Pajak Di Benak "Si Wiro" ( oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali )

Oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kini Wiro benar-benar dalam gundah gulana hatinya, alih-alih menerima nasib sebagai seorang yang dilahirkan dari lingkungan yang serba kekurangan, Wiro malah lebih sering menggerutu dan menyalahkan orang-orang kaya dan sistem pemerintahan yang berlaku sebagai penyebab utama ketidak-mujuran nasibnya dan sebagaian besar warga dari lingkungannya.

Menurut Wiro yang selalu merasa memiliki jiwa aktivis pemberontak dan radikal, kesenjangan sosial yang amat mencolok antar warga di negeri Ulala-nya tak lain dan tak bukan adalah karena kapitalisme yang dibiarkan terus-menerus, para orang kaya tidak ada lelah-lelahnya untuk terus mengeruk kekayaan tak peduli entah dari mana asalnya, dan demi kenyamanan mereka dalam perjalanan menggapai cita-cita yakni kmengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bagi Wiro sungguh sangat mungkin sekali jika mereka dengan kekayaannya ikut campur dalam pembentukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan datang supaya tetap dalam arah yang menguntungkan mereka.

Selain Ppra orang-orang kaya, Wiro juga menyalahkan sistem ekonomi dunia yang berlaku saat iniyang dalam pandangannya sangat mendukung kapitalisme, meskipun banyak dari mereka para kapitalis yang terkenal aktif berperan dalam upaya-upaya pemberantasan kemiskinan dengan menyisihkan sebagian kekayaan, bagi Wiro itu semua tidak akan menyelesaikan masalah utama yakni untuk mengubah kesenjangan atau apapun, jika sistem kapitalisme tetap dibiarkan di muka bumi.

Keadilan sosial bagi seluruh Masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan sejak awal tidak akan pernah tersentuh jika kapitalisme terus dibiarkan. Hweess.. pikirnya mengagumi dirinya sendiri yang ternyata ikut memikirkan tentang sistem ekonomi dunia, padahal kalau teringat kembali ‘sungguh dapurmu !’ dia bilang ke dirinya sendiri yang berulang-ulang tidak pernah lulus ujian Tes Potensi Akademik untuk seleksi masuk sebagai pegawai di kementerian keuangan negeri Ulala, dan entah kenapa juga Wiro sangat ingin menjadi pegawai kementerian keuangan, apakah dengan menjadi PNS Kemenkeu dia pikir bisa mengubah menjadi lebih baik sistem perekonomian dunia yang sedang berlaku?

Setidaknya dia akan mengambil peran dalam perpajakan, menurutnya pajak ini cukup bagus untuk sedikit menambal masalah kapitalisme dengan kesenjangan sosial yang dibawanya, dengan pajak, orang-orang kaya mau tidak mau harus ‘mengembalikan’, begitulah bahasa yang dipakai Wiro, harta yang telah mereka kumpulkan entah dari mana asalnya ke tempat yang semestinya.

Iya, harta mereka ini menurut Wiro benar-benar tidak berada di tempat yang semestinya, jika tempat harta itu sudah benar, maka menurutnya tidak akan lagi muncul begitu banyak kemiskinan di negerinya, mestinya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Ulala sudah barang tentu tercapai dan dapat di rasakan bersama-sama.

Alih-alih menjadikan alasan-alasan idealis nasionalis itu, kadang Wiro juga menyadari bahwa itu semua bukan lah alasan utama atas keinginannya untuk menjadi PNS di kementerian keuangan, tawaran gaji tetap sebagai PNS dan tunjangan yang lumayan besar di Kementerian keuangan Republik Ulala, yang selalu menjadikan Wiro dan ribuan pendaftar lainnya sebagai motivasi utama.

Pasalnya memang tidak mudah untuk tetap mempertahankan sifat aktivis idealis radikal setelah masuk ke dunia orang dewasa, begitulah bahasa yang dipakainya. Di Dunia Orang Dewasa berbagai macam keadaan menuntutnya untuk segera mendapatkan penghasilan tetap kalau mau terus melanjutkan hidup. Cita-citanya untuk mengubah sistem perekonomian dunia kini tiba-tiba membuat Wiro bingung untuk mulai merajut kisahnya dari mana. Kadang Wiro memang merasa, bahwa mungkin yang dimonopoli bukan lah perihal ekonomi saja, dengan semakin sulit dan bertambah banyaknya persyaratan untuk bisa disebut sebagai orang sukses, wajar saja jika dia merasa bahwa kehidupannya sudah tidak lagi menjadi haknya sepenuhnya. 

Mungkin pandangan Wiro ada benarnya, untuk menjadi manusia dengan lebel kehidupan ideal dalam masyarakat dunia sekarang ini, seseorang sudah diberikan banyak persyaratan yang harus dipenuhi sejak anak-anak, jika ingin dianggap sebagai seorang yang sukses di mata masyarakat umum, seorang harus pandai matematika dan bahasa inggris meskipun kedua mata pelajaran itu tidak disukai, setelah itu dia harus finis sebagai salah satu lulusan terbaik di sekolahnya, dengan tujuan bisa masuk di SMP Favorit, dan mengapa harus di terima di SMP Favorit? Ya tentu saja supaya bisa diterima di SMA favorit, dan begitu pula masuk SMA favorit supaya bisa diterima di Perguruan tinggi Favorit, dan yang pasti masuk perguruan tinggi favorit supaya dapat kerjaan yang favorit dan mumpuni setelah lulus.

Jadi, fungsi sekolah sebagai tempat mencari ilmu dan kebijaksanaan kini sudah mulai bergeser, fungsi sekolah sekarang ini bagi kebanyakan orang di negeri Ulala mungkin adalah ajang penentuan jatah makan di masa depan, dan parahnya itu tidak disadari. meskipun tentu saja tidak semua orang begitu siih. “What The Hell is this?” umpatan Wiro setiap kali memikirkan hal itu. Terlalu banyak hal-hal yang sangat miskin makna, yang berkelap-kelip, berseliweran tak karuan di masyarakat Negeri Ulala sekarang ini, terlalu banyak orang yang terjebak dan menganggap bahwa ekonomi sebagai tolak ukur utama kemajuan sebuah negeri.

Menurut Wiro, ekonomi itu adalah hal yang sangat mendasar, andai sebuah mangga ekonomi adalah kulitnya, bukan daging apalagi isinya, menurutnya bangsa Ulala tidak pantas menjadikan ekonomi sebagai tolak ukur utama sebuah kemajuan, itu terlalu ecek-ecek dia bilang, bangsa Ulala memiliki sejarah yang menaruh perhatian sangat tinggi pada pengetahuan tentang hakikat dan kebijaksanaan. Bangsa Ulala tidak hanya mengandalkan akal, tetapi lebih menjunjung tinggi hati dan perasaan dalam kehidupan berbudaya mereka, tetapi sejak beberapa masa ini, tiba-tiba semua ciri khas itu seolah terkikis, cucu-cucu dari bangsa Ulala lebih suka dengan budaya yang dibawa dari negeri di seberang bumi, katanya lebih simple, logis, dan sangat mendukung untuk kegiatan pengumpulan kebutuhan perut.

Dan itu semua memang benar sih, memang Wiro juga mengetahui dan memaklumi, jika kebanyakan orang lebih mudah tertarik pada kebutuhan perut dari pada kebutuhan hati, maka ketika budaya dan gaya hidup baru itu datang memperkenalkan dan menawarkan diri, otomatis kebanyakan orang juga tertarik dan mengikuti. Hweeee.., sekali lagi, Wiro benar-benar terkagum kepada dirinya sendiri, yang tanpa disadari ikut kepikiran hal sedalam itu, tapi apakah dia memang sekeren itu, atau Cuma akting?

Wiro jadi teringat ketika sedang dalam masa-masa tirakatnya demi menyempurnakan jurus Pukulan Matahari yang sedang ia pelajari dari gurunya Sinto Geni alias Sinto gendeng Alias Sinto Gila. Untuk menguasai ajian pukulan matahari, harus terlebih dahulu memahami matahari, untuk memahami matahari harus mengerti maksud tersembunyi dari dua kegiatan utama matahari, yakni terbit dan tenggelam, memahami mengapa matahari pergi dan mengapa matahari muncul dan terbit kembali.

Dia ingat waktu itu Wiro sudah lebih dari empat puluh hari berturut-turut tidak tidur. Bagi Wiro matahari yang tenggelam adalah demi memberi kesempatan kepada manusia untuk menikmati indahnya hilal, sabit dan purnama serta gemerlapnya bima sakti, bima sakti yang kelap-kelip memang indah, apa lagi jika di tangkap gambarnya menggunakan kamera DSLR atau yang setara dengan teknik long eksposure, bintang-bintang yang semula tidak bisa dilihat oleh mata telanjang jadi muncul semua, waw, iya begitulah.

Kemudian Wiro juga tak pernah melewatkan sembahyang subuh pada masa-masa tirakatnya, ini seperti pesan bahwa seberepa besar pun kekagumanmu pada langit yang kelap-kelip indah luar biasa itu, kamu harus kembali ke kesadaran akan maha agung sang Pencipta dengan sembayang subuh, maka setalah itu fajar akan terbit, dan akhirnya kamu menyadari bahwa gemerlap malam itu sementara dan fana, dan se-terang-terangnya purnama tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cahaya Surya yang terbit di pagi hari.

Itulah awal mula Wiro bercita-cita menjadi pegawai kementerian keuangan terutama kalau bisa mengambil di bagian perpajakan. Pajak menurut Wiro itu tak ubahnya seperti senja, penyeimbang antara siang dan malam, mungkin maksudnya dia, pajak menyeimbangkan antara yang kaya dan yang miskin, Harta-harta yang tidak berada di tempat dikembalikan sebagaimana mestinya, untuk pembangunan, kesehatan, dan yang terpenting adalah Pendidikan.

Seharusnya semua orang mendapat hak kesehatan dan pendidikan yang sama, karena keadaan dunia yang sedemikan rupa sehingga mengakibatkan harta-harta nyasar tidak berada di tempatnya, sehingga beberapa orang kehilangan sebagian atau seluruhnya akan hak-hak mendasar itu, dan dengan pajak, semua itu akan kembali diseimbangkan meskipun juga memaklumi bahwa semua penuh kekurangan dan tetap mesti disempurnakan setiap saat.

Wiro datang mengunjungi Gurunya Nyai Sintho Geni, dan berencana menginap beberapa hari, ingin melepas kerinduan kepada sang guru sekaligus bernostalgia tentang masa-masa indah dulu waktu masih belajar di sana. Nyai Sintho memang memilih tinggal menjauh dari pemukiman, dia lebih suka menyendiri sebagai seorang petapa, tetapi kini beberapa pengikutnya ada yang memutuskan ikut tinggal di sana bahkan membawa serta anak dan istrinya, sehingga Nyai Sintho tak tampak lagi tinggal sendirian, murid-muridnya yang ikut bermukim di situ cukup banyak, hingga cukup pantas untuk membentuk sebuah Rukun Tetangga.

Wiro kini seolah datang ke tempat yang berbeda, bukan lagi sebuah gubug penceng yang berdiri-sendiri di tengah hutan, melainkan sebuah pemukiman, yang warganya saling mengenal satu sama lain, dan mereka hidup sepenuhnya dalam kesederhanaan, tidak tergantung dengan Listrik, aliran air PDAM, apalagi jasa provider jaringan internet, tidak butuh. Mereka hidup tanpa semua yang dikira Wiro telah direbut paksa oleh beberapa para kaum kapitalis, tapi ternyata itu tidak benar, apapun yang dilakukan orang-orang di luar sana, Nyai sintho dan para muridnya yang bermukim masih tetap bisa bahagia dan merdeka dengan sebenar-benar merdeka.

Entah kenapa setelah berkunjung ke tempat Nyai Sinto, Wiro jadi tidak terlalu menggerutu kepada para kapitalis, atau sistem perekonomian dunia yang menurutnya tidak karuan, ia juga tidak lagi mengkhawatirkan bagaimana ia akan hidup di masa depan, apakah akan bisa mengubah dunia seperti yang ia cita-citakan atau tidak, juga tidak masalah, Wiro cukup menikmatinya saja, baginya biarlah mereka hidup di dunia dengan cara begitu adanya, dan berubah dengan perubahan sebagaiamana mestinya, biarlah para kapitalis yang kadang licik itu hidup begitu adanya, dan orang-orang desa tetap bahagia bagaimanapun keadaannya, biarkanlah mereka yang datang dari manapun tetap hidup bersama-sama bahkan seorang koruptorpun, hukum tetap beri hukuman kepada mereka, tapi jangan pernah melepaskan rangkulan kita sebagai manusia kepada mereka, kasihan, mereka hanya orang -orang tersesat yang menganggap harta sebagai segalanya, kita bersama-sama tuntun mereka agar bisa melangkah di jalan yang benar bersama-sama lagi.

Wiro kini bisa tersenyum, dan tidak banyak menggerutu lagi, dan cita-citanya menjadi pegawai kementerian keuangan di bagian perpajakan semakin besar, kini dia memiliki pandangan baru, pajak bukan hanya soal pendistribusian harta dikembalikan ke tempat yang semestinya, tapi lebih dari, dengan pajak pemerintahan akan tetap berjalan, dan negara akan tetap aman, sehingga semua komponen yang hidup di dalamnya, dari mulai para kapitalis hingga Nyai Sintho dan muridnya bisa aman, dan tetap dekat dengan kebahagiaan, pajak adalah penjaga, kurang lebih baginya seperti itu. Setidaknya jika suatu hari nanti Wiro bisa Lolos Tes Potensi Akademik dan diterima di kementerian keuangan, ia akan bekerja sepenuh hati semampunya, dan berdoa semoga pemerintahan yang ada benar-benar menjalankan tugas menjaga negara tetap aman, sehingga semua orang yang hidup di dalamnya sejahtera. “Amiin Ya Allah”, bisik Wiro. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja