Oleh: Iqbal Putra Pratama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam atau yang biasa disingkat dengan SDA. Selain itu, pada tahun 2023, Indonesia memiliki luas hutan yang amat besar yaitu sekitar 125,76 juta hektare atau setara dengan 63% total luas daratan Indonesia menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)1. Dalam kondisi ideal, jika SDA di Indonesia dapat dikelola secara optimal dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, maka bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi negara dengan kondisi ekonomi yang sangat baik yaitu memiliki pertumbuhan ekonominya bagus, tahan terhadap guncangan ekonomi, masyarakatnya memiliki daya beli yang tinggi, serta memiliki ketimpangan sosial yang rendah. Selain itu, pengelolaan SDA yang baik dengan memperhatikan mitigasi terhadap dampak kepada lingkungan dapat mewujudkan sustainable development atau Pembangunan berkelanjutan seutuhnya.

Namun pada hari ini kita dapat melihat bahwa kondisi di negara kita, jauh dari kata ideal. Beberapa waktu lalu indeks kualitas udara (AQI) wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menduduki peringkat nomor satu sebagai yang terburuk di dunia. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh salah satunya asap kendaraan bermotor. Pada 2022, dilansir dari dataindonesia.id Jakarta yang memiliki luas 664 kilometer persegi2, memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi di angka 16.125 jiwa per km2. Belum lagi ditambah dengan pekerja komuter yang berasal dari daerah penyangga di sekitar Jakarta yang datang setiap hari untuk bekerja di Jakarta. Para penduduk dan pekerja komuter tersebut dapat berkontribusi pada buruknya kualitas udara Jakarta jika mereka menggunakan moda transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) seperti sepeda motor atau mobil yang mana menghasilkan emisi karbon. Selain kendaraan bermotor, asap pabrik dan pembangkit Listrik yang berada di daerah penyangga sekitar Jakarta turut berkontribusi dalam menyebabkan polusi udara di Jakarta. Selain di Ibukota, pembangkit Listrik dan kegiatan pertambangan beserta pengolahannya di banyak daerah yang memakai cerobong asap juga dapat menyebabkan polusi udara akibat dilepaskannya emisi karbon. Kompleksnya permasalahan polusi udara diperparah dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) setiap tahun di beberapa daerah tertentu di Indonesia.

Karena keadaan udara tercemar tersebut, pemerintah belakangan ini gencar mencari solusi terbaik untuk mengatasi polusi udara. Jakarta menjadi tempat untuk mencoba berbagai solusi tersebut. Namun kebanyakan solusi yang diberikan bersifat jangka pendek, seperti Work From Home bagi ASN, penyemprotan jalan dengan air, hingga membuat hujan buatan3. Langkah-langkah tersebut efektif untuk mencegah polusi udara dalam jangka pendek, namun untuk jangka Panjang solusi tersebut kurang tepat. Untuk itu pemerintah menawarkan beberapa solusi jangka Panjang untuk mengurangi polusi udara seperti, memperbanyak pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan perkotaan dan menggalakkan penggunaan kendaraan Listrik dengan subsidi pada pajak kendaraan tersebut4. Terdapat satu lagi solusi yang ditawarkan pemerintah namun jarang dibahas di khalayak umum, yaitu pajak karbon.

Menurut Tax Foundation, Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas setiap produk yang menghasilkan emisi karbon, seperti bahan bakar fosil5. Pajak karbon merupakan salah satu jenis pajak pigovian atau Pigouvian tax. Pajak pigovian merupakan pajak yang dikenakan terhadap setiap kegiatan ekonomi yang menghasilkan eksternalitas negatif. Pajak karbon disebut sebagai salah satu pajak pigovian karena pajak karbon memajaki barang atau jasa yang mengandung emisi karbon. Di dunia, sebenarnya pajak karbon bukan merupakan hal yang baru. Pajak karbon ini sudah sukses diterapkan di beberapa negara, dua diantaranya yaitu Swedia dan Finlandia5. Pada penelitian yang dilakukan oleh Elbaum dari University of Neuchatel yang meneliti pengaruh pajak karbon terhadap emisi karbon pada sektor transportasi di Finlandia pada 1990 sampai 2005 menghasilkan data bahwa satu tahun sejak diberlakukan pajak karbon, emisi karbon di Finlandia dapat ditekan hingga 10% dan 5 tahun sejak penerapannya, emisi karbon disana telah berkurang hingga 20%5. Penelitian lainnya oleh Andersson yang tujuannya melihat pengaruh penerapan pajak karbon dan PPN atas bahan bakar terhadap emisi karbon di Swedia mendapatkan hasil bahwa peraturan tersebut dapat menekan emisi karbon hingga 11% yang mana 6% diantaranya merupakan kontribusi dari penerapan pajak karbon5. Namun di sisi lain terdapat penelitian yang menunjukkan pajak karbon tidak sukses menurunkan angka emisi karbon, seperti contoh penelitian dari Lin dan Li yang menunjukkan bahwa sejak diterapkannya pajak karbon, emisi karbon malah semakin meningkat di Norwegia5. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan pajak karbon ini bisa jadi suatu hal yang baik dalam upaya menurunkan emisi karbon, atau juga bisa tidak sukses dalam mengatasi permasalahan emisi karbon5.

Untuk itu selain diterapkannya model pengenaan dan sistem administrasi atas pajak karbon, pemerintah di sisi lain harus juga meningkatkan awareness dari masyarakat untuk dapat bahu-membahu mengurangi emisi karbon, seperti contohnya: menggalakkan penggunaan transportasi umum yang dibarengi dengan penambahan serta pemerataan armada transportasi dan penambahan jalur di seluruh daerah di Indonesia, serta peningkatan layanan pada moda transportasi umum terkait. Di lain sisi, pemerintah juga harus menggandeng para influencer, tokoh-tokoh besar, dan orang-orang berpengaruh untuk memakai barang dan jasa rendah emisi seperti penggunaan mobil Listrik yang dibarengi dengan penggunaan panel surya pada rumah orang-orang kalangan middle-upper income sehingga secara berkesinambungan mulai dari produksi hingga penggunaan Listrik pada rumah-rumah tersebut semuanya memakai barang dan jasa yang rendah emisi karbon. Sehingga dengan adanya substitusi dari awalnya memakai bahan bakar minyak (BBM) kemudian beralih menjadi Listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan seperti panel surya. Kemudian dari hal tersebut dapat menjadi contoh bagi warga-warga lainnya untuk melakukan hal yang sama yaitu beralih ke energi baru terbarukan sehingga penerapan pajak karbon dapat mencapai tujuannya yaitu mengurangi emisi karbon serta diharapkan sustainable development atau Pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan sepenuhnya.

Sumber Data:

1 Riani, Asnida (2023, 29 Desember). Luas Hutan Indonesia pada 2023 versi KLHK. Diakses pada 18 Februari 2024, dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5492358/luas-kawasan-hutan-indonesia-pada-2023-versi-klhk#:~:text=Di%20paparan%20hybrid%20%22Refleksi%20KLHK,sah)%2C%22%20sebut%20dia.

2 Rizaty, Monavia Ayu (2023, 6 Januari). Jumlah Penduduk Jakarta Capai 10,64 Juta Jiwa pada 2022. Diakses pada 18 Februari 2024, dari https://dataindonesia.id/varia/detail/jumlah-penduduk-jakarta-capai-1064-juta-jiwa-pada-2022

3 Indonesia, BBC (2023, 2 September). “Uji emisi sampai semprot jalan - Upaya pemerintah berhasil turunkan tingkat polusi udara Jakarta?”. Diakses pada 18 Februari 2024, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66687436.

4 Annur, Cindy Mutia (2023, 24 Agustus). Apa Upaya Pemerintah untuk Kurangi Polusi Udara? Ini Pandangan Warga. Diakses pada 18 Februari 2024, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/08/24/apa-upaya-pemerintah-untuk-kurangi-polusi-udara-ini-pandangan-warga.

5 Barus, Eykel Bryken & Wijaya, Suparna (2021, 30 Desember). Penerapan Pajak Karbon di Swedia dan Finlandia serta perbandingannya dengan Indonesia. Jurnal Pajak Indonesia, 5(2), 257-263.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.