentif. Skema yang hanya mengandalkan pemotongan tarif pajak badan ke level sangat rendah tidak lagi efektif bagi grup multinasional yang masuk cakupan. Selisih terhadap ambang batas minimum 15 persen pada akhirnya tetap akan dipungut. Agar tetap kompetitif, fokus kebijakan perlu diarahkan pada insentif yang tidak tergerus pajak minimum.
Pilihan yang sering diusulkan adalah pengurangan pajak tambahan untuk biaya pelatihan tenaga kerja, kegiatan penelitian dan pengembangan, serta investasi ramah lingkungan. Di samping itu, reformasi perizinan, kepastian layanan, dan penyediaan infrastruktur dasar menjadi penentu utama bagi keputusan investasi.
Implikasi tata kelola perusahaan juga cukup besar. Kelompok usaha harus memetakan eksposur dengan mengidentifikasi entitas dalam grup yang melampaui ambang omzet EUR750 juta atau sekitar Rp14,25 triliun. Setelah itu perusahaan perlu menilai tarif pajak efektif per negara dan menyiapkan dokumentasi pendukung. Ketersediaan data akuntansi yang terstruktur di tingkat yurisdiksi menjadi kunci. Banyak perusahaan membentuk tim lintas fungsi yang melibatkan bagian pajak, keuangan, dan hukum untuk memastikan perhitungan akurat serta pelaporan tepat waktu. Dalam skema ini, terdapat kewajiban pelaporan khusus seperti GloBE information return yang menjadi dasar verifikasi otoritas pajak.
Bagi pemerintah, agenda kebijakan tidak berhenti pada penetapan ambang batas minimum. Aturan pelaksana harus ringkas, jelas, dan konsisten dengan pedoman internasional agar kepatuhan tidak menimbulkan biaya administrasi yang berlebihan. Koordinasi antara pusat dan daerah juga penting dilakukan untuk menyelaraskan insentif supaya tetap menarik tanpa menggerus basis pajak. Penguatan kapasitas analitik di Direktorat Jenderal Pajak juga dibutuhkan agar otoritas mampu menilai tarif efektif lintas yurisdiksi, mengidentifikasi potensi pemajakan berganda yang tidak semestinya, dan menyelesaikan sengketa dengan cepat. Kepastian hukum menjadi syarat utama terciptanya iklim investasi yang sehat.
Manfaat kebijakan ini pada akhirnya bermuara pada kepentingan publik. Pajak minimum global memperkuat keadilan dan kepastian sistem perpajakan. Dengan basis pajak yang lebih kokoh, negara memiliki ruang yang lebih luas untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ketika insentif diarahkan ke pengembangan kapasitas dan inovasi, investasi yang masuk diharapkan menciptakan pekerjaan yang lebih berkualitas serta menguatkan rantai pasok domestik. Hasilnya bukan hanya angka penerimaan yang meningkat, melainkan juga transformasi struktural yang mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Kesimpulan
Kesimpulannya, penerapan pajak minimum global menandai perubahan cara dunia mengelola kompetisi pajak. Untuk Indonesia, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kesiapan administrasi dan pergeseran strategi investasi dari orientasi tarif ke kualitas ekosistem. Jika kedua prasyarat ini dipenuhi, Indonesia dapat menjaga penerimaan sekaligus menarik investasi bernilai tambah. Inilah fondasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 63 kali dilihat