Pajak atas Transaksi dengan Agen Travel Daring ( oleh Dian Anggraeni )

Oleh: Dian Anggraeni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perkembangan teknologi dalam dunia usaha menuntut semua pelaku usaha untuk dinamis dan tanggap mengikuti tren yang paling mutakhir. Para pelaku usaha harus bisa menyamakan langkah dengan perkembangan teknologi terutama teknologi informasi yang semakin hari semakin melesat lajunya. Belanja daring kini bahkan sudah menjadi gaya hidup sehari-hari sebagian konsumen. Dengan gawai yang selalu berada dalam genggaman, maka berbagai transaksi dapat terjadi dalam waktu singkat dengan satu sentuhan. Salah satu aplikasi belanja daring yang paling sering dimanfaatkan konsumen adalah aplikasi pemesanan tiket dan hotel. Konsumen yang ingin melancong ke belahan dunia manapun dapat melakukan pemesanan hotel dengan mudahnya. Tanggap terhadap kondisi pasar seperti ini, perusahaan reservasi daring, baik perusahaan lokal maupun perusahaaan yang berkedudukan di luar negeri, mulai lahir dan tumbuh beberapa tahun belakangan ini.

Hadirnya pihak ke-3 di dalam transaksi antara konsumen dengan pihak hotel, melahirkan satu nilai ekonomis baru, yakni imbalan jasa yang diterima oleh pihak perusahaan reservasi daring sebagai upah atas upayanya menghubungkan konsumen dengan pihak hotel. Kemudahan layanan yang didapat seringkali membuat semua pihak terlena. Pihak hotel kini bisa mereduksi biaya pemasaran termasuk biaya tenaga kerja pemasar dan memiliki peluang memperoleh konsumen hanya dengan “menjual” gambar dengan jangkauan yang sangat luas. Pihak perusahaan reservasi daring kini memperoleh pangsa pasar dari modus belanja baru para konsumen, satu sentuhan dari konsumen sudah mengucurkan dana ke rekening mereka. Para konsumen, sang raja yang semakin disibukkan oleh berbagai aktivitas, kini dimanja dengan kemudahan pemesanan hotel yang dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja.

Berbagai kemudahan yang dinikmati oleh semua pihak membuat semakin kencang arus transaksi yang terjadi, namun sayangnya meninggalkan pajak yang melekat dalam transaksi tersebut. Mengalirnya penghasilan dari pihak hotel ke perusahaan reservasi merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang harus dikenakan pajak. Hadirnya nilai ekonomis berupa imbalan jasa yang diterima oleh perusahaan reservasi daring merupakan objek yang harus dikenakan PPN. Payung hukum yang mengatur pengenaan pajak-pajak yang melekat dalam transaksi ini sudah ada sejak dahulu, bukan baru lahir menanggapi perkembangan teknologi yang terjadi. Namun tidak semua pihak menyadari adanya pajak yang mengikuti transaksi dengan modus yang baru berkembang ini.

Terhadap perusahaan reservasi dalam negeri, pihak hotel yang membayarkan sejumlah imbalan jasa bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas imbalan jasa yang dibayarkan kepada perusahaan reservasi. Perusahaan reservasi dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus dikukuhkan sebagai PKP dan menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN atas penyerahan jasa reservasi.

Pola penyetoran pajak menjadi berubah ketika mitra penyedia jasa reservasi daring berkedudukan di luar negeri dan tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Pengenaan PPN diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut. Sebagaimana diatur dalam pasal 3A ayat (3) Undang-Undang PPN, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: 147/PJ/2010 tentang Peraturan Penjelasan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 40/PMK.03/2010 menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan PPN jasa luar negeri atas transaksi pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean sebagai berikut :

a. Yang dimaksud dengan jasa kena pajak dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean :

    - Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;

    - Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri:

   - Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

   - Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.

b. Penghitungan PPN : tarif 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayar atau seharusnya dibayar kepada pihak yang menyerahkan jasa kena pajak tidak termasuk PPN

c. Saat terutang PPN adalah saat JKP tersebut secara nyata digunakan; atau saat harga perolehan JKP dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkan; atau saat nilai penggantian JKP ditagih oleh pihak yang menyerahkan; atau saat harga perolehan JKP dibayar baik sebagian maupun seluruhnya. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan JKP tidak diketahui, maka saat terutang adalah tanggal kontrak.

d. Atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean wajib disetorkan ke kas Negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

e. PPN yang telah disetor oleh PKP yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan terutangnya pajak dan dapat dilaporkan pada masa pajak berikutnya palng lama tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak bersangkutan.

f. PPN yang telah disetor oleh orang pribadi/badan yang bukan PKPwajib dilaporkan dengan menggunakan bukti pembayaran ke KPP paling lama akhir bulan setelah saat terutang nya pajak.

Selain pemungutan PPN atas transaksi pemanfaatan JKP dari perusahan jasa reservasi yang berkedudukan di luar negeri, pihak hotel berkewajiban memotong PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan jasa reservasi yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU PPh. Pemotongan PPh pasal 26 dapat dilakukan sesuai dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam hal perusahaan reservasi daring memenuhi persyaratan administratif untuk menikmati P3B. Lebih lanjut pelakanaan penerapan P3B, diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh para hotel sebagai pemotong PPh Pasal 26 yang diatur dalam Peraturan Dirjen tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus memastikan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) telah memenuhi persyaratan untuk dapat menerapkan ketentuan dalam P3B. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak memastikan pemenuhan persyaratan tersebut dengan melakukan penelitian atas Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN yang telah disampaikan oleh WPLN

b. Dalam hal persyaratan administratif tidak dapat dipenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib memotong dan/atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh

c. Melaporkan SPT Masa paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak dengan melampirkan : bukti pemotongan (walaupun tidak ada PPh yang dipotong karena penerapan P3B /NIHIL ) dan SKD sesuai dengan ketentuan dalam Per-10/PJ/2017

d. SKD WPLN dan Certificate of Residence wajib disimpan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku.

Dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka semua pihak diharapkan memiliki pemahaman yang memadai dan seragam akan hal ini. Sehubungan dengan hal tersebut, hotel-hotel yang berlokasi di Bali telah diberikan sosialiasi pada tanggal 12 September 2017 di Puri Saron, Seminyak. Melalui perwakilan hotel-hotel se-Bali sebanyak 250 hotel dan induk asosiasi perhotelan PHRI, pihak hotel sebagai penyetor PPN atas pemanfaatan jasa luar negeri dan pemotong PPh Pasal 26 dan pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kanwil DJP Bali telah sepakat untuk mengenakan PPN dan PPh yang terutang atas transaksi dengan agen reservasi daring (online travel agent). Ketua PHRI, Bapak Tjokorda Oka Artha Ardana (Tjok Ace) turut hadir dan menunjukkan dukungannya terhadap penerapan aturan perpajakan dalam transaksi ini. Semoga keseragaman pemahaman yang melahirkan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi dengan online travel agent ke seluruh hotel di Bali ini akan meningkatkan penerimaan pajak dari lapangan usaha penyedia jasa akomodasi di Bali yang merupakan sektor dominan di dalam perekonomian Bali.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.