Pajak di Eropa, Amerika Serikat, dan di Mata Seniman

Oleh: Abdul Hofir, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Seorang seniman Jawa ternama pada akhir September 2022 di harian Jawa Pos menulis sebuah kalimat, “Malas bayar pajak belum tentu pelit. Banyak temenku yang suka banget membantu sesama namun tidak ikhlas kalau membayar pajak. Mungkin kalau ngasih-ngasih jelas penggunaannya bagi yang dikasih. Pajak?”
Sebuah pernyataan (entah dengan ekspresi seperti apa) sekaligus pertanyaan yang mengusik nurani. Namun, bagi saya tidak ada kalimat tanpa makna. Jika diurai, ada beberapa dimensi pada kalimat di atas seperti soal niat ikhlas, semangat membantu atau gotong-royong, dan manfaat. Semuanya berkaitan dengan pajak. Karenanya, saya merasa perlu untuk mengulasnya satu per satu.
Pertama, niat ikhlas. KBBI mendefinisikan ikhlas dengan bersih hati atau tulus hati. Sedangkan, para ulama mengatakan ikhlas berarti memurnikan niat melakukan sesuatu hanya karena Allah. Ikhlas tentu bukan keharusan dalam membayar pajak. Kecuali jika kita menganggapnya sebagai sedekah yang bernilai ibadah dan ingin mendapatkan pahala.
Ada jargon yang mengatakan hubbul wathan minal iman. Cinta tanah air bagian dari iman. Membayar pajak sangat relevan untuk ditempatkan sebagai bagian dari cinta tanah air. Meskipun tidak semua orang menyetujuinya.
Pernah membaca definisi pajak? UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyebut pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi itu memang terasa menyesakkan dada. Mungkin juga menguras air mata. Ada kata-kata “wajib”, “memaksa”, dan “tidak mendapatkan imbalan secara langsung”. Namun, pajak menjadi kewajiban di banyak negara. Apa pun niat warga negara ketika membayarnya.
Pada 1966, Beatles menyindir kebijakan pajak di Inggris yang dianggap merugikan masyarakat melalui sebuah lagu: Taxman. Salah satu bait syairnya mengatakan, “If you drive a car I'll tax the street, If you try to sit I'll tax your seat, If you get too cold I'll tax the heat, If you take a walk I'll tax your feet, 'cause I'm the taxman, yeah I'm the taxman.”
Hampir tidak ada sisi kehidupan di negara kita yang tidak dikenai pajak. Seperti kata Benyamin Franklin (1706-1790), “Nothing is certain but tax and dead.” Kecuali jika anda berada di negara surga pajak atau suaka pajak (tax haven).
Pada 2021, Tax Justice Network menerbitkan laporan CTHI (Corporate Tax Haven Index) yang mengurutkan negara suaka pajak berdasarkan seberapa agresif dan luas negara tersebut berkontribusi membantu perusahaan multinasional menghindari pajak.
Berdasarkan laporan tersebut, 70 negara tax haven didominasi negara-negara Eropa dan teritorial Inggris baik perairan maupun commonwealth. Mereka antara lain British Virgin Island, Kepulauan Cayman, Bermuda, Belanda, Swiss, Luksemburg, Hongkong, Jersey, Singapura, dan Uni Emirat Arab.
Baiklah, kita masuk ke dimensi kedua, soal gotong-royong. Sejak dulu masyarakat Indonesia dikenal suka membantu atau gotong-royong. Itulah nilai yang telah mendarah daging sejak berabad-abad lalu. Di hadapan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai di Jakarta Bung Karno pada 1 Juni 1945 mengatakan bahwa dasar negara Pancasila bisa diperas menjadi Trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan). Selanjutnya, Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila: gotong-royong.
Pajak adalah instrumen penerimaan negara sebagai wujud gotong-royong yang nyata. Namun, pajak tidak boleh dipungut suka-suka tanpa pengaturan yang jelas. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan wakil rakyat dalam bentuk undang-undang sebagaimana Pasal 23A UUD 1945.
Sejak era 1760-1770, masyarakat Amerika mendengungkan jargon no taxation without representation. Kemudian berkembang jargon baru taxation without representation is robbery.
Bagaimana kinerja penerimaan pajak? Hingga 14 Desember 2022 realisasi penerimaan pajak pusat mencapai Rp1.634,4 triliun atau 110,06% dari target Rp1.485 triliun dengan pertumbuhan sebesar 41,9% (yoy).
Penerimaan pajak daerah di Indonesia harus diakui masih belum mampu menjadi penopang kemandirian daerah. Transfer dari Pusat ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN masih menjadi andalan penerimaan daerah. Kemampuan daerah menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun berbeda-beda.
Manfaat Pajak
Ketiga, soal dimensi manfaat. Banyak pihak yang mempertanyakan manfaat pajak bagi masyarakat. Dalam konteks ini, kita perlu melihat seberapa efektif pemerintah membelanjakan anggarannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Hingga Oktober 2022, belanja negara baru terealisasi sebesar Rp2.351,1 triliun atau 75,7% dari target dalam APBN 2022 sebesar Rp3.106,4 triliun. Peruntukannya bisa bermacam-macam seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Namun, yang menikmati belanja negara adalah seluruh masyarakat, bukan hanya pembayar pajak saja.
Berbeda dengan Amerika Serikat. Wajib pajak bisa merasakan manfaat membayar pajak. Mereka, misalnya, mendapatkan fasilitas asuransi kesehatan, pengasuhan anak, tunjangan kredit untuk sembako, dan cek bulanan untuk membeli susu formula dan makanan bayi.
Untuk memaksimalkan manfaat pajak, dua hal perlu diperhatikan. Pertama, kepatuhan wajib pajak perlu terus ditingkatkan. Beberapa waktu yang lalu di Yogyakarta viral jargon ojo leren dadi wong apik yang artinya: jangan berhenti menjadi orang baik. Meskipun bersifat lokal, jargon itu layak untuk didengungkan di wilayah lain Indonesia, termasuk dalam soal membayar pajak. Kedua, pengawasan terhadap penggunaan anggaran.
Oleh karena itu, kalimat seniman di awal tulisan ini bagi saya adalah bentuk kecintaan yang bersangkutan kepada negeri ini. Seperti kata penyanyi Doel Sumbang, “Cinta itu anugerah. Maka berbahagialah. Sebab kita sengsara bila tak punya cinta.”
Ekspresi cinta itu diungkapkan sang seniman dengan sebuah pertanyaan, “Pajak, digunakan untuk apa?” Seolah-olah ada kekhawatiran bila uang pajak dipakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat apalagi diselewengkan. Kita semua dituntut untuk menjawabnya dengan sikap dan tindakan nyata.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 402 kali dilihat