Oleh: Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pajak karbon menjadi sebuah usulan yang merebak ketika pandemi Covid-19. Pajak karbon diyakini memberikan dampak besar pada perekonomian Indonesia. Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pajak karbon akan menjadi salah satu usulan dan bagian dari reformasi perpajakan.

Pajak karbon atau pajak emisi karbon (carbon tax) adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Bahan bakar hidrokarbon (termasuk minyak bumi, gas alam, dan batubara) mengandung unsur karbon yang akan menjadi karbondioksida (CO2) dan senyawa lainnya ketika dibakar. Sedangkan, mengacu pada IBFD International Tax Glossary (2015), carbon tax adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil.

Negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon merasakan adanya dampak berupa penurunan emisi sekaligus penambahan pemasukan negara dari penerimaan pajak. Tarif pajak ini umumnya dikenakan per ton CO2 yang dihasilkan dari suatu kegiatan produksi, mulai dari US$1 per ton hingga US$139 per ton.

Buletin APBN Badan Keahlian DPR RI edisi 05 April 2020 menyatakan jika Indonesia menerapkan adanya pajak terhadap bahan bakar maka akan muncul dampak positif. Adapun dampak positif yang muncul yaitu dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, munculnya kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak, mendorong konsumen dan pengusaha lebih hemat energi dan berinvestasi pada teknologi hemat energi, serta meningkatkan penerimaan pajak.

Penerapan Pajak Karbon

Terdapat kurang lebih 30 skema pajak karbon yang telah diterapkan di dunia dengan skema, tingkat tarif, dan cakupan objek pajak yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Finlandia memungut pajak untuk produksi panas dan listrik serta transportasi dan bahan bakar pemanas. Sementara di Swiss, semua bahan bakar fosil, kecuali yang digunakan untuk produksi energi, tercakup dalam pajak karbon.

Jika menilik pada OECD (2001) dalam Enviromental Taxation a Guide for Policy Makers, terdapat desain kebijakan yang dapat diambil dalam penerapan pajak karbon. Pertama, dasar pengenaan pajak lingkungan harus ditujukan kepada perilaku polusi. Kedua, ruang lingkup pajak yang dikenakan harus sama dengan kerusakan yang telah ditimbulkan. Ketiga, tarif pajak harus sepadan dengan kerusakan lingkungan.

Keempat, sistemnya harus pasti dan dapat diprediksi sehingga memotivasi perbaikan lingkungan. Kelima, penerimaan dari pajak lingkungan dapat membantu konsolidasi fiskal atau membantu mengurangi ketergantungan dari pos pajak lainnya. Keenam, distributional impact tentang kesejahteraan dan beban fiskal harus dapat diatasi oleh instrumen kebijakan yang lain.

Pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal Rp75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Terdapat beberapa alasan munculnya usulan tersebut salah satunya isu lingkungan.

Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% pada tahun ini dan 29% pada tahun 2030. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ini diperlukan adanya regulasi untuk pungutan atas emisi karbon. Selain itu, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kerugian cukup besar setiap tahunnya. Bahkan untuk mengendalikan perubahan iklim, Indonesia selalu kekurangan biaya.

Hal itu tercermin dari gap pembiayaan yang dibutuhkan dengan besaran anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Pada tahun 2019, pendanaan yang tersedia 31,4% saja dan kekurangan pendanaan sekitar 68,6% dari total anggaran penanganan perubahan iklim yang dibutuhkan.

Usulan penerapan pajak karbon akhir-akhir ini muncul kembali. Sebab, pajak karbon dapat menjadi sumber penerimaan baru setelah pandemi Covid-19 berakhir. Selain itu, berlakunya pajak ini juga dapat mendorong pengurangan emisi karbon sehingga dapat mengurangi pemanasan global dan dapat mengembangkan energi terbarukan di negara kita.

Pigouvian Tax

Pajak karbon dapat dikatakan sebagai turunan dari pigouvian tax. Mengutip dari Tax Foundation (2019), pigouvian tax adalah pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif. Menurut Mankiw (2012), eksternalitas adalah “the uncompensated impact of one person’s actions on the well-being of a bystander”. Apabila dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut menguntungkan, maka termasuk eksternalitas positif. Namun, apabila dampak yang diakibatkan merugikan maka termasuk eksternalitas negatif.

Kita bisa melihat bahwa eksternalitas positif perlu ditingkatkan keberadaannya sehingga banyak pihak yang diuntungkan. Sedangkan eksternalitas negatif perlu ditekan atau dikurangi. Upaya untuk meningkatkan eksternalitas positif dan mengurangi eksternalitas negatif ini dikenal dengan istilah Internalisasi Eksternalitas. Dengan cara ini, biaya dari eksternalitas negatif dipertimbangkan dalam kendala biaya yang dihadapi pelaku aktivitas.

Mankiw (2012) mengemukakan langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengatasi eksternalitas negatif tersebut. Langkah tersebut yaitu “altering incentives so that people take account of the external effects of their actions”. Pajak merupakan insentif yang bisa dibebankan kepada pelaku eksternalitas negatif.

Pada Kurva Mankiw dapat dilihat bahwa keseimbangan optimum secara sosial berada di kiri kurva penawaran. Keseimbangan optimum secara sosial tersebut dapat dicapai apabila kurva penawaran bergeser ke kiri dan berimpit dengan garis biaya sosial. Untuk menggeser kurva penawaran ke kiri dapat ditempuh dengan membebankan pajak kepada produsen sehingga kuantitas produksinya akan berkurang.

Penerapan pajak ini membuat pihak pembeli barang yang terbuat melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Sebab, pembuatan barang tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan. Jika sebelumnya biaya eksternalitas negatif bukan tanggung jawab siapapun, karena sifatnya yang nonprivat dan gratis, kini biaya tersebut harus ditanggung pelaku. Inilah yang sering dikaitkan dengan pigouvian tax.

Kelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi kadang memang sulit menyatu. Manusia ingin cepat meraih kepuasan dan laba tanpa menyadari akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Manusia sadar ketika terjadi bencana, tetapi lupa saat alam bersahabat. Pembangunan berkelanjutan sejatinya adalah jalan tengah yang menempatkan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam satu jalan harmoni. Salah satu aspeknya adalah upaya menginternalisasi eksternalitas negatif melalui pigouvian tax.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.