Oleh: Riono Asnan Genda, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Lebaran selalu menjadi hari spesial yang dinantikan dengan penuh sukacita. Setelah melewati sebulan penuh berpuasa dengan penuh kesabaran dan ketekunan, Lebaran adalah hari kemenangan yang dirayakan dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Tradisi mudik yang ikonik selama Lebaran, adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Jutaan orang bepergian jauh dari kota tempat tinggal mereka untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga dan kerabat di kampung halaman. Selain itu, ada salat Idulfitri serta takbiran yang menjadi momen sakral, di mana umat Muslim berkumpul di masjid, musala, atau tempat ibadah lainnya untuk bersama-sama mengucapkan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan yang Mahakuasa.

Selain aspek spiritualnya, Lebaran juga diwarnai dengan berbagai tradisi lainnya, seperti pembagian Tunjangan Hari Raya (THR), bingkisan Hari Raya, dan pembayaran zakat. THR dan Bingkisan Hari Raya merupakan bentuk penghargaan dan solidaritas dari pemberi kerja kepada para karyawannya, sementara pembayaran zakat merupakan kewajiban agama yang dijalankan oleh umat Muslim untuk berbagi, membantu mereka yang membutuhkan dan memperkuat ikatan sosial di dalam masyarakat.

Membicarakan pembagian Tunjangan Hari Raya (THR), Bingkisan Hari Raya dan juga Zakat, ternyata terdapat regulasi perpajakan yang mengatur tentang ketiganya. Berikut adalah aspek perpajakan yang terkait dengan Pembagian THR, Bingkisan Hari Raya dan pembayaran zakat.

Tunjangan Hari Raya 
Pemberian THR merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023), Pasal 5 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa “Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan, terdiri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur.” 
Kemudian lebih lanjut dijelaskan di Pasal 5 ayat (3) huruf b, “Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur.

Sesuai dengan tatacara penghitungan PPh 21 terbaru, maka ketika seseorang mendapatkan THR di bulan tertentu yang bukan masa pajak terakhir, akan dipotong dengan menggunakan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER). Yaitu dengan mengalikan seluruh penghasilan bruto di bulan tersebut dengan TER. Skema ini memang menyebabkan PPh 21 yang dipotong pada saat THR diterima akan lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Tapi perlu diingat bahwa sebenarnya total beban pajak dalam satu tahun tidak akan bertambah. Pada masa pajak terakhir di mana seseorang bekerja, akan dilakukan penghitungan dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), yaitu dengan mengalikan penghasilan kena pajak (PKP) dengan tarif progressif tersebut.

Apabila jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa pajak selain masa pajak terakhir lebih besar daripada PPh 21 yang terutang selama satu tahun pajak, maka kelebihan PPh 21 yang telah dipotong tersebut harus dikembalikan oleh Wajib Pajak pemotong kepada pegawai yang bersangkutan, paling lambat akhir bulan berikutnyasetelah masa pajak terakhir.

Bingkisan Hari Raya

Aspek perpajakan yang terkait dengan bingkisan hari raya tertuang dalam PMK 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan PPh atas Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan (PMK 66/2023). Merujuk Pasal 4 ayat (1) UU PPh jo. UU Ciptaker, disebutkan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh. Artinya imbalan seperti bingkisan adalah merupakan objek pph yang harus dipotong pajaknya. Namun ada beberapa pengecualian sebagai objek PPh  tersebut, salah satunya adalah natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan /atau batasan tertentu.

Di lampiran A PMK 66/2023 disebutkan daftar natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak yaitu bingkisan dari pemberi kerja antara lain berbentuk makanan, bahan minuman, makanan dan/atau minuman dalam rangka hari besar keagamaan meliputi Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Natal, Hari Suci Nyepi, Hari Raya Waisak atau Tahun Baru Imlek. Tapi perlu diingat ada syarat yang harus dipenuhi agar bingkisan tersebut tidak dikenakan pajak, yaitu bingkisan tersebut harus diberikan kepada seluruh karyawan, bukan hanya pada karyawan tertentu saja.

Kemudian mungkin muncul pertanyaan bagaimana dengan bingkisan yang diberikan kepada karyawan selain dalam rangka lima hari besar keagamaan di atas? Ternyata, bingkisan selain dalam rangka hari besar keagamaan juga termasuk yang dikecualikan dari objek PPh, tapi terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu: harus diberikan kepada seluruh karyawan dan secara keseluruhan nilai bingkisan yang diberikan maksimal sebesar tiga juta rupiah.

Zakat

Zakat yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi dan/ atau wajib pajak badan yang dimiliki pemeluk agama Islam dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, selama dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Hal ini sesuai dengan ketentuan di PMK Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Pengurangan zakat tersebut dapat dilaporkan dalam SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan/atau wajib pajak badan yang bersangkutan, yang harus dilampirkan dengan bukti-bukti pembayaran zakat yang sah. Sebenarnya tidak hanya zakat, pemeluk agama lainnya juga memiliki konsep sumbangan keagaaman yang bersifat wajib. Namun, untuk konteks tulisan ini, kita diskusikan soal zakat saja. Bukti-bukti tersebut juga menjadi syarat kelengkapan dari pelaporan SPT Tahunan, di mana apabila tidak ada bukti sah pembayaran zakat yang dibayarkan melalui badan atau lembaga amil zakat, maka pembayaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Yang terbaru, dalam PMK 168/2023, juga diatur bahwa zakat yang sifatnya wajib, yang dibayarkan melalui pemberi kerja kepada badan amil zakat, dan lembaga keagaman yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah , menjadi pengurang dari penghasilan bruto. Karyawan yang membayar zakat lewat pemberi kerja akan langsung mendapat pengurangan penghasilan bruto saat penghitungan pemotongan PPh 21 oleh perusahaan. Pemotongan zakat tersebut langsung dituangkan dalam format terbaru bukti potong formulir 1721- A1. Sehingga saat ini terdapat tiga pengurang penghasilan bruto yaitu biaya jabatan (untuk pegawai)/biaya pensiun (untuk pensiunan), iuran pensiun, dan zakat/iuran keagaaman yang bersifat wajib (untuk agama selain Islam).

Lebaran bukan hanya tentang merayakan kemenangan spiritual, tetapi juga tentang memperkuat ikatan keluarga, solidaritas sosial, dan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan yang Mahakuasa. Ini adalah waktu yang mempersatukan umat di seluruh dunia dalam sebuah perayaan yang penuh makna keberkahan dan keadilan. Serta sejalan dengan prinsip-prinsip perpajakan yang mengedepankan nilai keadilan dan pemerataan, guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bagi tanah air tercinta, Indonesia.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.