Oleh: Anis Mutrofi'ah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Polusi udara yang terjadi di daerah ibukota Jakarta menjadi permasalahan yang serius. Terlebih, Jakarta merupakan daerah pemerintahan sekaligus industri. Dalam 12 jam, tidak ada satu daerah pun di Jakarta yang menunjukkan bahwa kondisi udara dalam keadaan bagus. Dilansir dari situs IQAir pada awal Oktober 2023, indeks kualitas udara (AQI) di Ibukota Indonesia sebesar 151, yang sebelumnya pada akhir Agustus 2023 sempat menempati posisi kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara tercatat di angka 169.

Menurut pernyataan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, polusi udara di Jakarta karena asap kendaraan bermotor dan kegiatan industri berbasis batubara. Berdasarkan data dari Kompas.com, terdapat lebih dari 25 juta kendaraan bermotor yang beroperasi di ibukota setiap hari. Selain banyaknya jumlah kendaraan bermotor, polusi diperparah dengan adanya 14 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang beroperasi dalam radius 100 km dari Jakarta. Lebih jauh lagi polusi udara tidak hanya menyerang Jakarta, tetapi juga daerah lainnya seperti Tangerang Selatan, Bogor, Tangerang, Depok, Bandung Raya, dan Bekasi. Polusi udara yang buruk yang mengancam kesehatan masyarakat perlu mendapatkan atensi lebih dari pemerintah.

Perlunya Pajak Karbon

Sejak tahun 2021, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), Pemerintah telah merencanakan pemberlakuan Pajak karbon. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon sekaligus mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim, seperti menyubsidi operasional angkutan umum, membantu mengubah alat produksi perusahaan menjadi alat yang lebih rendah karbon, investasi teknologi ramah lingkungan, dan semacamnya. Pajak karbon juga dapat digunakan untuk mengontrol harga barang dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan dampak negatif bagi lingkungan.

Pengenaan pajak karbon dapat dilihat dari harga yang dibayarkan oleh masyarakat dan perusahaan untuk barang dan jasa yang belum bebas karbon. Pajak karbon menyebabkan cost barang semakin mahal sebab ada pajak yang harus dibayar. Oleh karena cost meningkat maka keuntungan menurun, sehingga secara tidak langsung pajak karbon dapat mendorong perubahan operasional sebuah perusahaan yang masih menimbulkan pencemaran lingkungan dalam proses produksinya.

Penulis setuju dengan pendapat dari Lamon Rutten, CEO Indonesia Comodity & Derivatives Exchange (ICDX), yang dikutip dari laman CNN Indonesia bahwa terdapat dua cara dalam memperkenalkan harga karbon kepada publik, yaitu:

  1. Sebagian dari penerimaan Pajak Karbon akan dialokasikan kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas pengendalian perubahan iklim; dan
  2. Pendekatan cap-and-trade yang difungsikan untuk memberikan insentif atau kebijakan khusus bagi perusahaan yang berinovasi dan menghasilkan manfaat bagi lingkungan.

Kabar baiknya, dua cara ini telah termuat seluruhnya dalam UU HPP. Hal yang diperlukan sekarang ini adalah bagaimana cara penyampaian yang baik dan mudah dipahami oleh masyarakat, karena belum semua publik tahu dan bersedia meluangkan waktunya membaca ketentuan undang-undang secara keseluruhan.  

Kebijakan yang Berlaku

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 UU HPP, pajak karbon seharusnya sudah mulai berlaku sejak tanggal 1 April Tahun 2022 untuk pertama kalinya, yakni dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Namun, pada pembukaan Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022 di Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan penerapan pajak karbon ditunda dan baru akan berlaku pada tahun 2025. Penundaan ini disebabkan masih perlu adanya pertimbangan matang terhadap dampak perkembangan industri di Indonesia. Sebenarnya tarif pajak karbon yang direncanakan tersebut termasuk dalam tarif yang rendah jika dibanding dengan negara lain. Tarif pajak karbon di Singapura mencapai US$3,69 atau sekitar Rp57.684 per kgCO2e dan US$2,36 atau sekitar Rp36,892 per kgCO2e di Jepang.

Harapan

Pemberlakuan pajak karbon merupakan langkah penting dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga harus disertai dengan berbagai tindakan lainnya, seperti regulasi emisi, investasi dalam teknologi bersih, dan perubahan perilaku masyarakat. Berikut adalah beberapa saran dan harapan terkait dengan pemberlakuan pajak karbon:

  1. Dorongan menuju transisi ke energi bersih
    Pajak karbon diharapkan menjadi insentif bagi perusahaan dan individu untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, seperti energi surya, angin, dan energi nuklir. Harapannya adalah pajak karbon akan mendorong investasi dalam energi terbarukan dan teknologi bersih.
  2. Alokasi penerimaan pajak karbon
    Pendapatan dari pajak karbon harapannya dapat dimanfaatkan untuk mendukung proyek-proyek yang berkontribusi pada pengurangan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembangan transportasi publik yang lebih ramah lingkungan, restorasi hutan, dan investasi dalam teknologi hijau.
  3. Memperhatikan prinsip keadilan
    Pajak karbon harus dirancang dengan mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat yang lebih rentan secara ekonomi. Seperti halnya upaya untuk menghindari beban yang tidak adil bagi mereka yang memiliki pendapatan rendah. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan mengalokasikan kembali pendapatan pajak karbon kepada masyarakat dalam bentuk insentif atau keringanan pajak.
  4. Inovasi teknologi
    Pajak karbon diharapkan menjadi awal melesatnya inovasi teknologi ramah lingkungan. Dengan demikian, dapat menciptakan peluang bisnis baru dan membantu mengembangkan solusi yang lebih efisien dalam mengurangi emisi.
  5. Edukasi dan kesadaran
    Pajak karbon juga dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak emisi karbon. Pajak ini dapat diikuti dengan kampanye edukasi yang mempromosikan kesadaran lingkungan dan tindakan individu untuk mengurangi emisi agar kualitas udara tetap berada diambang yang baik untuk kesehatan.
  6. Evaluasi dan penyesuaian
    Sistem pajak karbon perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Jika sistem ini tidak mencapai tujuannya, perlu ada koreksi dan penyesuaian yang diperlukan agar berjalan secara efektif.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.