Pajak atas Rumah dan Tanah Warisan

Oleh: Cintya Ardananti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Rumah ini kan warisan dari ibu saya, tapi kenapa pada saat akan melakukan balik nama dikenai pajak padahal saya tidak membeli rumah tersebut?”
Pertanyaan seperti ini sering kali dijumpai pada saat ahli waris hendak melakukan balik nama atas tanah dan/atau bangunan, baik saat mengurus balik nama sertifikat pada notaris maupun pada saat melakukan konsultasi di kantor pajak dengan alasan penerima waris tidak melalui proses jual beli atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Jadi sebenarnya bagaimana aspek perpajakan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari waris? Apakah dikenakan pajak?
Dasar Aturan
Terdapat beberapa aturan yang mendasari pengenaan pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan/ atau bangunan atas warisan. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap wajib pajak yang memperoleh tambahan atas kemampuan ekonomis yang dapat menambah kekayaan wajib pajak tersebut maka akan dikenakan atas Pajak Penghasilan (PPh).
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (PP 34/2016), Pasal 1 ayat (1) huruf a, menyebutkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya terutang Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
PP 34/2016 juga menjelaskan mengenai besaran atas PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan akan dikenakan kepada penjual atau wajib pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan sebesar:
- 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Lalu bagaimana dengan warisan?
Rumah atau tanah warisan, utamanya warisan yang belum terbagi dianggap merupakan tambahan penghasilan dan dapat dikatakan pula atas warisan tersebut dapat menambah jumlah harta kekayaan bagi ahli waris yang akan mendapatkan hak atas warisan tersebut. Hal ini mengakibatkan rumah atas warisan tetap dikenakan pajak penghasilan yang berupa PPh Final dan akan terutang pada saat ahli waris akan melakukan balik nama sertifikat atas tanah dan/ atau bangunan atas warisan tersebut.
Namun rumah atau tanah warisan dapat diberikan pembebasan pajak penghasilan apabila ahli waris memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan/atau bangunan atas waris. SKB ini wajib diserahkan kepada notaris sebelum ahli waris melakukan prosedur balik nama sertifikat.
Pembebasan PPh atas Warisan
PPh yang terutang pada saat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atas warisan dapat dibebaskan apabila ahli waris mengajukan permohonan SKB Waris kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (pewaris) terdaftar atau bertempat tinggal. Permohonan atas SKB tersebut harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan tanah dan/atau bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun berjalan, akta kematian, surat keterangan waris, surat keterangan perubahan nama (bila pewaris atau ahli waris melakukan perubahan nama sebelumnya), dan dokumen yang menunjukkan bahwa antara pewaris dan ahli waris mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Selain ketentuan formal yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat pula ketentuan materiil agar SKB tersebut dapat diterbitkan atau disetujui oleh KPP, yaitu pewaris telah melaporkan tanah dan/atau bangunan tersebut secara lengkap dan benar pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan serta telah melunasi pajak-pajak yang terutang atas tanah dan/atau bangunan waris tersebut. Jika permohonan SKB waris tidak memenuhi persyaratan, status tanah/rumah warisan yang awalnya merupakan bukan objek pajak akan menjadi objek pajak, sehingga konsekuensinya harus membayar pajak atas warisan tersebut.
Pada dasarnya, rumah dan tanah yang berasal dari warisan bukan merupakan objek pajak, sepanjang harta yang akan diwariskan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan pewaris. Selain itu, saat akan melakukan balik nama, ahli waris dapat menunjukkan SKB PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari KPP tempat domisili terakhir pewaris terdaftar kepada notaris. Setelah melakukan balik nama waris, atas rumah dan/atau tanah warisan tersebut wajib dilaporkan pada SPT Tahunan ahli waris secara lengkap dan benar.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 7385 kali dilihat